tirto.id - Menak Jingga adalah salah satu tokoh penting dalam Serat Damarwulan yang ditulis pada periode akhir Majapahit. Di masa Islam, tokoh ini juga disebut dalam Serat Kanda dan Serat Langendriya, yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam lakon pewayangan.
Alkisah di zaman Majapahit, hidup seorang raja perempuan bernama Ratu Kencana Wungu. Ia merasa puas karena seluruh Pulau Jawa dan Nusantara telah berhasil dikuasainya, namun ternyata ada satu daerah yang belum tunduk di bawah kendali Majapahit.
Daerah itu adalah Kerajaan Blambangan yang berada di ujung timur Pulau Jawa yang dipimpin oleh Menak Jingga. Raja Blambangan ini ternyata jatuh cinta pada Ratu Kencana Wungu.
Menak Jingga yang digambarkan sebagai raksasa, lantas mengirimkan Prabu Kotbuta dan Menak Sabawa untuk mengirim lamaran pada Kencana Wungu.
Di luar area Kerajaan Majapahit, di sebuah paguron (perguruan) di Paluamba, seorang pemuda baru saja menyelesaikan pembelajaran bersama kakeknya yang merupakan pemimpin paguron tersebut. Pemuda itu ialah Damarwulan, ia diperintahkan kakeknya untuk bertemu pamannya di Majapahit.
Paman Damarwulan merupakan Mahapatih Kerajaan Majapahit yang bernama Logender. Maka itu, kakeknya berharap Damarwulan akan mendapatkan pekerjaan yang pantas.
Sesampainya di Majapahit, Damarwulan yang tidak menyadari bahwa ia bertemu dengan Logender. Untuk menguji Damarwulan, Logender mengangkatnya sebagai tukang kebun istana Majapahit.
Dewi Anjasmara, putri Logender, merasa iba dengan keputusan ayahnya terhadap Damarwulan sehingga timbul perhatiannya terhadap pemuda itu. Logender lantas menikahkan keduanya hingga Damarwulan diangkat menjadi salah satu Patih Majapahit.
Setelah Damarwulan naik pangkat, Majapahit dilanda bencana. Ranggalawe Sang Adipati Tuban yang setia terhadap Kencana Wungu harus meregang nyawa di hadapan Menak Jingga. Kejatuhan Ranggalawe menjadi pintu gerbang bencana bagi Majapahit karena pasukan Menak Jingga mulai merangsek ke wilayah inti Majapahit.
Dalam keadaan genting, Kencana Wungu tiba-tiba mendapat wangsit bahwa Menak Jingga hanya dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dari Paluamba. Maka Logender langsung menawarkan Damarwulan untuk menggempur Menak Jingga.
Damarwulan pun segera menyerbu Menak Jingga. Namun, ia dapat dipukul mundur oleh Raja Blambangan itu. Selagi mundur dari peperangan, Damarwulan didatangi oleh dua istri Menak Jingga. Mereka berdua dikisahkan jatuh cinta kepada Damarwulan dan menawarkan diri untuk membantunya asal ia mau mengawini dua Ratu Blambangan.
Mereka menyebut senjata pamungkas Menak Jingga adalah Gada Wesi Kuning. Jika senjata itu dapat direbut, maka Menak Jingga akan kalah. Setuju dengan perjanjian itu, maka pergilah kedua istri Menak Jingga kembali ke istana mereka dan mencuri pusaka Gada Wesi Kuning.
Senjata itu lantas diberikan pada Damarwulan yang segera menantang kembali Menak Jingga dalam duel. Menak Jingga pun dapat dikalahkan dan Damarwulan kembali ke Majapahit.
Simbol Perlawanan Orang Osing
Menurut penggambaran Serat Kanda dan Serat Damarwulan, Menak Jingga disebut sebagai seseorang yang berwajah bopeng, mata juling kemerah-merahan, mulutnya pencor, kakinya pincang, dan bersuara seperti kekeh kuda.
Sementara menurut versi etnis Osing sebagaimana dilampirkan oleh S. Mariati dkk. dalam "Menak Jinggo: Kepahlawanan dan Rekonsiliasi Masyarakat Using" (2014) di Banyuwangi (nama lamanya adalah Blambangan), Menak Jingga bernama asli Bambang Menak.
Ia dikisahkan sebagai anak dari Jaka Mecuet, Adipati Blambangan yang tega membuang istrinya sendiri. Bambang Menak dan ibunya lantas diselamatkan oleh Ki Pamengger yang menetap di Gunung Semeru.
Bambang Menak yang beranjak besar lalu mengikuti sayembara di Blambangan. Tantangannya, barang siapa yang dapat mengalahkan Jaka Mecuet maka akan menggantikan posisinya. Bambang Menak yang tidak mengetahui bahwa Jaka Mecuet adalah ayahnya berhasil membunuh Sang Adipati. Dalam pertarungan itu, ia menderita banyak luka sehingga tubuhnya cacat.
Keberadaan Menak Jingga, terlepas dari bumbu folklor yang melingkupinya, merupakan representrasi dari sikap resistansi orang Banyuwangi selama berabad-abad.
Sejak zaman Majapahit, masyarakat Tapal Kuda Jawa Timur senantiasa menjadi objek eksploitasi daerah-daerah tetangganya. Seperti yang dilampirkan oleh J. Noorduyn dalam "Majapahit in the Fifteenth Century" (1978), Perang Paregreg (1404-1406) menjadikan wilayah Majapahit Timur (Tapal Kuda timur Jawa) sebagai arena konflik yang berkepanjangan.
Bermula dari Bhre Wirabhumi yang menjadi penguasa daerah tersebut, wilayah Tapal Kuda tidak pernah mau akur dengan penguasa Jawa manapun. Perlawanan masyarakat Tapal Kuda terhadap rezim arus utama di Jawa sudah berlangsung sejak awal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Sebagaimana disebut oleh J.L.A. Brandes dalam Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van Tumapěl en van Majapahit (1897), Arya Wiraraja yang membantu Dyah Wijaya mendirikan Majapahit pernah menuntut hak kebebasan rakyat Tapal Kuda.
Wilayah Tapal Kuda yang kala itu belum berpusat di Banyuwangi, melainkan di daerah kaki Gunung Semeru di Lumajang, menjadi tempat yang menakutkan bagi para Raja Majapahit sebab para pemberontak sering kali tumbuh dan berkembang di sana.
Sampai pada Pemerintahan Sultan Trenggana di era Demak pada abad ke-16, Blambangan muncul sebagai eksponen politik Hindu-Buddha terakhir yang alot ditundukkan di daerah Tapal Kuda.
Menurut S. Mariati dkk. keadaan menjadi bertambah parah memasuki abad ke-17 ketika Kerajaan Klungkung di Bali dan Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah secara bergantian menundukkan daerah itu.
Puncaknya daerah Blambangan terbagi menjadi dua pada tahun 1736, yakni Blambangan Barat (meliputi daerah Lumajang dan Probolinggo) masuk wilayah Kerajaan Mataram, sedangkan Blambangan Timur (meliputi daerah Banyuwangi dan Situbondo/Panarukan) masuk wilayah Kerajaan Klungkung.
Rezim kedua elite lintas pulau ini runtuh di Tapal Kuda ketika VOC pada 1765 menyatukan kembali daerah tapal kuda di bawah kekuasaannya. Nama Blambangan kemudian hilang, berganti dengan menjadi Banyuwangi.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi