tirto.id - Ternyata bukan Perang Jawa atau Perang Aceh yang paling meninggalkan trauma mendalam bagi Belanda selama menduduki wilayah Nusantara. Ada satu pertempuran besar yang disebut-sebut membuat Belanda sangat kewalahan. Namanya Puputan Bayu, terjadi di Blambangan atau yang kini dikenal dengan nama Banyuwangi.
Cornelis Lekkerkerker (1923) dalam Balambangan, Indische Gids II, mengakui hal itu. Ia menyebut Puputan Bayu di Banyuwangi adalah peperangan paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan korban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC atau Belanda di Indonesia (hlm. 1056).
Baca juga: Karena Korupsi, VOC Bubar Saat Jelang Tahun Baru
Perang yang terjadi di ujung timur Pulau Jawa dan berpuncak pada akhir 1771 ini memang memakan korban jiwa yang amat banyak. Dari 65 ribu total jumlah penduduk Blambangan saat itu, yang tersisa hanya 5 ribu orang saja.
Indonesianis Benedict Anderson, melalui tulisannya berjudul “Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” dalam Prisma (1982: 75-76), menampilkan komentar miris dari seorang pejabat Belanda di Bondowoso bernama J.C. Bosch terkait banyaknya korban jiwa dalam Puputan Bayu itu. Bosch menulis: ”[…] daerah inilah (Blambangan) barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang satu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali.”
Baca juga: Pembantaian Orang-orang Banda
Latar Belakang Puputan Bayu
Puputan Bayu 1771 merupakan dampak dari ulah penguasa Mataram Islam jauh-jauh hari sebelumnya. Pada 1743, Pakubuwana (PB) II terpaksa meneken perjanjian dengan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. PB II adalah pewaris Wangsa Mataram, raja terakhir Kasultanan Kartasura yang kemudian mendirikan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dua tahun setelah perjanjian tersebut.
Isi perjanjian itu menekankan, PB II harus menyerahkan wilayah kekuasaan Mataram di Jawa bagian timur, dimulai dari Pasuruan hingga Blambangan, juga sebagian wilayah Madura (Djoko Marihandono & Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono 2, 2008: 11). Sebagai kompensasi, VOC memberikan “uang sewa” kepada PB II sebesar 20 real setiap tahun.
Baca juga: Musnahnya Cita-cita Menyatukan Jawa
Yang menjadi persoalan, perjanjian antara PB II dan VOC ini tidak diketahui rakyat Blambangan. Selain itu, kawasan Blambangan sebenarnya masih menjadi area sengketa antara Dinasti Mataram dengan kerajaan Hindu bernama Mengwi yang berpusat di Badung, Bali.
Sebelum masuknya Islam ke Jawa, Blambangan merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi karena lokasinya yang memang tidak terlalu jauh dari Bali. Blambangan dan Mengwi hanya dipisahkan selat. Ketika wilayah ini diklaim Mataram, Mengwi tidak berani menentang frontal meskipun Mataram sebenarnya tidak pernah benar-benar mampu menguasai Blambangan.
Dengan lepasnya Blambangan dari Mataram, Mengwi kembali melakukan manuver agar bisa mengklaim wilayah itu lagi. Penguasa Mengwi memberikan izin kepada Inggris untuk mendirikan kantor dagang di Ulu Pampang, kota pelabuhan yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Blambangan sebelum runtuh pada 1580.
Mengwi menilai Blambangan sangat strategis dan menguntungkan. Selain dari sisi ekonomi dan perdagangan, Blambangan bagi Mengwi juga menjadi benteng terakhir untuk membendung masuknya pengaruh Islam ke Pulau Bali (Hadi Moh. Sundoro, Pangeran Rempeg Jagapati: Pahlawan Perjuangan di Tanah Blambangan, 2008: 23).
Sebaliknya, VOC pada mulanya menganggap wilayah ini tidak begitu penting (I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII, 2001: 24). Karena itu, VOC tidak turun langsung ke Blambangan. Wilayah ini baru akan dikelola saat dibutuhkan nanti.
Selain itu, VOC juga tahu bahwa PB II bukan pemilik Blambangan yang sebenarnya, karena rakyat dan penguasa wilayah ini selalu menolak tunduk kepada Mataram. VOC tampaknya enggan membuang-buang waktu dan tenaga jika nantinya terjadi perlawanan dari rakyat Blambangan.
Namun, anggapan VOC tersebut kemudian berubah setelah Inggris ikut campur di wilayah Blambangan atas izin Kerajaan Mengwi pada 1766. Dan, dari sinilah Puputan Bayu yang menggemparkan itu nantinya terjadi.
Serbuan Belanda ke Blambangan
Pergerakan Inggris di Blambangan ternyata mengusik VOC yang merasa belum ingin menyentuh kawasan itu. Apalagi Ulu Pangpang menjadi kota dagang yang ramai setelah Inggris mendirikan kantor di situ.
Tidak ingin posisi Inggris semakin kuat di Blambangan, VOC lantas melakukan patroli laut di Selat Bali dan sekitarnya sejak Agustus 1766. Hasan Ali (2002) dalam Perang Puputan Bayu Sebagai Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi menyebutkan, armada patroli VOC ini bertugas menangkap kapal-kapal milik Inggris (hlm. 21).
Ternyata, situasi justru bertambah kacau yang memaksa VOC mengirimkan ekspedisi militer ke Blambangan. Pasukan terdiri dari ratusan serdadu Eropa yang diberangkatkan dari Semarang, ditambah bantuan 3.000 prajurit dari Madura dan Pasuruan. Tak hanya itu, Belanda juga mengirimkan 25 kapal besar dan kapal-kapal lainnya yang berukuran lebih kecil (Sudjana, 2001: 63).
Ekpedisi militer Belanda di Blambangan resmi dimulai pada 27 Februari 1767 dengan mendirikan benteng pertahanan di Panarukan. Dari situ, pasukan VOC bergerak melalui jalur darat di bawah pimpinan Letnan Erdwijn Blanke dari Semarang. Dalam 22 hari, mereka tiba di Banyualit yang sudah termasuk wilayah Blambangan.
Kedatangan orang-orang VOC beserta para sekutunya ternyata membuat rakyat Blambangan marah. Terlebih, orang-orang asing itu bersikap kasar dan semena-mena, yang memicu bentrokan fisik di sejumlah tempat.
Perlawanan Wong Agung Wilis
Pasukan VOC mampu merebut satu demi satu wilayah di Blambangan. Sementara rakyat Blambangan terus berusaha menghambat pergerakan musuh meski sering mengalami kegagalan, termasuk perlawanan yang dipimpin Pangeran Puger.
Pangeran Puger adalah putra Wong Agung Wilis, penguasa Blambangan saat itu. Wilis sebenarnya orang yang ditunjuk VOC memimpin Blambangan, namun rupanya itu siasat belaka (Samsubur, Kerajaan Blambangan Banyuwangi, 2006). Ia memanfaatkan posisinya sebagai penguasa untuk menghimpun kekuatan yang nantinya digunakan menyerang VOC.
Wilis merupakan anak pemimpin Blambangan sebelumnya, yakni Pangeran Danureja, dengan seorang putri dari Kerajaan Mengwi di Bali. Selain bisa menyatukan kekuatan Blambangan dan Mengwi, Wilis juga dibantu orang-orang Madura, Bugis, dan kaum pedagang Cina, berkat relasinya yang sangat luas.
Tak hanya itu, Wilis didukung pula oleh Bupati Malayakusuma dari Malang. Bupati ini adalah cucu dari Untung Surapati yang juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Wilis. Dengan segenap kekuatan yang ada padanya, Wilis memimpin perlawanan terhadap VOC. Ia dibantu Mas Rempeg alias Pangeran Jagapati yang masih keturunan Raja Blambangan, Prabu Susuhunan Tawangalun.
Pada Oktober 1767, Wilis bersiap menyerang. Di Ulu Pampang, ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian. Sebagian dipimpin Pangeran Jagapati dan sebagian lagi dipimpin langsung oleh dirinya (Hasan Basri, ed., Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis, dan Sayu Wiwit: 3 Pejuang dari Blambangan, 2006).
VOC sempat memecah wilayah Blambangan menjadi dua dan menunjuk masing-masing pemimpinnya yakni Mas Anom dan Mas Weka. Namun, keduanya kelak justru bergabung dengan Wong Agung Wilis dan Pangeran Jagapati.
Aksi Berani Mati Pasukan Jagapati
Kendati telah menghimpun kekuatan, namun pasukan Blambangan di bawah pimpinan Wong Agung Wilis tetap belum mampu mengungguli Belanda yang dipersenjatai alat-alat mutakhir. Wilis dan pengikutnya akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Banda, Kepulauan Maluku, pada 1768 (Ainur Rofiq Sayyid Ahmad, Tiga Kiai Khos, 2008: 17).
Sepeninggal Wilis, kesewenang-wenangan VOC terhadap rakyat Blambangan semakin menjadi-jadi. Bahan pangan milik penduduk dirampas, petani dipaksa menanam padi yang hasilnya harus diserahkan kepada Belanda, kaum muda dipekerjakan paksa tanpa upah, dan seterusnya.
Kondisi ini membuat banyak warga pergi dari kampungnya untuk menyelamatkan diri (Lekkerkerker, 1923: 1054). Yang menjadi tempat tujuan adalah suatu daerah bernama Bayu (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi) yang terletak di lereng Gunung Raung. Pangeran Jagapati juga datang ke tempat ini bersama para pengikutnya yang masih tersisa.
Mendengar Pangeran Jagapati berada di Bayu, semakin banyak rakyat Blambangan yang berdatangan ke tempat itu. Mereka yakin, Pangeran Jagapati mampu melanjutkan perjuangan Wong Agung Wilis untuk menghentikan kekejian Belanda.
Di bawah komando Pangeran Jagapati, rakyat Blambangan sepakat untuk melakukan perang puputan, atau pertempuran habis-habisan. Mereka memilih gugur di medan laga ketimbang harus menyerah kepada VOC.
Baca juga: Saat Pangeran Antasari Menyerang Tambang Asing
Pada 18 Desember 1771, tepat hari ini 246 tahun silam, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam catatannya yang menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah tentang Puputan Bayu, ribuan prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran. Mereka berseru-seru dengan semangat, membawa apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Pangeran Jagapati berada di barisan terdepan sebagai pemimpin pasukan.
Dan terjadilah Puputan Bayu, perang besar-besaran di tanah Banyuwangi. Lebih dari 60 ribu orang Blambangan menjadi korban, baik tewas, melarikan diri, atau hilang tanpa jejak.
Baca juga: Atasan dan Bawahan yang Saling Berhadapan dalam Puputan Margarana
Sedangkan Thomas Stamford Raffles punya perhitungan berbeda. Dalam The History of Java, ia menyebut, pada 1750, sebelum Puputan Bayu, Blambangan dihuni lebih dari 80.000 orang. Gara-gara peperangan itu, penduduknya menyusut tinggal 8.000 jiwa pada 1881 (Sri Margana, The Puputan Bayu: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan 1771-1773, 2003).
Di sisi lain, VOC mengerahkan 10 ribu personil, dilengkapi senjata canggih termasuk alat-alat berat. Mereka juga menghabiskan 8 ton emas untuk biaya perang. VOC dalam hal ini sebenarnya merugi, karena apa yang dikeluarkan ternyata tak sepadan dengan apa yang didapat. Blambangan tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda selama berkuasa di Indonesia.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan