Menuju konten utama
29 Desember 2019

Merle Calvin Ricklefs: Sejarah Indonesia Modern dan Islamisasi Jawa

Ricklefs dikenal karena tiga hal: buku "Sejarah Indonesia Modern", penelitian mengenai politik Jawa pasca-Mataram, dan teori tentang islamisasi Jawa.

Merle Calvin Ricklefs: Sejarah Indonesia Modern dan Islamisasi Jawa
Ilustrasi Mozaik Merle Calvin Ricklefs. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tanpa harus bertatap muka langsung, Marle Calvin Ricklefs adalah guru—bahkan juga kawan—dari para mahasiswa sejarah yang mendalami mata kuliah Sejarah Indonesia. Buku karyanya, Sejarah Indonesia Modern, yang dalam bahasa aslinya berjudul A History of Modern Indonesia since c. 1300, menjadi bacaan wajib bagi mereka.

Sebagai dosen tak resmi dari ribuan mahasiswa sejarah, Ricklefs adalah dosen yang baik dengan tidak menyajikan bahan kuliah yang itu-itu saja. Ia beberapa kali memperbaharui buku tersebut dengan catatan-catatan baru soal perkembangan mutakhir. Edisi terakhir buku itu dalam bahasa Indonesia diperpanjang periodisasi pembahasannya dari zaman Ken Arok dan masuknya Islam hingga 2008.

Setelah Ricklefs, sebetulnya sudah banyak sejarawan asing yang menulis buku soal garis besar Sejarah Indonesia, salah satunya Adrian Vickers dengan A History of Modern Indonesia yang terbit pertama kali pada 2005. Tapi soal popularitas, Ricklefs termasuk yang sering disebut-sebut mahasiswa. Entah dalam diskusi dan juga catatan kaki dari tugas ilmiah. Buku babon sejarah Indonesia yang merupakan pesaing terberatnya adalah enam jilid Sejarah Nasional Indonesia (SNI) suntingan Mayor Jenderal Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro.

Ricklefs mengakui kepada Tempo (25/6/2007) bahwa “Buku itu (A History of Modern Indonesia since c. 1300)masih bersifat umum.” Karya tersebut memang cocok sebagai pengantar bagi mahasiswa sejarah pemula atau masyarakat umum untuk mendalami sejarah Indonesia.

Jawa, Islam, dan Islamisasi

Di luar buku tersebut, Ricklefs juga meneliti mengenai Islam dan Jawa pasca-Kerajaan Mataram. Soal ini, karya Ricklefs yang terkenal dan sudah dibukukan dalam bahasa Indonesia adalah Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang—yang edisi bahasa Inggrisnya berjudul Islamisation and its opponents in Java: A political, social, cultural and religious history, c. 1930 to the present (2012).

Dari judulnya terlihat bagaimana Jawa yang abangan mengalami islamisasi selama ratusan tahun. Ricklefs menelisik kepercayaan-kepercayaan yang belakangan dianut orang-orang Jawa dan menerangkan bagaimana kaum abangan menghadapi situasi politik setelah Indonesia merdeka. Buku tersebut dianggap sebagai salah satu karya ilmiah ambisiusnya.

“Pada tahun 1950-an kelompok abangan itu ada yang merepresentasikan mereka, yakni dua partai yang sangat kuat sekali pada waktu itu PNI dan PKI,” aku Ricklefs dalam wawancara dengan CRCS UGM.

Ricklefs juga mengamati perkembangan kelompok Islam Indonesia kontemporer, termasuk Laskar Jihad pada awal 2000-an dan Front Pembela Islam (FPI). Pada 2007, kepada majalah Tempo, Ricklefs menyebut kelompok-kelompok itu berada di pinggir dan bukan penentu situasi. Mereka mirip kelompok Baader Meinhof di Jerman era 1970-an. Bedanya, Baader Meinhoff jelas kelompok pembunuh. “Persamaan yang lebih cocok mungkin dengan Angkatan Muda NAZI,” terangnya.

Ricklefs melihat ada proses Islamisasi yang luar biasa di Indonesia dari waktu ke waktu. “Saya ingat cerita dari seorang yang berada di sini lama sekali, Romo Zoetmoelder. Sebelum Perang Dunia II tidak pernah terdengar suara azan di Yogya. Sesudah revolusi (1945-1949), kadang-kadang terdengar azan. Sekarang hampir setiap hari terdengar azan dan dengan pengeras suara,” lanjut Ricklefs kepada Tempo.

Ricklefs melihat sejak 1960-an di seluruh dunia sudah ada kebangkitan kembali pengaruh agama. Di Amerika Serikat sudah mengalami sejak George Walker Bush jadi Presiden. Dan di Indonesia sudah begitu hebatnya, bahkan sebelum ada kelompok 212.

Infografik Mozaik Merle Calvin Ricklefs

Infografik Mozaik Merle Calvin Ricklefs. tirto.id/Sabit

Pentingnya Babad

Ricklefs pertama kali datang ke Indonesia pada 1969. Kala itu, sebagai mahasiswa doktoral, ia sedang menyusun disertasi tentang politik Jawa di era Hamengkubuwana I alias Mangkubumi, pendiri Kesultanan Yogyakarta. “Khususnya lagi dalam dunia gaib Jawa. Baru setelah itu saya melihat bahwa pemahaman mengenai agama Islam akan penting sekali artinya dalam memahami masyarakat secara keseluruhan,” tuturnya pula kepada Tempo.

Disertasi itu kemudian berhasil dipertahankan di Cornell University dan dibukukan sebagai Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java (1974). Puluhan tahun kemudian, buku itu terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa.

"Ricklefs punya keistimewaan lebih dibandingkan dengan ilmuwan sejarah sebelumnya," kata guru besar sejarah UGM Djoko Suryo, seperti dikutip Gatra (23/12/2002).

Guru besar sejarah UGM lain, Sri Margana, dalam Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial (2004), menyebut Ricklefs adalah sejarawan asing yang menganggap teks-teks Jawa seperti babad sebagai sumber penulisan sejarah penting.

Merle Calvin Ricklefs, laki-laki kelahiran Fort Dodge, Iowa, 17 Juli 1943, sempat mengajar sebagai profesor sejarah di Universitas London, Universitas Monash, Universitas Melbourne, Universitas Nasional Singapura (NUS), dan Universitas Nasional Australia (ANU). Ricklefs mengaku bisa 8 hingga 10 kali keluar-masuk Indonesia dalam setahun. Tak heran, dia mampu berbahasa Indonesia dengan lancar.

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Perorangan Asing 2016 ini tutup usia pada 29 Desember 2019, tepat hari setahun lalu di Melbourne. Ia lama bergelut dengan kanker prostat yang dideritanya. Pada 2018, dalam keadaan sakit-sakitan, ia masih sempat menulis karyanya yang terakhir: Soul Catcher: Java's Fiery Prince Mangkunegara I, 1726-1795—sebuah buku semibiografis tentang petualangan politik Pangeran Sambernyawa.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 31 Desember 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh