tirto.id - “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.”
Jika Anda sebelumnya pernah mendengar kalimat di atas, itu adalah perkataan Winston Churchill.
Ia memang terkenal piawai merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat bernada optimisme untuk mendongkrak semangat dan memicu pola pikir. Tetapi Churchill bukan sekedar motivator ulung yang sebagian besar perkataannya dikutip sana-sini. Kariernya yang penuh dinamika menggenapi kutipannya sendiri.
Pada 2002 silam, BBC pernah melakukan jajak pendapat dengan melibatkan lebih dari satu juta suara guna mencari siapa tokoh besar Britania Raya di mata masyarakat. Hasilnya, nama Sir Winston Churchill dinobatkan sebagai tokoh besar sepanjang masa dengan mengantongi 447.423 suara.
Bahkan di urutan kedua yang ditempati Isambard Kingdom Brunel, hanya mampu meraup 56.000 suara. Ada jarak yang sangat jauh untuk sekadar menempel ketat kepopuleran Churchill. Sepanjang kehidupan dan karier, ia dikenal sebagai seorang negarawan, orator, pengarang buku, tentara, perdana menteri, dan bahkan jurnalis.
Sebagai orang yang dianggap tokoh Britania terbesar sepanjang masa, bagaimana sebenarnya kiprah Churchill dalam sejarah Inggris?
Perjalanan panjang Churchill dimulai saat ia lahir pada 30 November 1874—tepat hari ini 143 tahun lalu—di Istana Blenheim, Oxfordshire. Tumbuh dalam keluarga ningrat, ayahnya, Lord Randolph Churchill (putra ketiga John Spencer-Churchill, Duke of Marlborough), adalah seorang politisi Britania. Sementara ibunya, Jennie Jerome, adalah putri dari jutawan Amerika Leonard Jerome.
Meski berada di lingkungan keluarga terpandang dan berkecukupan, Churchill melewati masa kecilnya dengan tidak berbahagia karena tak terurus. Kasih sayang orang tuanya digantikan peran Elizabeth Ann Everest, seorang pengasuh yang setia merawat Churchill.
Baca juga: Pemimpinan Perempuan dan Dinasti Politik
Masa-masa sekolah dilewati Churchill dengan prestasi yang buruk, bahkan kerap dihukum. Ia tercatat pernah mengenyam bangku pendidikan di tiga sekolah independen yang berbeda, yaitu St George di Ascot, Brunswick School di Hove, dan kemudian di Harrow School.
Masuk Harrow School pada 17 April 1888 atau di usianya yang menginjak 14 tahun, Churchill mulai meraih kemajuan prestasi akademik terutama di bidang bahasa Inggris dan sejarah. Beberapa minggu sejak masuk sekolah, ia bergabung dengan Harrow Rifle Corps. Sedangkan di jalur non-akademik, Churchill berhasil menjuarai olahraga anggar tingkat sekolah.
Bagaimana pun, ayahnya melihat secara keseluruhan catatan akademik putranya yang buruk dan memutuskan untuk memasukkan Churchill ke dunia militer. Ia lalu didaftarkan di Royal Military Collage. Selama karier barunya ini, Churchill giat melahap pelajaran dengan serius.
Masuk Militer dan Menulis
Saat ayahnya meninggal karena penyakit sipilis pada 1895, Churchill masuk di resimen kavaleri, bagian dari Angkatan Darat Britania Raya yang bermarkas di Aldershot. Ia mendapat upah 150 poundsterling per tahun.
Karier militer memungkinkannya untuk menjelajahi berbagai belahan dunia. Tugas militer pertamanya adalah berangkat ke Kuba dan menyaksikan perang kemerdekaan Kuba atas Spanyol. Tak cukup hanya mengamati, ia mencoba peruntungan menjadi jurnalis dengan menulis dan melaporkan tiap peristiwa kepada Daily Graphic, sebuah surat kabar yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
Baca juga: Perang Sipil Spanyol dan Naiknya Diktator Franco
Setahun kemudian, pada Oktober 1896, resimennya bergeser ke India. Mereka pertama kali tiba di Kota Bombay. Ketika itu, wilayah India adalah daerah jajahan Britania dan tugasnya sebagai prajurit militer berada di daerah North West Frontier.
Saat Churchill bergabung dengan Pasukan Lapangan Malakand yang dipimpin Bindon Blood dan melawan pemberontak Mohmand di Distrik Swat, ia kembali mengambil peran sebagai jurnalis dan melaporkannya untuk surat kabar The Pioneer dan The Daily Telegraph di Inggris. Saat kembali ke Bengalore pada Oktober 1897, buku pertamanya berjudul The Story of the Malakand Field Force mulai ditulis.
Sejak itu, Churchill banyak menulis, baik yang menjadi buku maupun tulisan korespondensinya sebagai jurnalis. Hingga pada 1899 ia memilih mengundurkan diri dari dunia militer dan lebih memilih mencari nafkah dari tulisan-tulisannya.
Kerja pertamanya selepas mengundurkan diri dari dunia militer adalah pergi ke Afrika Selatan sebagai koresponden untuk surat kabar The Morning. Ia mengabarkan soal Perang Boer Kedua antara Kekaisaran Britania melawan penduduk Boer yang berbahasa Belanda. Ia ikut ditangkap oleh tentara Boer dan sempat ditahan di penjara setempat sebelum akhirnya berhasil meloloskan diri.
Terjun ke Dunia Politik
Pulang ke Inggris, Churchill terjun ke dunia politik pada 1900. Ia terpilih sebagai anggota parlemen untuk Oldham dari Partai Konservatif. Pada 1904, ia membelot ke Partai Liberal dan menghabiskan satu dekade berikutnya untuk berkarier sebagai politisi.
Termasuk saat duduk di Dewan Perdagangan pada 1908, ia melakukan reformasi aturan perburuhan. Reformasi itu berbentuk pemberlakuan maksimal delapan jam kerja bagi para penambang, menetapkan upah minimum, dan melakukan pertukaran tenaga kerja antarnegara untuk menekan pengangguran.
Pada 1911, kariernya bergeser menjadi Kepala Angkatan Laut Britania Raya. Tugas pertamanya adalah membentuk staf perang angkatan laut guna menghadapi agresivitas angkatan laut Jerman.
Lewat kampanye di depan jajaran kabinet, Churchill berhasil meyakinkan mereka untuk mau mengeluarkan dana besar bagi pengembangan angkatan laut. Usulannya disetujui dan kemudian dikenal sebagai pengeluaran angkatan laut terbesar dalam sejarah Inggris. Karier Churchill berikutnya di angkatan laut adalah berhadapan dengan situasi Perang Dunia I.
Keinginannya untuk kembali ke dunia ketentaraan muncul kembali. Pada November 1915, Churchill mengundurkan diri dari jajaran pemerintah dan aktif berdinas kembali sebagai letnan kolonel di resimen infanteri Royal Scots Fusiliers. Resimen ini bertugas di Prancis.
Tetapi karier militer keduanya tak lama bertahan. Pada Juni 1916, ia kembali ke dunia politik. Aksinya keluar masuk militer dan politik sejalan dengan keanggotaannya dalam partai. Tercatat, ia juga bolak-balik menyeberang dari Konservatif ke Liberal.
Pada 1924, Churchill giliran menjabat sebagai Chancellor of the Exchequer (Menteri Keuangan), dan secara kontroversial memilih Inggris untuk bergabung kembali menggunakan standar emas. Pada pemilu 1929, Churchill tidak mendapatkan kursi di pemerintahan dan menghabiskan waktu 11 tahun berikutnya untuk menulis dan berpidato.
Setahun sebelum pengunduran diri Perdana Menteri Neville Chamberlain pada 1940, Churchill, yang sempat vakum lama dari jabatan pemerintahan, kembali ditunjuk sebagai Kepala Angkatan Laut Britania Raya.
Pengunduran diri Chamberlain memberi jalan bagi Churchill untuk naik menjadi perdana menteri dengan modal dukungan semua koalisi partai.
Secara resmi, Churchill menjabat sampai tahun 1945. Pada pemilu tahun itu, Partai Konservatif sebagai kendaraan politiknya mengalami kekalahan. Ia kemudian menjadi pemimpin oposisi yang garang terhadap pemerintahan Partai Buruh.
Pemilu 1951 mengantarkan Churchill kembali duduk di kursi perdana menteri untuk kedua kalinya. Pada masa jabatan keduanya ini, ia banyak disibukkan dengan urusan luar negeri. Di antaranya adalah situasi darurat di Malaya, Pemberontakan Mau-Mau, Perang Korea, hingga Kudeta Iran yang dapat dukungan dari Inggris.
Penghargaan Nobel Sastra diraih Churchill pada 15 Oktober 1953 sebagai ganjaran atas deretan karya tulis yang dilahirkan dari tangannya, termasuk beberapa novel. Dan di tahun itu pula, ia mulai terserang penyakit stroke serius dan resmi pensiun meletakkan jabatan Perdana Menteri pada 1955. Meski demikian, Churchill tetap menjadi anggota parlemen sampai 1964.
Sorotan dan Kritik
Menyimak karier panjang Winston Churchill, baik sebagai tentara, jurnalis, penulis buku, hingga politisi yang menentukan berbagai kebijakan strategis dalam kemenangan Sekutu atas Jerman, ada sejumlah catatan kritis dan kontroversial yang menyelimutinya.
Baca juga: "Kuda Troya" Sekutu pada Perang Dunia Kedua
Menurut John Charmley dalam Churchill: The End of Glory, Churchill percaya pada hierarki rasial dengan menyebut bahwa orang Kristen Protestan kulit putih berada di puncak, di atas orang Katolik kulit putih. Sementara orang India lebih tinggi derajatnya dari orang Afrika.
Sebagai seorang tokoh publik, tentu saja pembela Churchill pasang argumentasi. Richard Toye dalam Empire’s Churchill menyebut pandangan Churchill tentang ras tidak sebanding seperti apa yang dilakukan Hitler.
"Meskipun Churchill menganggap orang kulit putih lebih unggul, itu tidak berarti dia menganggap baik-baik saja ketika memperlakukan orang non-kulit putih dengan cara yang tidak manusiawi," kata Toye.
Ilmuwan Noam Chomsky pernah mengkritik Churchill karena kutipannya yang mendukung penggunaan gas beracun.
"Saya tidak mengerti dengan mukjizat tentang penggunaan gas ini," tulis Churchill di sebuah memo dalam perannya sebagai Menteri Perang dan Udara pada 1919.
"Saya sangat mendukung penggunaan gas beracun untuk melawan suku-suku yang tidak beradab," lanjutnya.
Sementara Warren Docker, peneliti di University of Cambridge, memberi sanggahan dengan menyatakan bahwa apa yang disebut Churchill bukan lah obat kimia mematikan, melainkan gas lachrymatory, yang pada dasarnya adalah gas air mata.
Dalam hal kebijakan luar negeri, Churchill dikenal menentang gerakan kemerdekaan India. Ia juga kedapatan tidak suka dengan Mahatma Gandhi.
“Sangat mengkhawatirkan dan membuat mual kala menemui Gandhi, seorang pengacara penghasut yang berpose bak fakir miskin lantas berjalan setengah telanjang menaiki tangga Istana,” kata Churchill pada 1931.
Baca juga: Perang Ejekan Para Pemimpin Dunia
Barangkali yang paling menyita perhatian atas polemik Churchill adalah sikap Barrack Obama ketika masih menjabat Presiden AS yang memindahkan patung Churchill dari Gedung Putih. Meski klaim kejadian ini pada akhirnya bergulir rumit, terutama tentang status keberadaan patung tersebut.
Ini berkaitan dengan sejarah kolonial Inggris atas Kenya. Kakek Obama, Hussein Onyango Obama, ditangkap pada awal 1949 karena terlibat gerakan kemerdekaan Mau-Mau. Ia disiksa secara fisik dengan cara-cara sadis.
Aspirasi kemerdekaan rakyat Kenya ditentang ditentang pemerintah kolonial Inggris ketika Winston Churchill masih menjabat Perdana Menteri. Pandangan orang Kenya juga berubah menjadi membenci Inggris.
Dekade pengujung kehidupan Churchill dibanjiri puji dan hormat. Selama periode ini pula, ia menerbitkan karya besar terakhirnya: A History of the English-Speaking Peoples dan Mendirikan Churchill College di Cambridge.
Ia menikmati kunjungan terakhir ke Gedung Putih pada 1959. Di Amerika, Churchill menjadi orang kedua yang menerima gelar warganegara kehormatan setelah Marquis de Lafayette.
Sir Winston Leonard Spencer-Churchill menghembuskan nafas terakhir pada 24 Januari 1965 dalam usia 90 tahun. Upacara kenegaraan mengiringi pemakaman jenazahnya. Ia dikubur bersama orang tuanya di gereja kecil di Bladon, depan Istana Blenheim, tempat ia memulai kehidupan panjangnya.
Penulis: Tony Firman
Editor: Ivan Aulia Ahsan