tirto.id - Sejarah Kerajaan Majapahit umumnya disematkan pada periode pemerintahan Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk. Bersanding dengan Gajah Mada, dia dianggap sebagai sosok raja besar dan tokoh utama di balik kesuksesan Majapahit.
Di balik kebesaran yang disandangkan padanya, beberapa sumber historis mengabarkan bahwa Hayam Wuruk punya sisi lain kehidupan. Bahkan para pujangga Jawa Kuno dan Pertengahan sering pula membabarkan bagian tragis kehidupannya.
"Sri Hayam Wuruk berjuluk Raden Tetep, ketika menjadi dalang namanya adalah Tritaraju, ketika memerankan tokoh perempuan [dalam dramatari] ia bernama Pager Antimun, ketika menjadi pelawak ia bernama Gagak Katawang, ketika menjadi seorang penganut Saiwa ia bernama Mpu Janeswara, bergelar sebagai Rajasanagara ketika menjadi raja dan juga Sang Hyang Wekasing Sukha."
Demikian penulis Serat Pararaton memperkenalkan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, sebagaimana diterjemahkan oleh P. Hardjowardojo (1965). Alih-alih diperkenalkan sebagai seorang ksatria yang beringas di medan perang seperti Raja Airlangga, Hayam Wuruk cenderung digambarkan sebagai seorang seniman sekaligus seorang yang dekat dengan agama.
Uniknya, di dunia seni peran, dia justru dikenang sebagai seseorang yang sering berakting cross-gender. Bagaimana raja seperti Hayam Wuruk yang wilayah kerajaannya meliputi separuh Asia Tenggara didudukkan sebagai seniman dan memiliki aspek feminin?
Hal seperti ini sebenarnya tidak aneh di era Jawa Kuno. Setidaknya begitu yang terungkap dari penelitian M. Alnoza dan Dian Sulistyowati dalam "Konstruksi Masyarakat Jawa Kuno pada Transgender Perempuan pada Abad ke-9-14 M" (2021).
Dalam penelitian itu disebutkan, transgender pada masa Jawa Kuno merupakan bagian dari abdi dalem raja yang berperan sebagai guru kesenian di keputren dan bagian dari pendamping selama proses upacara kenaikan takhta. Masalahnya, bagaimana kalau ternyata yang mewujud sebagai transgender adalah sang raja sendiri?
Agaknya permasalahan ini ada kaitannya dengan kepercayaan Hayam Wuruk yang dicatat oleh penulis Pararaton sebagai pemuja Siwa. Menurut Gopinatha Rao dalam Elements of Hindu Iconography (1916), terdapat suatu konsep di kalangan masyarakat pemuja Siwa mengenai perwujudan Siwa sebagai Ardhanarisvara.
Wujud Siwa ini secara fisik menggabungkan unsur biologis laki-laki (mewakili Sang Siwa sendiri), sedangkan sebagian lain mengambil wujud perempuan (mewakili pasangan Siwa, Parwati) dalam satu tubuh. Secara arkeologis arca-arca Ardhanarisvara memang dapat dijumpai di Jawa.
Wujud Siwa yang demikian diyakini sebagai perlambangan keseimbangan kekuatan alam yang memiliki unsur feminin dan maskulin. Maka itu, bisa jadi penggambaran Hayam Wuruk yang juga memiliki unsur feminin berkaitan dengan simbol ini.
Selain itu, ada dugaan bahwa kepribadian Hayam Wuruk yang digambarkan oleh penulis Pararaton berkenaan dengan didikan sang ibu, yakni Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Hal ini ditunjukkan pada keterangan Prasasti Canggu (1358 M) yang digarisbawahi oleh Titi Surti Nastiti pada disertasinya berjudul Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII-XV M) (2009):
"...dengan nama Dyah Śrī Hayām Wuruk. [Dia] di bawah bimbingan Pāduka Bhatāra yang bergelar Śrī Tribhuwanottunggarājadewī Jayawiśńuwarddhanī [yang] ahli dalam menciptakan tarian, berbudi luhur, menjadi sumber kehidupan bagaikan air Danau Mānasa yang jernih.”
Di dalam khazanah bahasa Jawa Kuno, konsep "pembimbing" sebagaimana disebut dalam Prasasti Canggu itu dikenal dengan nama Makalamanggalya. Status Makalamanggalyasering disematkan pada beberapa tokoh penting seperti Tribhuwana, Rajapatni (ibu Tribhuwana) dan konon bahkan disebut di zaman Singhasari pada periode Kertanegara.
Sistem ini mendudukkan seorang penguasa untuk mendidik langsung suksesornya selama sang suksesor masih berposisi sebagai yuwaraja atau "putra/putri mahkota".
Kasih Tak Sampai dan Ambisi Keluarga
Bimbingan Tribhuwana Tunggadewi terhadap Hayam Wuruk dalam hal ini perlu dicermati lebih lanjut, karena rupanya menghasilkan dampak yang tidak terduga. Apabila dibandingkan antara pola pengajaran yang diberikan Rajapatni terhadap Tribhuwana dan Tribhuwana terhadap Hayam Wuruk, ada perbedaan pola yang mendasar di antara keduanya.
Rajapatni sebagaimana dijelaskan dalam Pararaton, secara tersirat seakan-akan mempersiapkan Tribhuwana untuk berpolitik secara militan di tengah prahara pemberontakan yang dihadapi Majapahit. Hal ini terbukti dari mulusnya jalan takhta Tribhuwana ketika Jayanagara pendahulunya harus menghadapi kejatuhan.
Juga Tribhuwana Tunggadewi kemudian harus menghadapi Pemberontakan Sadeng dan Keta sebagaimana disebut dalam Kakawin Nagarakrtagama versi pembacaan Th. Pigeaud pada Java in the Fourteenth Century. A Study in Cultural History The Nāgara Kŗtāgama By Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D (1960-63). Tribhuwana Tunggadewi mampu mengatasinya dengan mudah karena seluruh aparatur kerajaan telah "ditertibkan".
Sedangkan Hayam Wuruk berkuasa di masa yang damai, sehingga Tribhuwana Tunggadewi secara unik malah membimbing jalan kariernya sebagai raja sekaligus seniman. Namun, ia tetap dibebankan ambisi Dinasti Rajasa yang sejak Pemerintahan Kertanegara di zaman Singhasari sudah bertekad menyatukan Nusantara.
Bisa dikatakan Hayam Wuruk berperan sebagai raja yang jalan hidupnya lurus mengikuti "cetakan" yang sudah ada. Sampai datang waktunya ia harus memberontak pada cetakan itu dengan cara meminang seorang putri Sunda, dan ia sekali lagi takluk pada takdir.
Hayam Wuruk akhirnya harus menikahi sepupunya sendiri demi memuluskan jalan ambisi yang sudah digariskan pada dirinya. Konsekuensinya, patah hati Hayam Wuruk itu yang justru melenyapkan kobaran api ekspansif Majapahit.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi