tirto.id - Sejarah seharusnya mengungkapkan pelajaran kehidupan, “historia [est] magistra vitae”, demikianlah kira-kira yang dimaksud oleh filsuf Romawi Kuno, Marcus Tullius Cicero (106–43 SM). Lewat paragraf yang lebih panjang dalam karyanya, De oratore (55 SM), Cicero menjelaskan maksudnya.
Sejarah menjadi “guru kehidupan” sebab ia adalah “saksi dari waktu yang berjalan” dan subjek yang “menjaga ingatan”. Dari penggambaran ini, sejarah menyimpan ingatan yang baik, yang buruk, yang netral—singkatnya, segala hal yang terjadi. Memang, pada perkembangan keilmuan modern, seperti diungkap sejarawan Alfred Leslie Rowse (1903–97) dalam The Use of History (1963), akhirnya diakui bahwa sejarah tidak dapat merekonstruksi masa lalu secara apa adanya. Sebaik-baiknya seorang sejarawan, ia hanya mampu sejauh mungkin mengumpulkan bagian-bagian dari masa lalu.
Dalam perkembangan zaman, sejarah di kalangan publik lebih banyak diwarnai oleh nostalgia, yaitu ingatan tentang masa lalu yang dikira lebih baik. Ini adalah suatu “penyakit” yang endemik dalam ilmu itu. Padahal, ketika kita kembali pada ciri khas sejarah yang mengingat masa lalu tanpa pilih-pilih, kita harus juga mengakui bahwa terkadang sejarah tidak hanya merupakan seri dari peristiwa yang dianggap berkualitas baik bagi masyarakat. Sejarah juga merupakan ingatan atas kegagalan-kegagalan peradaban.
Dalam kerangka inilah sejarah lebih memiliki peran sebagai guru. Sejarah mengajarkan apa-apa yang buruk pada masa lalu agar masyarakat tidak terjerembap lagi ke dalam kubangan kesalahan yang sama. Namun, aspek ini umumnya diluputkan karena lebih banyak yang ingin mengingat sejarah sebagai inspirasi yang baik. Kisah heroik kepahlawanan dalam narasi sejarah segala bangsa merupakan salah satu contoh yang paling sesuai. Orang Indonesia tanpa disadari banyak menjunjung peribahasa dari seorang bijak Yunani, Chilon (600–520 SM), “de mortuis nihil nisi bonum”, “jika tentang orang mati, hanya katakan tentang kebaikannya”.
Sejarah dan Publik
Terkadang, sejarawan juga terjebak dalam tren ini sebab masyarakat lebih menginginkannya bercerita tentang itu. Kini, di tengah masih adanya minat terhadap sejarah yang mengungkapkan hal ingatan baik, muncul aliran lain yang membesar seiring waktu. Aliran baru itu adalah kelompok masyarakat yang ingin mendengar sejarah yang “lain”—yang tidak umum. Akhirnya, subjek kisah sejarah menjadi menganeka. Perkembangan ini menjadi lebih semarak sebab muncul pula cabang ilmu dalam sejarah modern yang disebut sejarah publik. Sejarah publik pada pokoknya mendekatkan ilmu sejarah dengan audiensnya dengan berbagai cara. Cabang ilmu ini mulai melembaga di Amerika Serikat dan Kanada pada dekade 1970. Salah satu tokoh awalnya adalah Robert Kelley (1925–93) yang merupakan guru besar sejarah pada Universitas California, Santa Barbara. Di Indonesia sendiri, salah satu pionir dari sejarah publik adalah sejarawan dari Universitas Indonesia, Kresno Brahmantyo, yang merupakan perwakilan dari Federasi Internasional Sejarawan Publik (IFPH-FIHP) untuk Indonesia.
Sejarah publik memberikan semangat baru bagi para sejarawan untuk muncul ke muka khalayak menyampaikan temuan mereka dari kisah sejarah yang inspiratif hingga yang bobrok. Kini, lewat media baru—museum, televisi, pameran, video daring, dan lainnya—sejarah disampaikan. Semangat itu juga tumbuh karena sejarawan akhirnya mendapatkan insentif non-akademik, yaitu kepopuleran.
Zaman yang Menggugah
Sekalipun telah mengatakan itu, sejatinya ada satu sejarawan yang sudah mendahului zamannya dan telah mampu mencapai audiens publik di Indonesia. Pada era 1980 hingga 2000-an, ada satu nama sejarawan yang populer di media-media Indonesia. Ia adalah Onghokham (1933–2007), seorang sejarawan Universitas Indonesia yang terkenal hedonistik dan nyentrik. Dalam konteks artikel ini, Ong telah mendahului zaman dalam dua aspek, yaitu menjadi sejarawan publik dan menyampaikan kebobrokan sejarah. Ia membongkar tren sejarawan akademis. Kedua hal ini terjadi karena ia mengalami zaman yang menggugah sejarawan.
Ong sendiri sebenarnya melintasi tiga perkembangan zaman. Ia lahir sembilan tahun sebelum Hindia Belanda runtuh pada 1942. Masa kecilnya dihabiskan pada periode pendudukan Jepang (1942–45) dan sebagian besar kehidupannya dihabiskan dalam alam kemerdekaan Indonesia. Pada zaman yang terakhir itu, ia melewati waktu yang lama di bawah kekuasaan Soeharto (1921–2008, Presiden Indonesia 1966/67–1998). Zaman Orde Baru itulah yang menggugah jiwa sejarah Ong.
Kehidupan Ong yang merupakan seorang Peranakan dari keluarga Tionghoa terkemuka dari Surabaya (Han dari Surabaya) mendekatkannya dengan alam kolonial. Tesis sarjana muda yang ia tulis berkenaan dengan kolonialisme, lebih menjurus lagi tentang keruntuhan negara kolonial Hindia Belanda. Tesis itu diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1987 dengan judul Runtuhnya Hindia Belanda.
Di dalamnya, bukan hanya ia menganalisis anatomi jatuhnya sebuah negara kolonial. Ia juga menguliti praktik kolonialisme dan birokrasinya. Ia melihat bagaimana transformasi negara kolonial dari eksploitatif pada abad ke-19 menjadi birokratis pada abad ke-20. Celakanya—atau hikmah tersendiri bagi Ong karena mendapat inspirasi, ia melihat imitasi negara kolonial itu dalam diri pemerintahan Orde Baru. Dengan demikian, ia menjadi bersemangat untuk mengkritisi pemerintahan Soeharto dengan menggunakan informasi tentang Hindia Belanda yang ia miliki.
Fenomena imitasi ini menjadi sebuah satir yang sangat pahit sekaligus pemicu semangat bagi sejarawan—ketika zaman baru malah mirip dan bahkan sama dengan zaman lalu dalam sejarah yang kelam. Bayangkan saja, suatu zaman baru yang diubah melalui revolusi yang tak dapat dikatakan tak berdarah-darah akhirnya menjelma menjadi rezim yang sama dengan zaman lama yang dihancurkan. Ironi ini dimanfaatkan Ong untuk menuliskan ratusan artikel yang ia terbitkan lewat berbagai macam media massa yang tersedia, termasuk Kompas, Prisma, Tempo, hingga The Jakarta Post. Sebagian besar tulisannya memiliki pola yang sama, yaitu menyajikan kemiripan sejarah dan rezim baru—meskipun dalam cara yang tidak frontal.
Kita dapat melihat bagaimana Ong menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru merupakan cerminan tak beda dari pemerintah kolonial ketika ia menulis artikel dengan judul puitis “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair [Yang Tersamar dan Yang Paranoid: Sebuah Penelitian mengenai Sumber Sejarah Kasus Brotodiningrat]”.
Di situ, seperti ditulis sejarawan Peter Carey (lahir 1948) dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah (2018:xvii), ia melukiskan kemiripan dari dunia kolonial Hindia Belanda dan Orde Baru. Baik negara kolonial maupun Orde Baru menggunakan dunia hitam—berandal dan kekerasan—untuk menerapkan kontrol sosial. Carey melanjutkan bahwa, “[…] dalam kasus Hindia Belanda, [kontrol itu digunakan untuk] memaksa petani menyewakan tanah kepada perkebunan, [dan] dalam kasus Orde Baru, untuk menghalangi organisasi buruh dan petani”. Andi Achdian (lahir 1969), seorang sejarawan yang juga murid Ong, menggambarkan dalam Sang Guru dan Secangkir Kopi (2011) bahwa pemerintahan Soeharto memberi inspirasi bagi Ong untuk membuat paralel semacam tadi. Ketika Soeharto jatuh, Ong seperti kehilangan sasaran tembaknya dan menjadi tidak bergairah untuk menulis soal kekuasaan.
Apakah Zaman Ini Menggugah?
Lewat Ong, kita mendapat satu contoh yang cocok tentang bagaimana sebuah zaman yang mereplikasi zaman sebelumnya menjadi penyemangat bagi sejarawan untuk menyampaikan sejarah kegagalan-kegagalan kepada publik.
Sebenarnya, setiap zaman dapat digunakan sebagai sasaran tembak semacam itu. Namun, satu zaman kadang menghadirkan kemiripan yang lebih kuat daripada yang lain. Kini, kita datang pada pertanyaan, apakah zaman yang menggugah itu sudah datang kembali?
Pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo (lahir 1961, Presiden Indonesia 2014–24) mengundang pembicaraan yang semarak. Dimulai sebagai zaman yang tak dikira pada 2014, era presiden itu secara bertahap berubah menjadi zaman yang banyak dikritisi dalam segala sisi. Ungkapan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia (lahir 1976) pada 21 Agustus 2024 tentang “raja Jawa”—sekalipun tidak menyebut dengan jelas siapa yang ia maksud—sebenarnya dapat membuka diskursus sejarah pada zaman yang menggugah tadi.
Di satu sisi, ada banyak kebijakan pemerintahan hari ini yang dapat dibandingkan dengan kebijakan pemerintah kolonial. Kita dapat menyebut konsep pemberian konsesi tanah yang lamanya lebih dari seratus tahun—melebihi konsep kolonial erfpacht berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1870 yang hanya 75 tahun.
Di samping itu, gaya dan pola kekuasaan pemerintah juga memiliki padanannya dengan sejarah yang lebih tua, baik itu pada periode Islam Jawa maupun periode klasik. Jika kita menengok dengan cukup jauh kepada zaman Mataram Kuno (sekitar abad ke-8 hingga 10), kita akan menemukan pembangunan serangkaian proyek monumental yang menaburi Jawa bagian tengah dengan bangunan-bangunan suci berbahan batu dalam jangka waktu hanya dua abad.
Ong dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018:23–25) sempat menyebut, “[…] mengapa daerah Jawa Tengah ditinggalkan orang? […] Bila suatu pusat politik terlalu banyak menyedot sumber-sumber masyarakat guna tegaknya peradaban keraton […] daerah itu pun mengalami disintegrasi sosial dan ekonomi”.
Kita lalu dapat menengok balik ke hari ini dengan mengingat proyek pembangunan baru yang dilakukan pemerintah, yaitu Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Pada masa Mataram Kuno, raja menarik pajak tenaga kerja dari rakyat petani untuk membangun percandian. Tentu saja, hari ini konsep pajak tenaga kerja sudah tidak ada—berganti dengan pajak finansial. Secara menarik, Kementerian Keuangan hari ini mengusahakan penerimaan pajak yang lebih banyak lewat berbagai macam penelusuran dan adanya kenaikan persentase tarikan pajak. Dengan melihat ini, membuat suatu paralel layaknya Ong dengan Hindia Belanda-Orde Baru-nya dalam konteks hari ini—sebuah zaman yang menggugah—bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu sulit bagi sejarawan.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.