tirto.id - Tabu pernikahan antara perempuan Sunda dan lelaki Jawa sudah lama mendarah daging sebagai suatu wacana. Kedua belah pihak, baik dari suku Sunda maupun Jawa, sepakat untuk mengkambinghitamkan Peristiwa Bubat atau Pasunda Bubat sebagai biang mitos ini.
Peristiwa Bubat menjadi diskursus dan kemudian malah memunculkan mitos boleh jadi bermula dari penerbitan terjemahan manuskrip Kidung Sunda garapan C.C. Berg. Pada 1927, Berg menerbitkan “Kidung Sunda: Indleiding, Tekst, Vertaling en Aanteekeningen” melalui jurnal Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde.
Terkait Peristiwa Bubat, naskah kuno ini memulai penceritaannya dari tersiarnya berita soal kecantikan putri Raja Sunda, Dyah Pitaloka, ke istana Majapahit. Raja Hayam Wuruk yang terpikat kemudian mengirimkan utusan ke Sunda untuk menyatakan niatnya menikahi sang Putri Sunda.
Singkat cerita, Raja Sunda—dalam sumber Sunda diidentifikasi sebagai Linggabuana—lantas mengantarkan putrinya secara langsung ke Majapahit untuk menikahi Hayam Wuruk.
Nahasnya, sesampai di Majapahit dan ketika berkemah di suatu lapangan bernama Bubat, rombongan besan dari Sunda malah berseteru dengan Mahapatih Gajah Mada dari pihak Majapahit. Persengketaan itu berakhir tragis dengan tewasnya seluruh rombongan Kerajaan Sunda.
Selain Kidung Sunda, kronik Peristiwa Bubat juga diberitakan dalam Serat Pararaton. Manuskrip tersebut ditransliterasi oleh J.L.A. Brandes pada “Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van Tumapěl en van Majapahit: Uitgegeven en toegelich” yang terbit tujuh tahun sebelum terjemahan Kidung Sunda versi Berg diterbitkan.
Pararaton kemungkinan ditulis abad ke-16. Seturut Pararaton, tragedi Pasunda Bubat terjadi pada 1279 Saka (1357 Masehi).
Pandangan yang Terbelah
Meski ada beberapa kronik yang memberitakan dan menjadi bahan telaah sejak lama, tidak semua masyarakat ilmiah dan awam memercayai kesejarahan Peristiwa Bubat. Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, pandangan umum tentang Pasunda Bubat terbelah dalam tiga perspektif.
Perspektif pertama menilai Pasunda Bubat tidak pernah terjadi dan hanya rekaan yang disisip peneliti Belanda belaka. Perspektif kedua menilai Pasunda Bubat adalah peristiwa nyata dan harus diyakini kebenarannya.
Sementara itu, perspektif ketiga lebih bersifat netral ketimbang yang lain. Disebut bahwa Peristiwa Bubat adalah sejarah yang benar terjadi karena tercatat dalam beberapa sumber sejarah. Meski begitu, kesejarahannya masihlah dapat dikaji lebih lanjut.
“Peristiwa itu telah lama berlalu oleh karena itu dalam telaah diperlukan sejumlah data (jika ada) atau tafsir baru secara netral dan tetap bertumpu pada data yang ada, prinsip yang diacu adalah tanpa data jangan bicara,” tulis Munandar dalam bunga rampai Wilwatikta Prana: Kajian Arkeologi-Sejarah Zaman Majapahit (2018, hlm. 228).
Menariknya, berdasarkan sumber-sumber tertulis yang ada, hubungan masyarakat Jawa kuno dan Sunda kuno setelah tragedi itu agaknya tetap berlangsung harmonis. Tengara itu misalnya tersirat dalam manuskrip Bujangga Manik.
Naskah ini menceritakan perjalanan seorang bangsawan Sunda bernama Bujangga Manik keliling Jawa. Naskah yang ditulis sekira akhir abad ke-15 ini menyebut Bujangga Manik sempat pula berkunjung ke Majapahit.
J. Noorduyn dalam “Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data” (1982) menelaah bahwa keberanian Bujangga Manik melawat ke Majapahit mengindikasikan bahwa memang tidak pernah ada konflik berkepanjangan di antara kedua kerajaan.
Terlepas dari banyaknya aspek yang membuat Peristiwa Bubat diragukan oleh sebagian peneliti, sumber tertulis dari Sunda—walaupun satu-satunya—justru memperkuat kesejarahan peristiwa nahas tersebut. Sumber tertulis yang dimaksud adalah Carita Parahyangan.
Banyak peneliti menilai manuskrip yang ditulis kira-kira abad ke-15-16 ini sebagai yang paling terpercaya untuk merekonstruksi sejarah Sunda. Carita Parahyangan, sebagaimana diterjemahkan oleh Atja dan S. Danasasmita dalam Carita Parahyangan: Transkripsi, Terjemahan dan Catatan (1981), mencatat Peristiwa Bubat dalam suatu paragraf singkat.
Bunyi kutipan Carita Parahyangan yang dimaksud kira-kira sebagai berikut:
“Manak dӧi Prĕbu Maharaja, Lawasniya ratu tujuh tahun, kĕna kabawa ku kalawisaya, kabancana ku sӧwӧ dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipapanumbasna. Urang reya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Paprangrang Majapahit”
(Memiliki anak lagi Prabu Maharaja, tujuh tahun lamanya naik takhta sebagai raja. Tersebutnya ia menerima musibah, mendapat bencana karena pernikahan keturunannya, yang bernama Tohaan. Terlampau besar keinginannya. Banyak orang berangkat ke Jawa, karena tidak mau memiliki suami orang Sunda. Perang besar-besaran dengan Majapahit).
Bukan Soal Beda Etnis
Sekilas, memang tidak ada yang aneh dari keterangan soal Peristiwa Bubat pada Carita Parahyangan tersebut. Namun, ada satu sisi tersurat yang mengherankan dari cacatan singkat itu, bahwa sang penulis Carita Parahyangan justru menyalahkan Dyah Pitaloka sebagai muasal tragedi.
Ini berbeda dari penulis Kidung Sunda yang mempersalahkan Gajah Mada. Sang penulis bahkan tidak menyebut nama Dyah Pitaloka dalam naskahnya, hanya sebatas sebutan “Tohaan”.
Mengapa demikian? Jawaban yang mungkin, sebagaimana disebut di akhir catatan itu, adalah keinginan sang Putri Sunda yang terlampau besar daripada yang dia bisa telan. Dia tidak ingin menikah dengan orang Sunda dan malah menginginkan Hayam Wuruk, raja dari negeri yang bisa dibilang adidaya pada masa itu.
Noorduyn dalam telaahnya atas manuskrip Bujangga Manik membeberkan bahwa orang Sunda Kuno pada dasarnya memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Maka di masa itu, lamaran bisa saja diajukan oleh pihak perempuan kepada pihak lelaki. Itu seperti halnya Bujangga Manik yang dilamar oleh seorang putri.
Masalahnya, meski sistem kebudayaan Sunda masa itu memungkinkan hal tersebut, keputusan melamar seseorang tidaklah semudah yang dipikirkan. Pasalnya, masih ada tabu estri larangan ti luaran—larangan perempuan menikahi seseorang dari luar Sunda.
Raja Ningrat Kancana yang masih keponakan Dyah Pitaloka, misalnya, juga mengalami kenahasan serupa bibinya karena melanggar suatu aturan adat. Artinya, pernikahan saat itu bisa dianggap tabu apabila melanggar suatu adat.
Menilik hal tersebut, ada kesan bahwa Dyah Pitaloka memiliki jiwa pemberontak. Dia dengan berani menerabas adat istiadat yang mengikatnya sebagai seorang Sunda.
Hal ini juga menunjukkan bahwa perbedaan etnis bukanlah satu-satunya masalah utama ketika itu. Pun Carita Parahyangan tidak pernah menyebut bahwa tragedi Pasunda Bubat terjadi lantaran perbedaan etnis antara Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk.
Masalah lainnya, pilihan Dyah Pitaloka kemudian memunculkan praduga yang tidak menyenangkan dari pihak Jawa. Berbeda dari masyarakat Sunda, masyarakat Jawa pada saat itu agaknya menganggap bahwa perempuan melamar lelaki bukanlah hal yang wajar.
Sumber tertulis mengenai fenomena perempuan yang melamar lelaki di Jawa memang nyaris nihil. Namun, ulasan Pararaton versi Brandes menyinggung adat Sunda itu secara simbolik. Disebutkan bahwa ketika rombongan besan Sunda sampai di pelabuhan Majapahit, orang Majapahit menganggap kapal-kapal Sunda yang datang serupa “kapal musuh”.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi