Menuju konten utama
Mozaik

Bathoro Katong, Trah Majapahit yang Sebarkan Islam di Ponorogo

Sosok yang babat alas dan menyebarkan Islam di daerah Ponorogo dan sekitarnya. Salah satu media dakwahnya adalah reog yang diambil dari cerita Panji. 

Bathoro Katong, Trah Majapahit yang Sebarkan Islam di Ponorogo
Header Mozaik Bathoro Katong. tirto.id/Fuad

tirto.id - Bathoro Katong bukan sembarang nama bagi masyarakat Ponorogo di Jawa Timur. Selain dianggap sebagai ulama legendaris, sosok ini juga tidak dapat dilepaskan dari terciptanya Reog Ponorogo.

Tiap tahun pemerintah Kabupaten Ponorogo bersama masyarakat setempat menggelar ritual khusus bagi Bathoro Katong, yakni bedhol pusaka.

Menurut A. Madani dkk. dalam "Makna Kidung Singgah-singgah pada Ritual Bedhol Pusaka Satu Suro di Ponorogo" (2023), ritual ini biasanya dilakukan pada malam satu Suro (tahun baru dalam penanggalan Jawa).

Pusaka-pusaka yang dipercaya milik Bathoro Katong diarak dari pendopo kabupaten ke makam Bathoro Katong beserta kerabat-kerabatnya. Benda-benda itu di antaranya Songsong Tunggul Wulung (payung kebesaran hadiah dari Raja Brawijaya V), Tombak Tunggul Nogo (tombak tempur yang panjangnya 2,5 meter, hadiah dari Sunan Kalijaga), dan Angkin Cinde Puspito (sabuk pakaian kebesaran hadiah dari Raden Patah).

Ketiga senjata itu biasanya diarak dengan pembacaan kidung berjudul "Singgah-singgah" yang secara garis besar isinya berkenaan dengan simbolitas perjalanan berdirinya Kabupaten Ponorogo.

Ketenaran Bathoro Katong juga meluas ke wilayah-wilayah tetangganya seperti Madiun, Kediri, Tulungagung, dan Pacitan.

Menurut Misbahus Surur dalam "Benturan Islam di Pedalaman Jawa dalam Memori Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan”, pada sumber-sumber historiografi lokal, daerah-daerah tersebut senantiasa menempatkan Bhatoro Katong sebagai representasi kekuatan penetrasi Islam di pedalaman Jawa Timur bagian barat.

Ia digambarkan sebagai seorang bangsawan pemeluk Islam awal yang secara militan berusaha mengislamkan daerah-daerah eks-kekuasaan Majapahit. Upayanya bukan tanpa perlawanan, karena kemunculan Bathoro Katong juga turut menghadirkan para resistan yang cenderung menolak dakwahnya.

Bathoro Katong, Reog, dan Islamisasi menjadi pusaran wacana yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah Islam di Jawa Timur bagian barat.

Jaka Piturun, Putra Raja Majapahit

Bathoro Katong menurut Babad Panaraga lahir sekitar abad ke-15 M di Istana Majapahit, anak dari Prabu Brawijaya atau kemungkinan Bhre Kertabhumi.

Sebagaimana dikutip dari tulisan Uswatun Khasanah berjudul "Bathara Katong, Reyog Ponorogo dan Penyebaran Islam di Jawa (2012), ia bernama asli Raden Jaka Pitutun atau kadang disebut Lembu Kanigara.

Ia adik lain ibu dari Raden Patah yang sejak kecil telah terpisah dengan dirinya—karena Raden Patah dibesarkan di Palembang. Sampai kemudian Raden Patah datang kembali ke Jawa dan berdiam di pesantren Sunan Ampel di Surabaya, Jaka Piturun baru berkenalan kembali dengan kakaknya.

Sejak saat itu Jaka Piturun merasa bersimpati dengan kakaknya, sehingga terus memberikan perhatian kepada Raden Patah sampai sang kakak berpindah ke Demak. Ketika Raden Patah berpindah ke Demak itulah Jaka Piturun memutuskan keluar dari Istana Majapahit dan menyusulnya ke Demak.

Dengan bimbingan dari kakaknya, Jaka Piturun kemudian masuk Islam dan mendapatkan kesempatan untuk belajar dengan Wali Sanga selama tinggal di Demak.

Khasanah dalam tulisannya melanjutkan bahwa Jaka Piturun kemudian turut andil dalam perang Demak-Majapahit. Ia pada gilirannya juga mendapatkan jabatan strategis setelah kekalahan Majapahit.

Oleh Raden Patah, Jaka Piturun kemudian diangkat menjadi adipati di wilayah Wengker yang merupakan bekas jajahan Majapahit dan namanya diubah menjadi Bathoro Katong. Ia diperintahkan untuk membuka hutan dan menyebarkan Islam.

Untuk memberi kesan baru terhadap daerah yang ia buka, Bathoro Katong memberi nama daerah kekuasaannya "pramana raga" (raga yang mumpuni), sekarang menjadi Ponorogo.

Walaupun pusat kekuasaan Bathoro Katong saat itu di daerah yang sekarang menjadi pusat Kabupaten Ponorogo, wilayahnya sangat luas karena meliputi daerah Pacitan, Trenggalek, Magetan, dan sebagian Madiun.

Luasnya wilayah Bathoro Katong kemudian mendorong Raden Patah mengirimkan beberapa ulama dari Demak. Mereka ditugaskan untuk mempercepat dan membantu tugas Bathoro Katong dalam menyebarkan Islam di pedalaman Jawa Timur.

Orang-orang itu di antaranya Kiai Siti Geseng yang ditempatkan di Pacitan, Menak Sopal yang ditempatkan di Trenggalek, dan Ki Ageng Mirah sebagai santri langsung Bathoro Katong ditempatkan di selatan Ponorogo.

Wong Budo dan Upaya Negosiasi Bathoro Katong

Baik Babad Alit, Babad Pacitan, maupun Babad Panaraga, semuanya menceritakan terdapat beberapa tokoh lokal di wilayah Kadipaten Ponorogo yang melawan kekuasaan Bathoro Katong.

Orang-orang itu disebut sebagai Wong Budo dalam manuskrip. Istilah ini merujuk pada orang-orang yang masih memeluk kepercayaan lokal ataupun ajaran Hindu-Buddha. Satu di antara banyak tokoh yang menolak dakwah Bathoro Katong adalah Ki Ageng Kutu yang kisahnya paling melegenda.

Sebagaimana ditulis oleh Surur, pada kasus Ki Ageng Kutu sebenarnya sang pendeta tidak menolak dakwah yang dilakukan daerahnya, yakni Jetis di Ponorogo Selatan. Hanya saja Bathoro Katong menganggap Ki Ageng Kutu merupakan tokoh masyarakat yang kharismatik, sehingga apabila ia mau berpindah keyakinan maka akan berdampak baik dalam menarik minat masyarakat setempat terhadap ajaran Islam.

Infografik Mozaik Bathoro Katong

Infografik Mozaik Bathoro Katong. tirto.id/Fuad

Maka itu, Bathoro Katong selalu berusaha mengajak Ki Ageng Kutu untuk memeluk Islam. Mulanya Ki Ageng Kutu menolak secara halus dengan mengatakan ia tak mungkin berpindah agama di umurnya yang sudah menua.

Namun, karena terus membujuknya, Ki Ageng Kutu menjadi berang dan kemudian berusaha memerangi Bathoro Katong. Sang pendeta bahkan sampai mengundang para ajar dan resi yang tinggal di Gunung Wilis dan Lawu untuk membantunya mengalahkan pasukan Bathoro Katong.

Konflik Ki Ageng Kutu melawan Bathoro Katong baru benar-benar berhasil setelah Ki Ageng Kutu dikalahkan oleh rombongan bantuan Demak yang dipimpin oleh Ki Seloaji.

Terlepas dari bagaimana upaya represif yang dilakukan Bathoro Katong terhadap oposan yang mengadangnya, nyatanya Bathoro Katong berusaha menegosiasi penetrasi ajaran Islam di wilayah kekuasaannya. Bentuk nyata dari siasat itu muncul dalam kesenian reog yang ia gunakan dalam menarik minat orang untuk memeluk ajaran Islam.

Dalam hal ini, Bathoro Katong mungkin sekali telah mengetahui bahwa cerita Panji amat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur pedalaman sejak zaman Majapahit.

Popularitas cerita Panji sebagaimana disebut oleh Agus Aris Munandar dalam Tekes: Tinjauan terhadap Kisah-kisah Panji, cerita Panji secara merata dipahatkan dalam relief pada berbagai jenis candi era Majapahit, mulai dari candi besar seperti Candi Panataran di Blitar hingga punden berundak nan terpencil seperti Candi Miri Gambar di Tulungagung.

Maka itu, kesenian reog yang basis ceritanya diambil dari kisah Panji kemudian menjadi media laten penyebaran Islam. Ciri pengadaptasian unsur Islam dalam pertunjukan reog adalah melalui kesenian jemblung sebagai musik pengiring pada reog yang syair-syairnya bernapaskan Islam.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi