tirto.id - Lepas sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Malang, I Gusti Ngurah Rai tak dapat pekerjaan tetap. Setelah dua tahun menganggur, menurut Ktut Sudiri Panyarikan dalam I Gusti Ngurah Rai (1982), laki-laki darah biru dengan tinggi 154 cm dan berat 45 kg ini, “pada tahun 1936, mulai memasuki Officier's Opleiding (pendidikan calon perwira) Korps Prajoda, di Gianyar, Bali. Pendidikan calon perwira ini dimulai pada tanggal 1 Desember 1936.”
“(Pemerintah Kolonial) Belanda telah sengaja memilih perwira Prajoda dari kalangan keluarga berdarah biru,” tulis Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata (2006).
Prajoda termasuk hulptroepen alias pasukan bantuan militer Belanda dari Bali. Pasukan ini mendapat supervisi dari orang-orang Tentara Kerajaan Hindia Belanda alias Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL). Salah satunya perwira Belanda bernama Letnan JBT Konig.
Jelang mendaratnya Jepang, Bill Yenne dalam The Imperial Japanese Army: The Invincible Years 1941–42 (2014) menyebut tak ada pasukan KNIL di Bali. Hanya ada Letnan Kolonel WP Roodenberg dan Korps Prajoda—yang beranggota 600 orang untuk menjaga pesisir pantai.
Baca juga: Bubarnya Angkatan Perang Hindia Belanda KNIL
Ketika serdadu-serdadu Jepang di depan mata, menurut Geoffrey Robinson dan Nyoman Pendit dalam Bali Berjuang (1979), “perwira KNIL memerintahkan pasukan Korps Prajoda untuk mundur ke pedalaman dari posisinya di sepanjang pantai selatan, Denpasar dan Lapangan Terbang Tuban (Bandara Ngurah Rai sekarang)."
Di Penebel, Tabanan Selatan, komandan KNIL menyuruh anak buahnya membuang senjata dan seragam, lalu menyuruh mereka pulang. Bahkan ada perintah untuk menghancurkan kendaraan militer dan tak menyisakan minyak serta gas agar tidak bisa dipakai musuh.
Pasukan ini harusnya bertarung habis-habisan untuk mempertahankan Hindia Belanda di Bali, namun itu tidak terjadi. Nyatanya, KNIL mudah dikalahkan balatentara Jepang. Ngurah Rai selaku salah satu perwira Prajoda tak perlu sampai bersimbah darah.
Di akhir-akhir dirinya jadi perwira Prajoda, “semasa awal Perang Pasifik menghadapi invasi Jepang, I Gusti Ngurah Rai pernah menyelamatkan nyawa Konig dan seorang perwira KNIL lain yang dibantu meloloskan diri dari Bali ke Jawa,” tulis Wenri Wanhar dan Iwan Santoso dalam Pasukan-M: Menang Tak Dibilang, Gugur Tak Dikenang (2012).
Setelah terjebak dalam kekonyolan perwira KNIL di Bali, pada masa pendudukan Jepang, Ngurah Rai bekerja di Mitsui Bussan Kaisha. Setelah masa singkat pendudukan Jepang dan Indonesia merdeka, Rai bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang lalu jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Bali. Tak hanya bekas Prajoda saja yang menjadi anggota BKR/TKR, ada juga eks tentara sukarela yang dididik Jepang. “Diantara para pentolan komandan BKR/TKR adalah anggota dengan pengalaman militer pra Perang (Pasifik) di Korps Prajoda,” tulis Robinson. Termasuk di dalamnya perwira darah biru seperti Rai.
Baca juga: Kelahiran TNI Mulanya Tidak Direstui
Belanda Menyerang, Bali Enggan Menyerah
Tak lama setelah Indonesia merdeka, tentara Belanda pelan-pelan masuk ke Bali. Kesatuan Belanda terkenal yang diperintahkan menduduki adalah Batalyon Infateri KNIL Gajah Merah. Di antara perwira dalam batalyon tersebut, menurut Ktut Sudiri Panyarikan, ada JBT Konig. Waktu itu dia sudah berpangkat kapten. Ia diangkat sebagai salah satu komandan penting batalyon karena pengetahuannya tentang Bali.
Sudah pasti Rai ada di seberang Konig. Republik Indonesia yang baru merdeka dan belum mapan memercayakan Rai sebagai salah satu Letnan Kolonel, yang memimpin Resimen Ciung Wanara. Rai tentu tidak tunduk apalagi takut pada Konig. Tak ada yang perlu ditakuti dari perwira yang memilih kabur dalam melawan fasis Jepang. Toh, dulu Rai juga yang membantu Konig dan kawannya kabur ke Jawa, agar tak dihabisi Jepang.
Di mata orang Indonesia, sosok Konig dianggap congkak dan suka meremehkan orang Bali. Menurut I Gusti Ngurah Pindha dalam Gempilan Perjuangan Phisik Pasukan Induk Ngurah Rai (2012), “Letnan Rai dikenalnya sebagai orang yang sangat baik hati, ramah, jujur, dan bekas bawahannya pula.” Itu kenapa Konig menganggap enteng jika Rai mau berpihak ke Belanda. Konig sempat bersurat kepada Rai, yang agaknya ingin mengajak Rai ikut Belanda, seperti waktu di Prajoda.
Baca juga:
“Rai Yang Budiman. Kami, Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR. Kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar desa Plaga, kemudian di sana kita bisa bicara. Apapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukannya kepada kamu suka,” tulis Kapten Infanteri JBT Konig dalam suratnya di Denpasar, 13 Mei 1946, seperti dikutip Nyoman Pendit.Dugaan Konig tentang Rai salah besar. Dikira bakal mau ikut apa kata perwira Belanda bekas atasannya, ternyata Rai memilih ikut Republik. Setelah terima surat Konig, Rai pun menulis surat balasan. Bukan ditujukan untuk bekas atasannya, tapi kepada Letnan Kolonel Termeulen pada 18 Mei 1946.
“Merdeka. Surat telah kami terima dengan selamat. Dengan ini kami sampaikan jawaban sebagai berikut: Tentang keamanan di Bali adalah urusan kami. Semenjak pendaratan tentara tuan, pulau (Bali) menjadi tidak aman. Keamanan terganggu, karena tuan memperkosa kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomatik. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat Bali hanya menghendaki lenyapnya Belanda dari Pulau Bali atau kami sanggup dan berjanji bertempur terus sampai cita-cita kami tercapai. Selama tuan tinggal di Bali, pulau Bali tetap menjadi belanga pertumpahan darah antara kami dengan pihak tuan,” tulis Rai dalam suratnya kepada Letnan Kolonel Termeulen, seperti tersalin dalam Bali Berjuang.
Tergambar bagaimana Rai hanya mau tunduk pada kebijakan Republik Indonesia. Kala itu, Sjahrir adalah Perdana Menteri yang juga berdiplomasi dalam perundingan.
Baca juga:
- Linggarjati: Perjanjian di Rumah Tua Seorang Janda
- Saat Belanda Membatalkan Sepihak Perjanjian Linggarjati
“Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan Long March. Selama diadakan long march itu pasukan gerilya (Indonesia) sering dihadang oleh Belanda sehingga sering terjadi pertempuran,” tulis Nyoman Pendit.
Sebelum Ngurah Rai meninggal, Pendit mencatat pihak gerilyawan menang dalam pertempuran Tanah Arun, dekat Gunung Agung, pada 9 Juli 1946. Ketika berada di desa Marga, Tabanan, Rai memerintahkan pasukannya merebut senjata polisi NICA di Tabanan.
Penyerangan terjadi pada 18 November 1946. Serangan itu membuat jengkel tentara Belanda. Ditambah lagi, Wagimin, yang menjadi kepala polisi NICA di Tabanan, ikut bergabung dengan pasukan Rai. Militer Belanda pun mengurung desa Marga pada 20 November 1946, tepat hari ini 71 tahun lalu.
“Sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak,” tulis Pendit.
Sengitnya perlawanan membuat militer Belanda mengerahkan pesawat tempur dari Makassar. Pasukan Rai tidak mundur. Dia memilih bertempur sampai titik darah penghabisan. Dalam bahasa Bali, pertempuran macam itu disebut "puputan".
Menurut catatan Pendit, 96 orang dari pihak Indonesia, termasuk Rai, terbunuh. Sementara di pihak Belanda sekitar 400 orang tewas. Peristiwa itu lalu dikenal sebagai Puputan Margarana.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan