Menuju konten utama
Mozaik

Kiai Jimat Sang Pemengaruh dan Arketipe Manusia Indonesia

Arketipe semacam Kiai Jimat tidak akan muncul ke permukaan ketika Indonesia bersembunyi dalam bingkai “korban” dari bergulirnya roda sejarah.

Kiai Jimat Sang Pemengaruh dan Arketipe Manusia Indonesia
Header Mozaik Khazanah Lokalitas Indonesia. tirto.id/Tino

tirto.id - Sekali waktu, di atas kereta Brawijaya menuju Madiun, sejarawan ahli Jawa Peter Carey memantik diskusi menarik tentang arti penting penulisan sejarah Indonesia saat ini. Apa yang diharapkan dari penulisan sejarah Indonesia? Apa jiwa dari historiografi Indonesia kekinian?

Setelah hanyut dalam perbincangan ke segala arah, sampailah kami pada salah satu “jiwa” di antara jiwa-jiwa lain yang patut dikedepankan dalam historiografi, yaitu mencari arketipe atau purwarupa dari manusia Indonesia.

Arketipe yang dimaksud adalah sosok suri teladan yang mungkin tidak sepenuhnya dapat ditiru, tetapi kualitas-kualitasnya dapat jadi acuan.

Masalahnya, “manusia Indonesia” sendiri belum selesai didefinisikan. Siapakah manusia Indonesia? Oleh sebab itu, salah satu jalan keluar yang paling memungkinkan adalah dengan mencari arketipe ini dalam lingkup yang lebih kecil—setempat atau lokal.

Cara kerja ini memudahkan pencarian jati diri manusia di Indonesia ketika mempertimbangkan bahwa masing-masing lokalitas memiliki tata masyarakat yang berbeda. Dengan demikian, sistem nilainya juga berbeda. Tokoh yang dianggap bernilai juga akhirnya akan menjadi khas kepada tempat dan masyarakat tersebut.

Sejarawan-sejarawan Indonesia masa kini terlalu berhati-hati untuk menyentuh ruang sejarah yang dianggap sudah terlalu umum. Alhasil, tokoh-tokoh terkemuka yang berpotensi menjadi arketipe-arketipe manusia Indonesia akhirnya luput dari jangkauan operasi sejarawan baru.

Satu-satunya buku tentang tokoh terkenal seperti Cut Nyak Din yang dapat kita temui di toko-toko buku hari ini masih merupakan karya jurnalis Belanda, Madelon Szekely-Lulofs.

Diponegoro mungkin bernasib paling baik dengan masih adanya sentuhan orang Indonesia, misalnya Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa, 1825–1830 (2019) karya eks-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro.

Namun, di luar itu, nama-nama terkemuka dari periode yang lebih lampau seperti Hayam Wuruk hanya terpatri dalam benak masyarakat dalam nama, barangkali dilengkapi beberapa baris info bahwa ia merupakan raja terkenal Majapahit.

Kenyataan yang lebih mendalam—seperti aspek bahwa ia merupakan seorang seniman—mungkin tak pernah sampai ke telinga bagian besar masyarakat kita. Padahal, meminjam kata-kata Carey, tidak jarang tokoh-tokoh dari Indonesia telah mewakili “persatuan dari William Shakespear dan Raja Henry V”—pujangga agung dan pemimpin militer cemerlang.

Lokalitas Indonesia dari barat ke timur tidak kekurangan khazanah figur-figur semacam ini.

Dalam misi pencarian arketipe ini, kita akan terbantu saat menyadari bahwa tokoh sejarah tidak harus bersih dari segala macam noda dalam standar hari ini.

Seperti bait pembuka novel The Go-Between (1953) karya L.P. Hartley, “masa lalu adalah negeri yang asing, mereka melakukan hal-hal dengan cara yang berbeda di sana.” Oleh sebab itu, pemahaman terhadap keadaan dan jiwa zaman lampau menjadi penting untuk diasah.

Tokoh Prominen dari Pacitan

Dalam sejarah lokal Jawa bagian timur, muncul satu nama prominen yang bertahan dalam zaman peralihan abad ke-18 menuju 19. Orang ini lebih terkenal dengan nama gelar terakhirnya sebelum wafat, yaitu Kiai Jimat dari Pacitan.

Babad-babad, misalnya Babad Patjitan dan Babadé Nagara Patjitan (1924), menyebut usianya mencapai 140 tahun. Namun, yang pasti ia menjabat sebagai Bupati Pacitan menggantikan trah bupati sebelumnya, Setrowijoyo, kira-kira pada awal kedatangan kembali Belanda (sekitar 1819) hingga tahun kedua Perang Jawa (1826).

Kisah penunjukkan Kiai Jimat menjadi bupati adalah kasus istimewa. Inggris mencapai Pacitan pada tahun 1812. Mendengar kedatangan pasukan Inggris, Bupati Pacitan, Setrowijoyo I, ketakutan karena mengira pihak yang datang adalah pasukan Mangkunegoro II (bertakhta 1796–1835) yang berniat menyerang kabupaten.

Ia pun melarikan diri ke gunung dan menyerahkan urusan dalam kota Pacitan kepada salah satu pejabat bawahannya, Joyoniman—yang nantinya akan bergelar Kiai Jimat.

“Apa pun pertanyaan orang Inggris [yang datang] itu dijawab secara tepat serta jelas oleh Kiai Joyoniman”, demikianlah kisah Babadé Nagara Patjitan dalam Kisah Brang Wétan (2021:90–91).

Kejadian hampir serupa terjadi tujuh tahun kemudian, ketika Bupati Setrowijoyo II (menjabat 1812–1819) kedatangan orang Belanda yang bertolak ke Pacitan untuk memerintahkan penanaman kopi.

Pejabat kolonial mengumpulkan bupati dan pejabat bawahan, kemudian menanyakan tentang jumlah pohon kopi yang dapat ditanam oleh satu orang. Semuanya, termasuk bupati, menjawab bahwa maksimal satu orang hanya mampu merawat 25 pohon.

Namun, Joyoniman yang saat itu sudah bergelar Poncogomo (“lima agama”, merujuk pada agama sinkretis yang ia anut) menjawab bahwa satu orang dapat merawat 100 pohon kopi bahkan lebih. Ia menambahkan bahwa dirinya dapat merealisasikan itu “tanpa menyusahkan rakyat”. Pejabat Belanda pun terkesan dan akhirnya menjadikannya sebagai Bupati Pacitan.

Babad bercerita secara berwarna tentang perawakan dan perilaku Kiai Jimat yang gagah dan cakap. Belum lagi tentang kualitas spiritualnya. Ia disebut mendapatkan ramalan bahwa anak yang paling cocok untuk menggantikannya adalah putra ketiganya, Mas Karyodipuro.

Sang bupati kemudian memberitahu Yogyakarta tentang keputusan ini dan diberi persetujuan tanpa surat. Tentu saja, ini menimbulkan masalah dengan anak pertamanya, Mas Sumodiwiryo. Sang putra pertama pergi ke Patih Danurejo IV (menjabat 1813–1847) meminta agar ayahnya yang “sudah tua dan sering sakit-sakitan” agar diberi pensiun dan ia dinaikkan sebagai bupati.

Patih sepertinya tidak mengingat permintaan Kiai Jimat sebelumnya dan malah mengabulkan permintaan Mas Sumodiwiryo. Mendengar ini, Kiai Jimat murka dan menyumpahi anaknya bahwa kekuasaannya hanya akan bertahan seumur jagung. Di tengah Perang Jawa, Kiai Jimat yang terpaksa pensiun akhirnya menerima keadaan dan menyerahkan kursi bupati.

Ia sendiri kemudian memimpin pasukan untuk membendung pasukan Diponegoro di Glesung. Setelah Pacitan ditinggalkan, Mas Sumodiwiryo yang sudah jadi bupati (menjabat 1826) malah dikeroyok pemberontak dan tewas di Kadipaten—sumpah sang ayah seperti terbukti manjur.

Onghokham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah (2019:92–96) menunjukkan bahwa kiprah Kiai Jimat setelah itu lebih berwarna lagi. Anak yang ia inginkan, Mas Karyodipuro, kemudian jadi bupati (menjabat 1826–1850).

Namun, ketika memimpin pasukan di Glesung, sang bupati baru justru tertangkap pasukan Diponegoro. Kiai Jimat segera datang menemui kelompok Diponegoro untuk menawarkan dirinya dalam pertukaran—biarkan Mas Karyodipuro pulang dan ia akan menyerahkan diri sebagai tawanan Diponegoro.

Penawaran pun diterima dan Kiai Jimat akhirnya bertahan di perkemahan Diponegoro. Di situ, ia tak diperlakukan sebagai tawanan. Ia malah “dianggap sebagai tumenggung, […] dihormati seperti halnya orang tua, […] tempat duduknya sejajar dengan guru dalam perang.”

Ketika Diponegoro kalah, Kiai Jimat dianggap sebagai bagian dari blok Diponegoro, ia ditahan di Surakarta namun dibebaskan setahun setelahnya.

Berkat perilakunya yang dipandang tinggi oleh Sunan Pakubuwono VII (bertakhta 1830–1858), ia diberi gelar Kiai Jimat (juru kunci makam kerajaan) dan diizinkan pulang ke Pacitan.

Kiai Jimat sekali lagi membuat geger ketika Asisten Residen G.M. van de Graaff (menjabat 1848–1851) menawarkan jabatan bupati kepada menantu Mas Karyodipuro, yaitu Raden Mas Cokrodipuro. Ini terjadi setelah Mas Karyodipuro wafat pada tahun 1850.

Kiai Jimat merasa bahwa yang berhak menggantikan posisi bupati adalah putra tertua Karyodipuro, yaitu Purbodikaryo. Namun, pemerintah kolonial punya rencana lain. Akhirnya, pemerintah kolonial dibuat kelimpungan ketika mereka mendengar bahwa Kiai Jimat sedang menyiapkan pemberontakan yang akan “membalikkan dunia” jika Purbodikaryo tidak ditunjuk menjadi Bupati Pacitan.

Infografik Mozaik Khazanah Lokalitas Indonesia

Infografik Mozaik Khazanah Lokalitas Indonesia. tirto.id/Tino

Residen Surakarta, W.C.E. de Geer (menjabat 1846–1850) bahkan harus datang ke Pacitan bersama Mangkunegoro III (bertakhta 1835–1853) untuk menyelesaikan perkara ini.

Akhirnya, Kiai Jimat menang. Purbodikaryo diangkat sebagai bupati. Kemelut suksesi ini juga tercatat dalam sumber-sumber Belanda sebagai “masalah suksesi Pacitan”—membuktikan agensi kuat dari Kiai Jimat.

Babad-babad yang melukiskan kehidupan Kiai Jimat aslinya tidak berfokus pada dirinya saja. Sumber-sumber ini berkisah dari periode sebelum kedatangan Islam hingga perkembangan paling baru pada abad ke-19.

Sepanjang lintasan waktu yang panjang itu, terlihat bahwa ada tokoh-tokoh yang dianggap kurang berkualitas dan ada yang digarisbawahi sebagai sosok berkualitas oleh para pujangga penulis. Kiai Jimat adalah salah satu yang masuk kategori terakhir tadi.

Lewat sini, kita dapat memahami bahwa arketipe manusia Pacitan atau Jawa bagian timur punya ciri peran pemengaruh atau agensi yang kuat. Asosiasi Kiai Jimat dengan pemerintah Inggris hingga pemerintah kolonial Belanda tidak dipandang sebagai kekurangan karena ia mampu memengaruhi jalannya sejarah.

Pemerintah kolonial harus mengalah pada intimidasi Kiai Jimat yang menunjukkan perilaku agresif dan retorika yang mengancam kedudukan pemerintah kolonial. Ia memanfaatkan pemerintah kolonial lewat manuver politiknya.

Dalam waktu yang sama, ia punya perhatian terhadap “derita rakyat” seperti tecermin dari jaminannya pada kasus tahun 1819 bahwa metode penanaman kopinya tidak akan menyengsarakan rakyat.

Arketipe semacam ini tidak akan muncul ke permukaan ketika Indonesia bersembunyi dalam bingkai “korban” dari bergulirnya roda sejarah. Cuplikan kecil tentang Kiai Jimat menunjukkan bahwa pemerintah kolonial bukan entitas mahakuasa yang berada di atas dan lepas sepenuhnya dari pengaruh pemain sejarah setempat.

Baca juga artikel terkait PACITAN atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi