tirto.id - Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu tidak hanya memberikan kebahagiaan, tetapi sekaligus kewaspadaan. Jepang masih menjadi ancaman meski sudah kalah perang. Bisa saja terjadi bentrokan sebelum pasukan Sekutu tiba untuk melucuti senjata mereka. Selain itu, Sekutu juga perlu diwaspadai.
Situasi genting ini memunculkan silang pendapat antara kaum muda dengan golongan tua. Para pemuda menginginkan agar Indonesia secepatnya membentuk angkatan perang, setidaknya untuk membela diri jika terjadi hal-hal di luar perkiraan. Apalagi, di berbagai wilayah di tanah air telah berdiri laskar-laskar bersenjata yang tidak terbilang banyaknya (S.A. Djamhari, Ichtisar Sejarah Perjuangan ABRI, 1971: 2).
Antara Perlawanan dan Diplomasi
Akan tetapi, tidak semua pihak sepakat dengan wacana yang digaungkan kaum muda itu. Sebagian dari golongan tua berpendapat bahwa kemerdekaan yang telah diproklamirkan dapat dipertahankan tanpa bentrokan, yaitu dengan memperoleh pengakuan dari Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II.
Atas dasar keyakinan itu, golongan tua berpendapat bahwa jalur diplomasi menjadi pilihan yang paling tepat dan rasional untuk mengawal kemerdekaan, bukan dengan cara kekerasan termasuk membentuk angkatan perang sendiri kendati hal tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Kaum muda tetap enggan berdiam diri. Pada 19 Agustus 1945, para pimpinan pemuda di Jakarta menyusun rancangan dekrit pembentukan tentara Indonesia sebagai kelengkapan negara yang telah diproklamirkan, sekaligus untuk menghadapi penguasa Jepang yang masih lengkap persenjataannya (F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, 1992: 130).
Ternyata, tidak semua golongan tua menentang rencana itu. Ada sejumlah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang satu suara dengan para pemuda, termasuk Abikoesno Tjokrosoejoso dan Otto Iskandardinata. Mereka membawa rancangan pembentukan tentara Indonesia rumusan kaum muda itu ke sidang PPKI.
Penjelasan yang dipaparkan Abikoesno Tjokrosoejoso dan Otto Iskandardinata di sidang PPKI sebenarnya sempat diterima meskipun masih terjadi pro dan kontra. Namun, nyali para pengampu negara saat itu kembali menciut begitu penguasa Jepang mengetahui rancangan pembentukan angkatan bersenjata tersebut. Jepang menganggap hal itu sebagai upaya terang-terangan untuk melawan mereka.
Di sisi lain, para pimpinan RI merasa bahwa perumusan rancangan angkatan bersenjata sebagai kesalahan besar. Maka, rancangan dekrit pembentukan tentara yang sempat disetujui itu kemudian diubah menjadi maklumat pembentukan suatu badan keamanan saja. Momen inilah yang menjadi awal kelahiran Badan Keamanan Rakyat atau BKR (Adam Malik, Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan, 1970: 67).
Pembentukan BKR pada 22 Agustus 1945—dan diresmikan Presiden Sukarno sehari kemudian—tidak dilakukan secara gamblang agar Jepang tidak curiga. Oleh para perumus negara Indonesia, BKR hanya disisipkan sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang telah dibentuk dua hari sebelumnya.
BPKKP sendiri sebenarnya bermula dari badan pembantu prajurit atau Badan Pembantu Pembelaan (BPP) bentukan Jepang yang sudah ada jauh sebelumnya. Wadah ini dibentuk Jepang untuk menaungi kesatuan-kesatuan prajurit yang melibatkan orang-orang lokal, termasuk PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan lain-lainnya itu (Sejarah TNI Jilid I 1945-1949, 2000: 1).
Awalnya, BKR tidak ditempatkan sebagai angkatan bersenjata reguler, melainkan hanya untuk menjaga keamanan saja. BKR juga bukan merupakan institusi yang dibebani tanggung jawab sebagai pertahanan negara. Tapi, pada perkembangannya nanti, BKR justru berkembang sendiri menjadi korps pejuang bersenjata (A.H. Nasution, Tentara Nasional Indonesia Jilid 1, 1970: 115).
Jalan Terjal Menjadi TNI
Kendati golongan tua berhati-hati dalam memposisikan BKR, namun tidak bagi kaum muda. Mereka justru melihat ini adalah peluang besar untuk menggalang kekuatan militer. Maka, struktur kepengurusan BKR pun dirumuskan dengan lebih serius, dan terbentuklah BKR tingkat pusat di Jakarta. BKR digalang para pemuda yang pernah mendapatkan pelatihan militer dari Jepang maupun Belanda.
BKR Pusat lalu disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada 29 Agustus 1945. BKR di Jakarta ini dimotori anak-anak muda pemberani macam Moefreni Moekmin, Daan Mogot, Latief Hendraningrat, Arifin Abdurrachman, Zulkifli Lubis, Kaprawi, Priyatna, Soeroto Koento, Daan Jahja, Sutaklasana, dan lainnya (Pamoe Rahardjo, Badan Keamanan Rakyat: Cikal Bakal Tentara Nasional Indonesia, 1995: 157).
Diresmikannya BKR Pusat memantik pembentukan laskar-laskar serupa di berbagai wilayah di tanah air. Di sejumlah daerah di Jawa Barat, termasuk di Bogor, Bandung, Garut, Majalengka, Tasikmalaya, Ciamis, Lembang, Purwakarta, atau Sumedang, misalnya, BKR diprakarsai oleh Husein Sastranegara, Ibrahim Adjie, Arudji Kartawinata, Pardjaman, Amir Machmud, Umar Wirahadikusumah, dan lainnya.
Dari Jawa Timur, BKR terbentuk berkat kerja-keras Jonosewojo, Soengkono, dan Soetomo alias Bung Tomo (baca: Ora Dadi Jenderal Ora Patheken). Sedangkan Soedirman, juga G.P.H. Djatikusumo serta beberapa tokoh lainnya, mempelopori pembentukan BKR di Jawa Tengah. Soedirman inilah yang kelak dikenal sebagai Panglima Besar Angkatan Perang RI.
Begitu pula di sektor angkasa. BKR Udara yang merupakan generasi pendahulu TNI AU dirintis oleh para mantan anggota korps penerbangan Belanda, macam Militaire Luchtvaart (ML), Marine-Luchtvaartdienst (MLD), dan Vrijwillig Vliegers Corps, maupun Jepang yakni Rikugun Koku Butai, Kaigun Koku Butai, serta Nanpo Koku Kabusyiki. BKR Udara berdiri di daerah-daerah yang memiliki pangkalan udara (Sejarah TNI Angkatan Udara: 1945-1949, 2004: 8).
Bermunculannya BKR di berbagai wilayah pada mulanya tidak terkoordinasi dengan baik dari pusat karena situasi yang genting pada saat itu seiring kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi oleh tentara Belanda. BKR-BKR di daerah-daerah ini berdiri atas peran para pemuda setempat, terlebih setelah diresmikannya BKR Pusat di Jakarta.
Tidak semua wilayah di Indonesia pernah mengalami masa-masa pembentukan BKR lantaran keterbatasan akses komunikasi dan informasi pada waktu itu, terutama di luar Jawa. Namun kaum muda di sana berinisiatif membentuk laskar-laskar perjuangan yang kelak juga melebur ke dalam angkatan perang RI.
Di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, tidak pernah ada BKR, melainkan laskar-laskar perjuangan seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Penjaga Keamanan Rakyat (PKR), Badan Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR), Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI), Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI), dan seterusnya.
BKR memang sempat tidak mendapat restu dari pemerintah awal RI yang mengutamakan jalur diplomasi. Namun, tindakan nekat BKR yang menjamur di berbagai daerah, juga berbagai jenis laskar perjuangan, inilah yang justru menjadi pengawal kedaulatan republik dari ancaman Sekutu maupun Belanda, juga sisa-sisa tentara Jepang.
Pada perkembangannya, BKR nantinya resmi dijadikan sebagai angkatan perang RI. Dimulai dari peningkatan fungsi BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sejak 5 Oktober 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu, kemudian berganti nama Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946, dan akhirnya menjadi TNI sejak 3 Juni 1947.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 5 Oktober 2017 dengan judul "Kelahiran TNI Awalnya Tidak Direstui". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Zen RS