tirto.id - Gerald Keegan terlihat getir saat kapal Naparima yang mengangkutnya bersama ratusan penyintas mulai meninggalkan tanah airnya.
“Melihat pemandangan dalam keheningan yang penuh hormat, melihat untuk terakhir kalinya tempat yang paling kita sayangi di bumi,” tuturnya dalam buku harian.
Ia merupakan seorang guru di sebuah desa kecil di Irlandia Barat dan mulai menulis catatan tentang wabah yang tengah melanda pada bulan Februari 1847.
Membayangkan murid-muridnya yang tengah kelaparan dan tewas, ia melanjutkan catatannya, “Anak-anak telah kehilangan penampilan normalnya saat masih muda. Mereka terlihat seperti orang tua. Mereka tidak tertawa dan bermain lagi.”
Irlandia sedang dilanda kelaparan besar akibat wabah kentang. Keegan dan istrinya menyelamatkan diri melintasi Samudra Atlantik menuju Kanada. Sayangnya, begitu tiba di kamp Quebec, Kanada, istrinya meninggal.
Keegan sendiri akhirnya terserang demam dan meninggal, sementara catatan hariannya diselamatkan oleh seorang pendeta.
Great Famine, juga dikenal sebagai Irish Potato Famine, adalah periode kelaparan besar di Irlandia antara tahun 1845 hingga 1852. Kelaparan ini disebabkan oleh penyakit jamur yang menginfeksi tanaman kentang, tanaman utama yang menjadi makanan pokok di Irlandia saat itu.
Kelaparan juga menyebabkan kematian dan emigrasi massal dari Irlandia. Setidaknya 1,3 juta orang meninggalkan Irlandia menuju Amerika Utara, Inggris, dan Australia. Sebagian besar dari mereka kemudian mendarat di Amerika Serikat, khususnya kota New York yang kebanjiran 300 pendatang Irlandia setiap harinya antara tahun 1845-1852.
Bahkan pada sensus 2011, hampir 40 juta orang di AS mengaku beretnis Irlandia dan mereka menjadi sumber daya yang dominan dalam membantu perkembangan ekonomi AS.
Pentingnya Kentang bagi Irlandia
Masuknya kentang ke Eropa dan wabah penyakit busuk daun kentang pada tahun 1840-an menggambarkan penciptaan dunia yang melalui perjumpaan multispesies. Kali pertama muncul lewat identifikasi daunnya yang menghitam, lalu menyebar ke umbi-umbian yang akhirnya membusuk dalam beberapa hari.
Bagi Irlandia, terutama pada abad ke-19, kentang memiliki peran penting, khususnya sebagai sumber makanan pokok. Kentang mudah ditanam dan dipanen, menjadikannya sumber karbohidrat dan kalori yang penting bagi rakyat Irlandia yang sebagian besar tinggal di perdesaan.
Sejak 1801 Irlandia berada dalam kendali Inggris yang memiliki kebijakan tuan tanah mendorong penanaman kentang karena membutuhkan sedikit tenaga kerja dan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari tanaman lain.
Sistem kerja buruh tani yang eksploitatif oleh Inggris membatasi kemampuan rakyat Irlandia untuk menanam tanaman lain. Kentang menjadi sumber makanan yang praktis dan murah.
Lain itu, kentang juga terkenal sebagai makanan yang tahan lama dan mudah disimpan, memungkinkan keluarga untuk menyimpan persediaan makanan selama musim dingin dan periode paceklik.
Pada bulan Juni 1845, penyakit pada tanaman kentang atau dikenal dengan Phytophthora infestans pertama kali muncul di Courtrai, sebuah wilayah perbatasan antara Prancis dan Belgia.
Sebulan kemudian mulai menjangkit ke Belanda dan Prancis bagian utara. Bulan berikutnya dengan cepat menginfeksi Inggris bagian selatan dan terus menyebar pada bulan September melalui Denmark, Wales, Skotlandia, dan tiba di Irlandia.
“Di banyak tempat, tenaman kentang mengering, berubah menjadi hitam dan mengeluarkan bau tidak sedap. Banyak orang berziarah ke Kapel Santo Antonius untuk memohon keselamatan,” ujar Felicitas Rommel, penduduk Courtrai, dalam buku hariannya.
Dalam jurnalnya How Infection Shaped History (2019:7-8), William G. Powderly mengatakan bahwa penyakit kentang ini menyerang di beberapa negara, termasuk Kanada dan Amerika Serikat pada 1845. Namun Irlandia memiliki kerentanan sebab kurangnya variabilitas genetik di antara kentang yang mempunyai munculnya tanaman tahan penyakit.
“Kerentanan Irlandia diperburuk oleh kemiskinan secara keseluruhan dan ketergantungan sebagian besar penduduk pada satu tanaman pokok,” lanjutnya.
Penyakit kentang mudah menyebar dalam kondisi cuaca hangat dan lembab, terutama saat hujan turun. Klasifikasi ilmiah Phytophthora infestans dan perkembangan fitopatologi serta kebijakan pertanian selanjutnya membentuk kompleks agro-industri modern, namun juga berkontribusi terhadap terkikisnya pengetahuan lokal dan praktik agro-ekologi.
Lebih dari Satu Juta Orang Tewas
Diperkirakan lebih dari satu juta orang meninggal dunia akibat Kelaparan Besar di Irlandia. Jumlah ini merupakan konsekuensi dari kombinasi faktor yang kompleks, seperti kurangnya makanan menyebabkan kelaparan dan malnutrisi yang meluas, terutama bagi anak-anak dan orang tua.
Akhirnya sistem kekebalan tubuh yang lemah akibat kelaparan menjadikan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit, seperti tifus, kolera, dan disentri.
“Beberapa ditemukan tewas dengan rumput di mulutnya. Anjing dan keledai telah menjadi makanan umum. Puluhan mayat tergelatak di pinggir jalan,” lanjut Gerald Keegan dalam buku hariannya.
Dampak besar tentu saja menyebabkan banyak orang Irlandia yang melarikan diri dari kelaparan dan kemiskinan dengan cara beremigrasi, terutama ke Amerika Utara. Namun, perjalanan translantik yang begitu melelahkan dan berbahaya juga menyebabkan banyak kematian.
Setidaknya 20 ribu kematian tercatat di pintu kedatangan Pulau Grosse, Quebec, Kanada, sepanjang warsa 1847. Sebagian besar dari mereka meninggal akibat tifus dan demam.
Sebuah sensus tahun 1851 menyebut populasi di Irlandia sebanyak 6.552.385, berkurang hampir dua juta orang dibanding sensus tahun 1841 yang berkisar 8.175.124 jiwa.
Selain angka kematian langsung, Kelaparan Besar juga berdampak jangka panjang yang signifikan pada populasi Irlandia yang mengalami penurunan drastis, dengan sekitar dua juta orang beremigrasi selama periode kelaparan.
Kelalaian Inggris
Irlandia secara efektif diperintah sebagai koloni Inggris dengan perwakilan terbatas di Parlemen Inggris. Mereka dihadapkan pada Hukum Pidana, di mana orang Irlandia yang sebagian besar menganut Katolik pada awalnya dilarang memiliki tanah atau memegang jabatan terpilih.
Terlebih saat sebagian besar tanah di Irlandia dimiliki oleh keluarga Inggris dan Anglo-Irlandia. Rakyat dipaksa bekerja di ladang tuan tanah dengan upah rendah, mengabaikan pertanian mereka sendiri.
Meskipun Pemerintah Inggris tidak percaya bahwa kelaparan di Irlandia seburuk yang dilaporkan di mana 400 ribu kematian terjadi pada 1847, dikenal juga sebagai Black ’47, mereka akhirnya mengakui bahwa kekurangan pangan itu nyata.
Sementara sebagian besar kelaparan buatan terjadi karena kegagalan mereka sendiri yang dinilai lambat dalam mendistribusikan makanan yang melimpah.
Respons awal pemerintah Inggris saat musibah mulai berjatuhan di beberapa kota Irlandia adalah dengan mengimpor jagung dari Amerika senilai £100.000. Meskipun pengirimannya tertunda sementara jagung memerlukan pengolahan ekstensif sebelum dikonsumsi, langkah ini dianggap sia-sia dan tidak praktis.
Perdana Menteri John Peel, seperti diberitakan Neal Baker dalam artikelnya di The Sunlalu melakukan upaya lain pada tahun 1846. Kali ini mencabut tarif untuk menurunkan harga roti.
Usai Peel mengundurkan diri, Perdana Menteri Whig John Russell mengadopsi pendekatan laissez-faire, dengan keyakinan bahwa pasar bebas akan mengatasi masalah kelaparan. Pendekatan ini tidak berhasil dan baru ditinggalkan pada tahun 1847 ketika undang-undang baru diberlakukan untuk menjaga hasil produksi dalam negeri agar tetap dominan dalam bantuan kelaparan.
Kegagalan pemerintah Inggris dalam merespons dengan cepat dan efektif, serta keputusan-keputusan dan kebijakan yang tidak tepat, memperparah dampak kelaparan. Tanggung jawab besar ada pada keterlambatan bantuan dan penerapan kebijakan laissez-faire yang tidak memadai untuk mengatasi penderitaan besar yang dialami penduduk Irlandia.
Meskipun Inggris banyak dikritik atas kelalaiannya dalam menangani Kelaparan Besar, beberapa negara dan organisasi menawarkan bantuan kemanusiaan kepada Irlandia selama masa sulit ini, seperti AS, Prancis, Kanada, dan Australia.
Beberapa tokoh juga mengulurkan tangannya, mulai dari Tsar Alexander II, Paus Pius IX, James K. Polk, hingga Abraham Lincoln.
Sedangkan Sultan Abdul Majid I menyumbangkan £10.000, setara dengan jutaan dolar saat ini, untuk membantu rakyat Irlandia. Namun donasi sebesar ini ditolak Ratu Victoria yang menyumbang £2000 dan ia tidak mau ada sumbangan melebihi nilainya. Sultan Ottoman itu akhirnya memangkas anggaran bantuannya menjadi £1000.
Hal ini membantu meringankan penderitaan banyak orang di Irlandia dan terus dikenang hingga hari ini. Di Drogheda, Irlandia, tim sepak bola lokal mengadopsi lambang Kekaisaran Ottoman, bulan bintang dan sabit menjadi logo klubnya.
Ada juga yang mengabadikan peristiwa Kelaparan Kentang ini menjadi patung, lukisan, dan media lain. Kota-kota seperti Boston dan New York mendirikan tugu peringatan bagi nyawa yang hilang selama kelaparan.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi