Menuju konten utama
8 Januari 1855

Perang Jawa Menguak Jawa Timur: Tak Semua Orang Madiun Jago Tempur

Ketika Perang Jawa berkobar, Bupati Wedana Yogyakarta yang berkedudukan di Madiun justru jauh dari kesan gagah dan jago tempur.

Perang Jawa Menguak Jawa Timur: Tak Semua Orang Madiun Jago Tempur
Ilustrasi Mozaik Pangeran Diponegoro. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada tanggal 8 Januari 1855—tepat hari ini 167 tahun yang lalu—Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825–1830) yang tersohor wafat di pengasingan Makassar. Di antara para pemimpin yang melawan dominasi asing di Kepulauan Indonesia, segi-segi kehidupan Diponegoro telah banyak diteliti secara mendalam.

Meminjam kata sejarawan Bondan Kanumoyoso yang menulis pada buku peringatan 70 tahun begawan ahli Diponegoro, Peter Carey, Urip iku Urub (2019), “Berbagai aspek kehidupan Diponegoro telah dikupas sampai mendalam, mulai dari latar belakang keluarganya, pendidikan agamanya, alasan […] perlawanan[nya], strategi perjuangannya, sampai […] pembuangannya selama hampir 25 tahun.”

Kita sangat terbantu terutama lewat kajian mendalam yang selama puluhan tahun telah dilakukan oleh Peter Carey. Sekalipun demikian, penulisan tentang Diponegoro tidak pernah berhenti semata-mata pada kehidupan sang pangeran. Perang Jawa yang dikobarkan selama kurang lebih lima tahun menandai berakhirnya dunia Jawa tradisional yang dalam karya Carey, Kuasa Ramalan (2014, tiga jilid), disebut sebagai dunia tatanan lama Jawa.

Salah satu penanda berakhirnya tatanan lama tersebut terlihat dari makin meluasnya pengaruh kekuatan Eropa di jantung kekuasaan Jawa. Dalam alam pikiran Diponegoro dan kawan-kawan sezamannya, Jawa dimaknai sebagai sebuah kesatuan kosmologis. Area yang dianggap vital bagi kesatuan kosmologis Jawa itu adalah Jawa tengah-selatan—wilayah yang disebut Belanda sebagai tanah para raja (vorstenlanden).

Ketika kekuatan Eropa telah turut campur dalam wilayah vital itu, pada saat itulah Jawa dianggap telah diintervensi kekuatan asing. Inti sari dari tuntutan Diponegoro dalam Perang Jawa dapat disimpulkan seperti ini: kekuatan Eropa harus hengkang kaki dari pusat Jawa, entah kembali ke Eropa “yang dingin” atau berdiam di posnya di Semarang. Bila kekuatan Eropa ingin berada di wilayah vital Jawa, ia harus menjadi orang Jawa—menerima kebudayaan Jawa, berbicara dalam tatanan bahasa Jawa, dan mengadopsi Islam yang pada periode itu menjadi identitas religi Jawa. Oleh sebab itu, Perang Jawa memiliki motivasi kebudayaan yang kuat dan akhirnya meluas ke berbagai daerah di Jawa.

Di tempat-tempat perang berkobar, umumnya terkuak percaturan politik yang ruwet dan menarik. Jawa bagian timur yang jadi wilayah Mataram (setelah 1755, Perjanjian Giyanti, dibagi di antara Surakarta dan Yogyakarta)—daerah Brang Wétan—menjadi salah satu tempat yang percaturan politik lokalnya dibongkar lewat pengaruh Perang Jawa.

Wilayah Brang Wétan meliputi kabupaten-kabupaten timur kedua kerajaan Jawa, di antaranya Madiun, Ponorogo, Magetan, Ngrowo, dan lain-lain. Salah satu wilayah intinya adalah Madiun Raya yang secara geografis berada di antara Gunung Lawu dan Gunung Wilis. Nunus Supardi dalam epilog buku Antara Lawu dan Wilis (2021), menjelaskan bahwa anatomi wilayah ini mirip dengan sebuah cawan besar atau perbentengan alami yang setengah terbuka hanya di bagian utara. Wilayah tersebut adalah “tempat strategis bila dilihat dari segi ilmu militer,” ungkapnya.

Tentang orang-orang dari wilayah ini, Diponegoro pernah membuat penilaian bahwa “orang Madiun bagus dalam bertahan melawan serangan pertama dan mereka berperilaku baik [secara militer].” Mental yang bagus untuk menghadapi serangan pertama dalam perkataan Diponegoro merujuk pada kesan bahwa orang-orang dari wilayah ini memiliki kekuatan mental untuk menghadapi perang—tidak gugup dan tidak jatuh mental.

Sifat militeristik orang-orang Madiun Raya juga diamini oleh sejarawan Ong Hok Ham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah (2018) dengan mengungkapkan bahwa para bupati di Brang Wétan “dituntut” untuk memiliki sifat jago yang gagah dan ahli bertempur. Salah satu contoh ideal dari model jago adalah bupati legendaris Pacitan, Mas Tumenggung Jogokaryo (setelah pensiun dikenal sebagai Kiai Jimat) yang menjabat sekitar tahun 1819 hingga 1826. Ia ditunjuk menjadi bupati setelah Belanda menyaksikan wataknya yang berani bertempur dan dapat mengatur peningkatan produksi tanaman ekspor di Pacitan.

Di tengah Perang Jawa, Kiai Jimat sempat bergabung dengan Diponegoro dan duduk sejajar dengan para penasihat perang sang pangeran. Awalnya, ini terjadi karena putranya yang menjadi Bupati Pacitan saat itu (menjabat 1826–1850), Mas Tumenggung Jogokaryo II, sempat ditangkap Diponegoro. Sang ayah kemudian datang pada Diponegoro untuk menggantikan anaknya sebagai tawanan. Namun, Babadé Nagara Patjitan yang diterjemahkan dan diterbitkan sebagai Kisah Brang Wétan (2021) kemudian menyebut bahwa Kiai Jimat justru “dihormati [di dalam kelompok Diponegoro] seperti halnya orang tua […], tempat duduknya sejajar dengan para bupati dan kerabat [Diponegoro] serta guru dalam perang.”

Setelah Diponegoro ditangkap secara licik di Magelang pada tahun 1830, Kiai Jimat kembali ke pihak keraton sebagai pemberontak tetapi tidak dihukum. Ia kemudian membantu asisten residen di Pacitan untuk membersihkan sisa-sisa pemberontakan. Sifat kemiliteran yang cakap dan luwes seperti yang ditunjukkan Kiai Jimat itulah yang melekat pada orang-orang di wilayah timur Mataram.

Bupati Wedana Non-Militeristis

Setelah pembagian wilayah Mataram di antara Surakarta dan Yogyakarta pada Perjanjian Giyanti (1755), dan kemudian dilanjutkan Perjanjian Klepu (1757) dan Semarang (1774), pengaturan wilayah timur diserahkan kepada beberapa bupati wedana—bupati yang mengepalai bupati lain di wilayah bawahannya. Surakarta dan Yogyakarta masing-masing memiliki bupati wedananya sendiri dengan wilayah yang kadang bertumpang tindih.

Bupati wedana milik Surakarta berkedudukan di Kediri, sedangkan Yogyakarya berkedudukan di Madiun. Pada masa Perang Jawa, wilayah yang menjadi bawahan bupati wedana Yogyakarta, Pangeran Ronggo Aryo Prawirodiningrat (menjabat 1822–1859), mencakup juga Ngrowo dan Kalangbret (kini disatukan sebagai Kabupaten Tulungagung). Para bupati wilayah ini sebagian besar loyal kepada pemerintah kolonial, termasuk bupati wedananya yang tidak bersifat militeristik. Di tengah tatanan sosial yang menjunjung tinggi watak gagah dan jago tempur, kecenderungan non-militer sang bupati wedana menimbulkan gesekan dengan bupati di bawahnya.

Gesekan tersebut awalnya terungkap karena sebuah insiden yang di dalam arsip-arsip Belanda sezaman disebut sebagai insiden “sinyal palsu” (loos alarm). Pada awal Mei hingga Juni 1828, ketika derap Perang Jawa telah padam di Jawa Timur, muncul laporan-laporan yang dikirimkan kepada jajaran militer dan pemerintahan Belanda—di antaranya, Jenderal De Kock dan Residen Pasuruan, Hendrik Jacob Domis.

Laporan tersebut mengungkapkan sikap tidak loyal dan rencana kerusuhan yang dituduhkan kepada Bupati Ngrowo, Raden Tumenggung Notodiwiryo, dan Bupati Kalangbret, Kiai Ngabehi Mangundirono. Kedua bupati dituduh berniat bergabung dengan pemberontakan Pangeran Diponegoro. Padahal, kekuatan Diponegoro pada tahun 1828 di Jawa Timur sudah surut sama sekali. Surat laporan ini tampaknya dikirim oleh atasan kedua bupati tadi, Pangeran Ronggo.

Ketika menerima pesan, Jenderal De Kock tidak langsung percaya dan memilih tidak melakukan hal-hal yang dapat menyinggung kedua bupati. Tindakan De Kock itu terbukti benar. Kisah yang melatarbelakangi laporan tersebut akhirnya terungkap ketika kedua bupati bertemu dengan pihak Belanda, Kolonel H. G. Nahuys dan Residen Yogyakarta, J. F. W. van Nes. Sebelumnya, kedua bupati tadi rupanya telah mengirim sebuah keluhan berisi tujuh poin tentang Pangeran Ronggo kepada Patih Danurejo IV di Yogyakarta.

Infografik Mozaik Pangeran Diponegoro

Infografik Mozaik Jawa Bagian Timur dalam Perang Jawa. tirto.id/Tino

Pada pokoknya, Bupati Ngrowo dan Kalangbret mengungkapkan tindakan memalukan yang telah dilakukan Pangeran Ronggo ketika mereka—termasuk juga para bupati Jawa Timur yang lain—sedang menghadapi serangan kelompok Diponegoro di bawah pimpinan Sosrodilogo di antara Cepu dan Bojonegoro pada 10 Desember 1827. Ketika kedua bupati berhasil mengepung musuh dari kanan dan kiri, bupati wedana malah melarikan diri dari pertempuran bersama dengan beberapa bupati lain sehingga membuat kedua bupati kewalahan.

Malahan, para bupati yang turut melarikan diri bersama sang bupati wedana dihadiahi promosi jabatan dan penghormatan. Selain itu, sang atasan juga tidak melakukan apa-apa ketika Sosrodilogo sedang berada di Desa Sewulan dekat Madiun dan dalam posisi yang memungkinkan untuk disergap. Secara ringkas, kedua bupati mengeluhkan sikap atasannya yang tidak berani, tidak heroik, dan pilih kasih serta telah mendelegasikan tugas pemerintahan kepada pamannya yang tidak cakap.

Seperti telah disebut di atas, Pangeran Ronggo memang menunjukkan kecenderungan watak yang non-militeristik—lebih suka membuat kerajinan kayu dan menggambar dibandingkan ilmu pertempuran. Ia sangat kontras dengan saudaranya yang menjadi panglima Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, dan ayahnya yang pernah memberontak melawan Daendels, Raden Ronggo Prawirodirjo III.

Setelah mendengar penjelasan kedua bupati, Van Nes menulis penjelasan lengkap kepada Jenderal De Kock. Namun demikian, tidak jelas apakah kedua bupati kemudian mendapatkan jalan keluar dari keluhannya dan menjadi puas. Jelasnya, Pangeran Ronggo kemudian dengan sangat rela hati berniat menyelesaikan permasalahan dengan kedua bupati tersebut sekalipun harus mengorbankan sedikit otoritasnya.

Perang Jawa secara tidak langsung telah menguak ketegangan kebudayaan yang terjadi kepada orang-orang yang melawan arus standar ideal di wilayah Jawa Timur—sebuah wilayah yang khas dengan sifat jago dan budaya militer. Sekalipun hanya berlangsung selama lima tahun dan terlihat telah banyak diteliti, Perang Jawa tetap menyimpan aspek-aspek tersembunyi yang menunggu untuk dikuak dari berbagai sisi.

Baca juga artikel terkait PERANG JAWA atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi