tirto.id - Ketika orang Eropa mulai memperluas koloni di wilayah Asia, Afrika, dan Timur Tengah, fotografi pun lahir. Ia menjadi alat yang dimanfaatkan untuk berbagai misi, penjelajahan, diplomasi, hingga kebutuhan militer maupun ekspedisi personal.
Warsa 1880, Muhammad Sadiq Bey, seorang insinyur dan surveyor tentara Mesir Utsmaniyah yang menjabat sebagai bendahara kafilah haji, menjadi orang pertama yang memotret kota suci Makkah dan Madinah, termasuk Masjidil Haram, Ka'bah, dan perkemahan para jamaah di Mina dan Arafah.
Fotografinya mencakup eksterior bangunan suci, termasuk aktivitas ibadah haji yang sedang berlangsung. Ia memberikan gambaran yang realistis tentang pengalaman ziarah para jemaah pada abad ke-19. Karya pionirnya ini menjadi sumber visual yang tak ternilai bagi para sejarawan dan umat Islam yang ingin memahami perkembangan kedua kota suci tersebut.
Ketertarikan Sadiq Bey pada presisi teknik sebagai seorang insinyur turut terwujud dalam karya fotografisnya lewat kamera collodion pelat basah. Foto-fotonya tidak sekadar mengabadikan keberadaan situs suci dan gerak-gerik jemaah, tapi juga memperhatikan detail arsitektur dan elemen-elemen penting lainnya.
Selain dikenal sebagai fotografer, Bey diketahui pernah menulis catatan harian perjalanannya selama bertugas sebagai bendahara haji. Catatannya memuat detail dan pengamatan yang tidak tergambar dalam foto-fotonya, sehingga bisa menjadi sumber pelengkap bagi penelitian sejarah Islam.
Kala Makkah Didominasi Teknik Gambar
Di era digital, daya tarik Ka'bah tak lekang oleh waktu dan tetap menarik para fotografer dari berbagai latar belakang, masing-masing berusaha menangkap makna mendalam Ka'bah melalui lensa mereka.
Ka'bah merupakan salah satu tempat paling suci dalam agama Islam. Sebagai kiblat atau arah yang dihadapkan dalam salat, Ka'bah memiliki makna mendalam dalam kehidupan seorang muslim. Para jemaah haji dari seluruh dunia datang ke Makkah untuk melakukan ibadah haji, yang mencakup melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah tujuh kali.
Sebelum era fotografi, Ka'bah telah digambarkan dalam berbagai medium seni, mencerminkan kekayaan sejarah dan budaya Islam. Penggambaran Ka'bah seperti dalam kerajinan logam dapat ditemukan dalam berbagai artefak, seperti koin, piring, dan lampu minyak.
Sedangkan dalam keramik ditemukan pada berbagai jenis benda, seperti tembikar, ubin, dan mangkuk. Desain Ka'bah pada keramik biasanya berwarna-warni dengan sedikit sentuhan dan pengaruh seni Persia dan Turki.
Lain itu, media lukisan tentang Ka'bah menawarkan representasi yang lebih realistis dibandingkan media lain. Lukisan-lukisan ini sering kali menggambarkan Ka'bah dalam konteks Masjidil Haram, dikelilingi oleh para peziarah yang sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah.
Lukisan Ka'bah berasal dari berbagai gaya seni, dari miniatur Persia yang rumit hingga lukisan realistis Eropa. Seniman terkenal seperti Joseph Pitts yang telah melukis Ka'bah memberi gambaran visual tentang bangunan suci ini kepada audiens Barat.
Sebelumnya pada tahun 1600-an, seniman Ottoman menggambarkan Ka'bah dan Masjidil Haram dalam ubin keramik berlapis kaca dengan lukisan bawah glasir. Berukuran sekitar 30 x 30 cm, ubin keramik ini menampilkan Masjidil Haram dengan Ka'bah di tengahnya.
Ka'bah dilukiskan dengan detail dan cukup akurat. Empat sudutnya ditandai dengan garis hitam tebal. Di bagian atas Ka'bah terdapat Hajar Aswad, yaitu batu hitam yang dianggap suci oleh umat Islam. Di sekitar Ka'bah terdapat gutter, yaitu saluran air yang mengalirkan air hujan dari atap Ka'bah.
Begitu pula gambaran Masjidil Haram, diukir dengan detail dan terlihat lebih sederhana. Bangunan-bangunan di sekitar Ka'bah hanya digambarkan dengan garis-garis dan warna-warna, termasuk beberapa bangunan penting, seperti Masjid Ibrahim dan Maqam Ibrahim, dapat diidentifikasi dengan jelas.
Media seni ubin ini kini menjadi koleksi Walters Art Museum, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.
Evolusi Kota Makkah dalam Lensa
Fotografi berperan penting dalam mendokumentasikan ibadah haji dan kota suci Makkah dan Madinah sejak pertengahan abad ke-19 dan seterusnya. Memberikan gambar yang akurat dan dapat direproduksi untuk pertama kalinya.
Perkembangan fotografi pada tahun-tahun awal didorong oleh eksplorasi dan penemuan, dengan foto-foto yang menyertai ekspedisi keagamaan, ilmiah, diplomatik, dan militer. Para pelancong Eropa berlomba-lomba untuk memberikan kontribusi terhadap representasi visual dan pemahaman beragam budaya di wilayah kolonialnya.
Selain Muhammad Sadiq Bey, terdapat Christiaan Snouck Hurgronje yang menjadi tokoh kunci dalam rekaman visual awal ibadah haji. Dia cukup memberikan kontribusi signifikan terhadap studi Islam dan fotografi tentang perkembangan kota Makkah.
Pada tahun 1885, Snouck Hurgronje memulai misi ambisius untuk mempelajari Islam dari dekat di Hindia Belanda. Ia menghabiskan lima tahun di sana, mempelajari bahasa Arab, budaya, dan agama Islam. Pada 1888, ia mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan ke Makkah, kota suci yang terlarang bagi non-Muslim.
Untuk memasuki Makkah, Snouck Hurgronje menyamar menjadi seorang Muslim. Ia mempelajari budaya dan tradisi Islam dengan cermat, bahkan mengadopsi nama samaran berbau Arab. Lantas berhasil membaur dengan masyarakat lokal dan mendapatkan akses ke tempat-tempat yang biasanya terlarang bagi non-Muslim.
Salah satu bagian penting dari misi Snouck Hurgronje adalah mendokumentasikan kehidupan di Makkah. Ia membawa kamera dan berhasil mengambil beberapa foto dari kota suci tersebut. Foto-fotonya melahirkan gambar tentang kehidupan di Makkah pada akhir abad ke-19 dan menjadi sumber informasi penting bagi para sarjana Islam.
Terlepas dari kontroversinya, Christiaan Snouck Hurgronje tetap dianggap sebagai salah satu orientalis paling penting dalam sejarah. Penelitiannya tentang Islam di Hindia Belanda dan Arab telah memberi pengetahuan tentang agama dan budaya Islam.
Tokoh lainnya adalah Al-Sayyid 'Abd al-Ghaffar, seorang penduduk Makkah, dikenal sebagai fotografer Arab pertama yang mengabadikan kota suci dan ibadah haji, memberikan pemandangan Makkah dan Madinah yang otentik dan alternatif melalui foto-fotonya. Kontribusinya juga menandai tonggak penting dalam sejarah fotografi Timur Tengah.
Perjalanannya ke Makkah untuk melakukan haji dimulai pada 1885. Ia melihat peluang untuk mendokumentasikan kota suci dan ritual haji melalui fotografi. Ia kemudian bertemu dengan Snouck Hurgronje dan terlibat dalam berbagai dokumentasi yang menghasilkan ribuan foto selama perjalanannya.
Foto-fotonya menunjukkan arsitektur Masjidil Haram, Ka'bah, dan berbagai ritual haji. Bersama Snouck Hurgronje ia mengirimkan karyanya ke Belanda
Baik Christiaan Snouck Hurgronje maupun Al-Sayyid 'Abd al-Ghaffar berperan penting dalam mendokumentasikan perkembangan kota suci Makkah pada abad ke-19. Namun, mereka memiliki pendekatan yang berbeda.
Snouck Hurgronje menyamar sebagai seorang Muslim untuk mendapatkan akses ke tempat-tempat yang biasanya terlarang bagi non-Muslim, sedangkan 'Abd al-Ghaffar secara terbuka melakukan pekerjaannya sebagai fotografer.
Seni terus berkembang dengan pesatnya media digital, menawarkan perspektif baru tentang daya tarik Makkah yang tak lekang oleh waktu.
Daya tarik memotret situs suci ini masih kuat di kalangan seniman, khususnya fotografer kontemporer. Mereka terus memotret kemegahan beserta kehidupan kota suci itu sembari memaknai esensi spiritualnya.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi