Menuju konten utama
Mozaik

Hari-Hari Mencekam Menjelang Kejatuhan Hindia Belanda

Selain karena Jepang yang agresif dan sangat siap dalam pertempuran, lemahnya serdadu KNIL juga menyebabkan Dai Nipon dengan mudah melumat Hindia Belanda. 

Hari-Hari Mencekam Menjelang Kejatuhan Hindia Belanda
Header Mozaik Jatuhnya HIndia Belanda. tirto.id/Tino

tirto.id - Jatuhnya Hindia Belanda ke dalam pendudukan Jepang terjadi dalam waktu yang sangat singkat sehingga banyak aspek dalam episode sejarah itu yang kurang mendapat perhatian. Salah satu perkembangan penting yang terjadi pada fajar Maret 1942 adalah perpindahan personel pemerintahan Hindia Belanda ke Bandung.

Pertempuran hebat terakhir—dan barangkali satu-satunya yang berskala besar—terjadi di Laut Jawa pada 27 Februari 1942. Setelah kekalahan angkatan laut yang mematikan di Laut Jawa, Hindia Belanda terbuka kepada invasi Jepang.

Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (1987), mengemukakan bahwa tentara Jepang memasuki Jawa lewat pesisir utara sejak 28 Februari hingga 1 Maret dan akhirnya memasuki Batavia yang pada 5 Maret 1942 dinyatakan sebagai kota terbuka (kota yang bebas diduduki musuh).

Komponen pemerintahan dipindahkan ke Bandung yang dinilai kota yang dikelilingi benteng pergunungan alami dan lebih mungkin untuk dipertahankan.

Awal Maret, beberapa kantor departemen—dalam konteks ini hanya terdiri dari para pegawainya saja—dipindahkan ke dua hotel terkemuka, Hotel Homann dan Hotel Preanger.

Sedangkan pucuk pimpinan negeri yang terdiri dari Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, sektretaris negara Johannes Martinus Kiveron, kepala kabinet Petrus Johannes Abram Idenburg, kepala rumah tangga gubernur jenderal, Letnan Kolonel L.F. Lanzing, Gubernur Jawa Barat B.J.G. Hogewind, serta beberapa staf sipil dan militer gubernur jenderal tinggal sementara di kediaman Residen Priangan (kini Gedung Pakuan) Eelco Tacoma.

Di rumah berukuran besar di tengah kota itu, gubernur jenderal juga disertai oleh staf rumah tangga istana yang dipimpin oleh Nona Demmeni. Suasana pada hari-hari awal penyerangan Jepang sudah tegang.

Pertahanan Hindia Belanda sama sekali tidak siap dan tidak mampu untuk menghadapi Jepang. Hal ini, Jenderal Hein Ter Poorten, sudah tahu. Namun, gubernur jenderal tetap teguh tidak ingin menyerah atas nama seluruh Hindia Belanda. Pendiriannya ini secara khusus memang dimohon seperti itu oleh kabinet Belanda di pengasingan Inggris.

Lebih-lebih, ada rumor yang telah menjadi rahasia umum di kalangan pejabat kolonial bahwa saat berpamitan berangkat ke Hindia kepada Ratu Wilhelmina pada pertengahan tahun 1936, Tjarda memberikan janji bahwa ia tidak akan kehilangan satu jengkal pun tanah Hindia semasa kepemimpinannya.

Tidak ada cara untuk memeriksa kebeneran rumor ini sebab pertemuan antara Tjarda dengan Ratu Wilhelmina pada 1936 tidak didokumentasikan dalam notulen. Namun demikian, berkembangnya rumor itu memberikan gambaran kedekatan yang bersifat pribadi antara ratu dan gubernur jenderal dari keluarga bangsawan itu.

Sore hari tanggal 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, Jenderal Ter Poorten, dan kepala staf umum, Rudolph Bakkers, menghadap gubernur jenderal untuk melaporkan berita mematikan, yaitu runtuhnya tembok pertahanan Ciater. Artinya, Jepang sudah semakin mendekat ke Kota Bandung.

Di rumah residen itu kemudian sempat diadakan rapat yang menghasilkan sebuah usulan untuk menyatakan Bandung seperti Batavia—dijadikan kota terbuka. Menurut gubernur jenderal, ini adalah konsesi paling jauh yang dapat ia setujui. Jelasnya, semua pihak di situ sepakat bahwa tidak boleh ada pertempuran yang terjadi di dalam Kota Bandung yang saat itu dipenuhi pengungsi anak-anak dan perempuan.

Esok harinya, tanggal 7 Maret, merupakan hari ulang tahun ke-54 gubernur jenderal. Rombongan masih tinggal di rumah residen ketika tanpa ada aba-aba, halaman depan rumah dijatuhi bom oleh pesawat Jepang.

Bom jatuh tepat di sebelah kamar Gubernur Jawa Barat, Hogewind. Lampu gantung di ruang tengah bergetar hingga jatuh. Tjarda hanya memandangi kerusakan itu dari jarak dekat. Pada titik ini, tidak jelas apakah pihak Jepang mengetahui bahwa gubernur jenderal tinggal di situ.

Namun, ini memberikan alarm kepada pemerintah kolonial—bila masih mewakili untuk disebut demikian—untuk mencari tempat perlindungan yang lebih aman. Masalahnya, bunker perlindungan yang tersedia di rumah itu merupakan objek yang secara langsung terkena jatuhan bom sebab letaknya di muka rumah.

Malam hari 7 Maret, rombongan berangkat ke tempat baru, yaitu sebuah vila di daerah dekat Dago—Vila Mei Ling (kini Gedung Dinas Psikologi Angkatan Darat, antara Jalan Sangkuriang dan Jalan Siliwangi). Vila ini kepunyaan seorang tuan tanah dan anggota Dewan Rakyat (Volksraad), Kan Hok Hoei (1881–1951).

Kan merupakan keturunan dari keluarga peranakan Tionghoa paling terkemuka, Keluarganya dari Lasem. Vila mewah itu dibangun pada tahun 1930/1931 dengan diarsiteki oleh F.W. Brinkman.

Kita mengetahui lewat gambaran dalam tulisan keturunan Kan, yaitu Sioe Yao Kan, "Villa Mei Ling in Bandung: A Historical Building for the Dutch East Indies” (2018), bahwa dengan standar dekade 1940, Vila Mei Ling merupakan bangunan yang sangat mewah.

Interiornya dilengkapi dengan koleksi vas-vas antik Dinasti Ming dan furnitur kayu bersepuh kerang yang artistik. Eksteriornya bergaya Art Deco, satu nada dengan Vila Isola (berdiri 1933) garapan arsitek Charles Prosper Wolff Schoemaker (1882–1949) yang dimiliki oleh tuan tanah dan jurnalis Dominique Willem Berretty (1891–1934).

Kan Hok Hoei sendirilah yang pada tanggal 7 Maret itu menawarkan bangunan vila miliknya untuk ditempati rombongan gubernur jenderal.

Sekalipun berada di pelukan vila mewah di puncak kota, J.C. Bijkerk dalam karya tulis dokumenternya, Vaarwel tot betere tijden: Documentaire over de ondergang van Nederlands-Indië (1974), menggambarkan bahwa pada malam hari 7 Maret, "[…] di Mei Ling, para penghuninya telah berangkat untuk tidur, tetapi tidak ada yang berhasil tidur."

Kecemasan akan pertempuran-pertempuran yang harus dihadapi oleh tentara kolonial yang putus asa di Front Lembang merasuki para petinggi yang berdiam di Mei Ling.

Ada orang-orang seperti Mayor Jenderal Wijbrandus Schilling, Komandan Divisi I (Jawa Barat) yang kokoh tidak mau menyerah, tetapi lebih banyak tentara yang putus asa. Semangat jenderal itu baru padam setelah Stasiun Padalarang yang ia pertahankan dibom oleh Jepang pada tanggal 9 Maret.

Sejak angin kekalahan dirasakan pada saat mempertahakan Front Lembang, Komandan Divisi I (Jawa Barat) lainnya, yaitu Jenderal Jacob Jan Pesman, akhirnya memutuskan untuk mencari jalan perundingan. Harapannya adalah melaksanakan keputusan 6 Maret untuk menjadikan Bandung sebagai kota terbuka.

Untuk urusan ini, ia mengutus dua orang agar mencari kontak atau perhubungan dengan pihak Jepang. Dua orang itu adalah Kapten J. Gerharz yang pandai berbahasa Jepang dan Kapten J.D. Thijs yang merupakan perwira penerjemah. Orang kedua gagal memenuhi misi karena sama sekali tidak menemukan orang Jepang di jalur Ciumbuleuit.

Sedangkan Kapten Gerharz berhasil menemukan front musuh. Ia berjalan dengan bendera putih hingga akhirnya bertemu dengan Kapten Yamashita yang segera membawa Gerharz menuju atasannya, Kolonel Shoji.

Kesepakatan untuk berunding pun didapatkan dan rencananya perundingan akan dilaksanakan pada 8 Maret pukul 9 pagi di Vila Isola. Dengan kelelahan, Kapten Gerharz berhasil membawa kabar ini ke Jenderal Pesman.

Pagi yang ditunggu datang dan, lebih awal dari perjanjian, Kapten Yamashita tiba di Isola dengan berita yang mengejutkan. Jenderal Hitoshi Imamura yang diberi tahu kabar bahwa pihak Belanda ingin merundingkan penyerahan Bandung melarang jajarannya untuk mengadakan perundingan itu.

Ia ingin bertemu dengan panglima tentara dan gubernur jenderal untuk penyerahan yang lebih total dan konsesi lain tentang seluruh Hindia Belanda. Ia meminta agar kedua orang tertinggi di negeri itu segera berangkat ke Subang untuk berunding dengannya. Jika tidak, katanya, ia akan memulai operasi pengeboman terhadap Bandung.

Jenderal Pesman segera mengabarkan ini kepada Jenderal Ter Poorten yang mendengar saja dalam diam sebab ia sedang tidak enak badan pada pagi hari 8 Maret itu. Pada gilirannya, sang panglima menyampaikan berita itu juga kepada Gubernur Jenderal Tjarda lewat telepon.

Sang wali negeri tidak berpikir lama sebelum menyatakan penolakannya. Dasarnya, ia telah mendengar berita simpang siur selama berhari-hari bahwa orang Jepang ingin ia pergi ke sana dan ke sini, tetapi semuanya tidak ada yang benar.

Selain itu, ia menilai bahwa tentara kolonial belum memberikan perlawanan yang seharusnya kepada Jepang dalam waktu singkat invasi negeri itu sehingga akan sangat memalukan dan menurunkan moral pasukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah sipil bersedia berunding secepat itu.

Tentu saja, faktor utama yang ia hindari adalah kenyataan bahwa perundingan semacam itu akan menjurus kepada konsesi skala besar seperti yang diinginkan oleh Jenderal Imamura.

Namun, ancaman berulang yang datang kemudian lengkap dengan batas waktu hingga pukul 10 pagi (sebelum Jepang membombardir Bandung) membuat gubernur jenderal berpikir secara logis bagi keselamatan Bandung. Ia pun setuju untuk pergi ke Subang.

Orang tahu bahwa zaman baru telah datang ketika Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, Jenderal Hein Ter Poorten duduk berhadapan dengan pimpinan pasukan Jepang, Jenderal Hitoshi Imamura, di sebuah daerah dekat Subang, yaitu Kalijati.

Sumber-sumber Indonesia, Jepang, dan Belanda secara simpang siur menulis bahwa tanggal "menyerahnya" Hindia Belanda kepada Jepang terjadi antara 8 atau 9 Maret 1942. Namun, Imamura—lewat buku hariannya—yakin bahwa penandatangan kapitulasi terjadi pada hari kedua pertemuannya dengan rombongan pejabat tinggi militer kolonial Belanda, yaitu tanggal 9 Maret 1942.

Sayangnya, dokumen penyerahan itu tidak pernah lagi ditemukan hingga kini. Tanggal terakhir itu diperkuat dengan kenyataan bahwa Jenderal Ter Poorten kemudian perlu datang lagi tanpa gubernur jenderal pada tanggal 9 Maret.

Infografik Mozaik Jatuhnya HIndia Belanda

Infografik Mozaik Jatuhnya HIndia Belanda. tirto.id/tino

Lebih-lebih, pada tanggal 9 Maret—dan kita tahu ini dari buku harian Imamura—pemimpin tentara Jepang itu sempat berujar, “[…] pagi tadi [9 Maret pagi setelah siaran radio Ter Poorten] saya diyakinkan akan maksud baik Tuan melalui radio. Jadi, saya sudah memerintahkan seluruh pasukan saya untuk tidak melanjutkan penyerangan sampai kami (Imamura) mendapat kepastian tentang telah tercapainya suatu persetujuan atau apakah perundingan kita sudah gagal."

Lewat sini, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada persetujuan yang telah terjadi pada hari sebelumnya, 8 Maret 1942.

Proses menyerahnya kekuatan kolonial Belanda yang terbesar di Asia terjadi dengan cukup menarik dan akan menghasilkan dampak yang berlarut-larut kepada proses dekolonisasi Indonesia.

Pada tanggal 4 Maret, Gubernur Jenderal Tjarda dengan sengaja melepaskan kuasa tertinggi militer yang seharusnya melekat pada jabatannya kepada kepala angkatan perang. Secara praktis, gubernur jenderal tidak lagi berlaku sebagai panglima tertinggi angkatan perang dan tidak dapat menentukan perang dan damai atas nama Hindia Belanda.

Ia sejak saat itu hanya memegang kekuasaan sipil. Fenomena anomali ini adalah kejutan bagi Jepang. Oleh sebab itu, Jenderal Imamura sempat merasa bingung dan menanyakan persoalan ini berulang kali kepada Tjarda di Kalijati. Setelah mendapat penjelasan, ia pun mengusir pergi gubernur jenderal itu.

Pengusiran ini terjadi pada perundingan tanggal 8 Maret. Secara hukum, ini merupakan kesalahan fatal sebab pemerintah kolonial kemudian menggunakan episode sejarah ini untuk mengklaim legitimasi kekuasaan pemerintah sipil. Artinya, pemerintah sipil Hindia Belanda menganggap diri mereka tidak pernah menyerah.

Lebih lagi, kenyataan bahwa Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook telah mendirikan pemerintahan kolonial di pengasingan Australia memberi ruang bagi transfer kekuasaan sipil kepada pemerintah pengasingan.

Jika diperhatikan dengan saksama, argumen itu juga pada akhirnya berperan dalam penamaan kekuatan kolonial Belanda pascaperang yang kembali ke Indonesia dengan harapan menguasai lagi bekas koloninya, yaitu Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA) yang dalam bahasa Indonesia berarti Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.

Baca juga artikel terkait RUNTUHNYA HINDIA BELANDA atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi