tirto.id - Masyarakat lokal Kepulauan Indonesia pernah dianggap tidak memiliki tradisi pencatatan sejarah. Setidaknya, dalam kasus Jawa, pejabat kolonial Inggris bernama John Crawfurd, pernah melontarkan komentar yang sangat arogan.
"Sejarah adalah komposisi yang tidak dikenal bahkan oleh bangsa-bangsa paling beradab di Asia. Pengetahuan mereka tentang sejarah bahkan tidak lebih banyak dari pengetahuan mereka tentang mekanisme dan konstruksi mesin uap!” tulisnya dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (1856:151).
Apa yang membuat Crawfurd jemawa dan memberikan penilaian seperti itu? Masyarakat lokal bukan tidak memiliki budaya tulis sama sekali, melainkan budaya tulis itu tidak dianggap sebagai sebuah tulisan yang serius bagi orang-orang Eropa.
Crawfurd bekerja di Jawa sejak 1811 hingga 1816, titik permulaan periode puncak kolonialisme. Artinya, pandangan orang Eropa terhadap ras dan adab masyarakat lain telah berubah.
Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Prancis menyematkan superioritas di benak orang-orang kulit putih. Positivisme—pemikiran filsafat yang berpijak pada pengalaman empiris—berkembang dari Inggris dan Prancis.
Bagi generasi Crawfurd, babad, hikayat, tambo, dan kisah-kisah tutur Nusantara tidak lebih dari sekadar dongeng. Oleh sebab itulah, Crawfurd berpandangan bahwa masyarakat lokal sama sekali tidak memiliki nalar kesejarahan. Butuh waktu hampir satu abad untuk mengubah pandangan ini.
De Graaf Mengakui Babad
Perintis jalan yang paling berpengaruh dalam usaha pengarusutamaan sumber-sumber tradisional Jawa adalah Hermanus Johannes de Graaf. Pada permulaan hidupnya, De Graaf sama sekali tidak memiliki minat dalam studi Jawa atau studi jajahan secara umum.
Namun, setelah mempelajari bahasa Jawa dari Raden Mas Ngabehi Profesor Poerbatjaraka sejak 1927 hingga 1930--mereka bertemu setiap minggu untuk sesi privat--De Graaf menghasilkan disertasi berjudul De Moord op Kapitein François Tack (Pembunuhan Kapten François Tack). Karya ini mengantarnya mendapatkan gelar doktoral dari Universitas Leiden.
Disertasi ini menjadi tonggak penting bagi perkembangan studi sejarah lokal. Selain menggunakan arsip-arsip yang dikeluarkan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (VOC), De Graaf juga mengakui dan menggunakan Babad Tanah Djawi (suntingan J.J. Meinsma 1874) sebagai rujukan otoritatif.
Promotor doktoralnya adalah Herman Theodoor Colenbrander, pengajar yang bukunya ia baca ketika ia bertolak ke Hindia Belanda pada 1926. Karya Colenbrader, Koloniale Geschiedenis (Sejarah Negeri Jajahan) memberi De Graaf pandangan singkat tentang Hindia Belanda. Ini adalah pintu masuk yang membuat ia terpikat pada Jawa.
Dalam artikel peringatan yang ditulis Merle Calvin Ricklefs, salah satu murid terkemuka De Graaf, “In Memoriam Dr. H. J. de Graaf: 2 December 1899–24 August 1984”, sang guru merasa sangat menyesal tidak sempat mengambil kelas Colenbrader saat studi sarjananya.
Memberi Suara pada Orang Jawa
De Graaf lahir di kota ekonomi Belanda, Rotterdam, pada 2 Desember 1899. Ricklefs menyebutnya sebagai seorang yang andal memopulerkan hasil riset, seorang Protestan yang saleh, tetapi seorang akademisi yang tidak populer dalam lingkungan akademik karena pandangannya yang konservatif.
Ia mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Rotterdam sebelum masuk ke Universitas Leiden usai lulus ujian negara pada 1919. Gurunya yang paling terkemuka di Leiden adalah Johan Huizinga yang menjabat guru besar bidang sejarah sejak 1915 hingga 1941.
Meskipun gurunya itu adalah seorang orientalis terkemuka, De Graaf sama sekali tidak tertarik mengambil studi Asia. Ia baru memutuskan untuk menyongsong karier di Hindia Belanda pada 1926. Pada perjalanan lautnya ke negeri jajahan itulah ia mulai menyelami sejarah Jawa.
Dalam diri De Graaf, kita menemukan percampuran menarik antara orientasi politik konservatif dan etis yang saat itu sedang saling berkejar-kejaran. Seperti banyak pangreh praja atau pegawai kolonial lain pada zamannya, De Graaf melihat bahwa orang Eropa memiliki andil yang positif dalam perkembangan peradaban tanah jajahan.
Ia bukan penggemar ide-ide revolusioner yang disuarakan tokoh macam Sukarno atau orang sosialis Belanda seperti D.M.G. Koch. Menurutnya, ide nasionalistik yang diungkapkan orang Indonesia maupun orang Belanda—yang umumnya sosialis—justru tidak akan menyelesaikan masalah jajahan.
Ia lebih menghormati pandangan orang Belanda etis seperti, misalnya, H.J. van Mook atau Charles van der Plas. Tentu saja, pandangannya yang dianggap konservatif bagi zamannya membuat ia tidak populer di kalangan akademisi setelah Perang Dunia II berakhir.
Namun, sekilas bertolak belakang dari pandangan politiknya, ia benar-benar mengangkat derajat sumber tradisional Jawa dalam penulisan sejarah. Dengan kata lain, ia memberikan suara pada orang lokal untuk menyerukan sejarahnya sendiri.
De Graaf memelopori kritik sejarah yang lebih adil terhadap babad. Ringkasnya, babad dapat diperiksa narasinya dengan membandingkan dengan sumber-sumber lain yang sezaman. Dalam kasus studi De Graaf tentang Jawa pada abad ke-17, catatan Portugis dan arsip VOC yang tersimpan di Batavia dan Den Haag terbukti berguna.
Penggunaan babad secara ekstensif dalam studi-studi yang ia terbitkan pernah membuatnya bersilang pendapat dengan kawan sebidangnya, Cornelis Christiaan Berg. Mereka bertemu di dalam kamp tawanan Jepang pada tahun 1942.
Dengan spesialisasi yang saling bertumpang tindih, keduanya menjadi dekat. De Graaf merupakan pendengar setia dari ceramah Berg di dalam kamp. Bahkan menurut Ricklefs, De Graaf pernah ditangkap militer Jepang karena terlalu lama mengobrol dengan Berg.
Dikritik karena Terlalu Percaya Babad
Pada tahun 1955, ketika kedua kawan diskusi itu sudah lama meninggalkan Indonesia, Berg mengkritik tulisan De Graaf tentang Panembahan Senopati. Menurut Berg, Senopati merupakan mitos buatan Sultan Agung, sekadar untuk memberi legitimasi terhadap kekuasaannya.
Berg menganggap Sultan Agung adalah penguasa Mataram yang pertama. Dengan dasar ini, Berg menganggap De Graaf terlalu percaya pada sumber babad dan terperdaya oleh hal tersebut.
De Graaf menanggapinya dengan penjelasan tandingan berbekal sumber Eropa yang menunjukkan bahwa Sultan Agung bukanlah penguasa pertama Mataram. Masalah pertama mungkin dengan mudah selesai.
Namun, ini tidak menghapuskan argumen kedua Berg bahwa babad diciptakan untuk menonjolkan legitimasi magis terhadap seorang penguasa. Sepanjang hayat, De Graaf tidak menyetujui argumen Berg tersebut.
De Graaf yang dijuluki Bapak Sejarah Jawa, sempat menyatakan akan mundur dari dunia tulis menulis saat usianya menginjak 76 tahun.
“Saya kira usia 76 adalah usia yang bagus untuk berhenti.”
Namun setahun setelahnya ia tetap kembali menerbitkan tulisan tentang sumber Melayu dari Semarang dan Cirebon. Hal yang membuatnya harus pensiun dari dunia akademik adalah serangan stroke pada tahun 1982.
Karier akademiknya berakhir total pada tahun tersebut dan ia tidak lagi menghasilkan karya hingga kematiannya pada 24 Agustus 1984—tepat hari ini 38 tahun yang lalu.
Seperti ia menemukan minatnya pada sejarah Jawa dari karya Colenbrader, banyak ahli Jawa pada generasi lanjutan yang menemukan minat mereka dari karya De Graaf. Karyanya, Geschiedenis van Indonesië, yang terbit pada 1949 tetap menjadi karya paling otoritatif tentang sejarah Indonesia sampai tahun 1970-an.
Kemudian banyak studi lanjutan dilakukan oleh sejarawan-sejarawan lain yang lebih muda. Setidaknya, dua sejarawan besar lain yang memiliki andil besar dalam perkembangan historiografi Indonesia masa kini, yakni Peter Carey dan Merle Calvin Ricklefs, mengaku menemukan minat awalnya setelah membaca karya De Graaf tentang sejarah Indonesia.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi