Menuju konten utama
Mozaik

Melacak Tradisi Ketergantungan Rakyat Nusantara kepada Padi

Selain menyokong makmurnya feodalisme selama masa Hindu-Buddha, ketergantungan pada padi juga didorong oleh dogma religi dari generasi ke generasi.

Melacak Tradisi Ketergantungan Rakyat Nusantara kepada Padi
Header Mozaik Padi di Nusantara. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Padi sejak lama telah populer di Nusantara, terutama di Pulau Jawa. Tanaman bernama ilmiah Oryza sativa ini diduga masuk ke daerah Asia Tenggara Daratan bersamaan dengan kedatangan orang-orang Austronesia sekitar 3500 SM.

Menurut Laurent Sagart dkk. dalam "A northern Chinese origin of Austronesian agriculture: new evidence on traditional Formosan cereals" (2018), kebudayaan padi yang sampai ke Nusantara berkaitan erat dengan ras padi Oryza sativa japonica.

Jenis padi ini kemungkinan besar didomestikasi pertama kali di tepian Sungai Yangtze pada 6000 SM. Bersamaan dengan migrasi masyarakat pendukung pertanian padi japonica, mereka mulai masuk ke Taiwan pada abad ke-4 SM.

Baru kemudian masyarakat penutur bahasa Austronesia yang berasal dari Taiwan mulai menyebarkan beras japonica ke wilayah Asia Tenggara Daratan, bersama dengan beberapa bentuk tradisi neolitik mereka.

Satu di antara banyak bentuk tradisi neolitik Austronesia yang erat hubungannya dengan kultivasi padi adalah tembikar. Kasus yang bisa dibilang cukup representatif dari hubungan determinisme antara padi dengan kebudayaan materi orang Austronesia bisa dijumpai pada kasus Situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat.

Sebagaimana dikutip dari Nani Somba dkk. dalam "Bukti Awal Persebaran Kebudayaan Austronesia di Sese, Sulawesi Barat: Tinjauan berdasarkan Data Arkeologi" (2023), berdasarkan periodisasinya Situs Minanga Sipakko merupakan situs dengan bukti kultivasi padi dari 3500 SM, artinya menjadi salah satu yang paling tua di Asia Tenggara.

Bersamaan dengan keterangan itu, temuan tembikar di sana juga menggunakan bahan gabah sebagai temper tembikar.

Dari gejala-gejala itu, bisa diambil suatu pemahaman bahwa sejak awal perkembangan pertanian padi di Nusantara, masyarakat Nusantara telah memanfaatkan padi bukan hanya untuk pangan tapi juga aspek kehidupan lainnya.

Kedatangan kebudayaan anak benua India nyatanya makin melambungkan padi ke cakupan pengaruh kebudayaan yang lebih luas lagi. Tidak begitu lama dari berdirinya imperium-imperium Hindu-Buddha, padi segera mendorong pembangunan proyek-proyek besar.

Edhie Wurjantoro dalam "Catatan tentang Data-data Pertanian di dalam Prasasti" (1977) mengatakan bahwa satu dari banyak proyek pertama itu adalah pembangunan saluran air Gomati oleh Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara.

Menurut keterangan Prasasti Tugu (diperkirakan berasal dari abad ke-5 M) yang ditemukan di Jakarta Utara, saluran Gomati yang dibangun Purnawarman membentang kurang lebih 12 km dengan lama pengerjaan selama 21 hari.

Komentar Wurjantoro akan uraian prasasti itu kurang lebih sebagai berikut:

"Begitu juga tujuan pembuatan saluran tadi, bukanlah suatu pekerjaan iseng saja, tapi ditujukan untuk keperluan umum. Selanjutnya penemuan yang berupa alat-alat pertanian yang dibuat dari batu dan logam, di daerah-daerah yang diduga menjadi wilayah kekuasaan kerajaan (Taruma), lebih memungkinkan kita untuk menduga bahwa usaha penggalian saluran oleh Purnawarman, ada hubungannya dengan pertanian."

Kendati gejala kemunculan tani padi via sawah sudah samar-samar terlihat pada masa Tarumanagara, namun secara pasti peristilahan sawah baru muncul pada masa yang lebih kemudian.

Prasasti berbahasa Jawa Kuno tertua yang menyebut soal sawah muncul dalam Prasasti Kamalagi (743 S/821 M). Sedangkan penyebutan tani padi gogo—padi yang ditanam di lahan huma yang kering—yang diduga ada sebelum tani sawah, justru baru muncul di Prasasti Watukura I (824 S/902 M).

Keduanya mengikat padi ke dalam ikatan yang sama dengan kebijakan politik, yaitu sima atau kebijakan tanah bebas pungutan pajak. Maka itu, pada akhirnya keberadaan padi konsekuen dengan wewenang raja sebagai puncak hierarki feodal.

Rupanya hal ini sejalan pula dengan rancangan birokrasi masa Jawa Kuno. Padi dianggap amat penting, sehingga pejabat yang mengurusi padi luar biasa kompleks.

Dalam disertasi Taqyuddin berjudul Rekonstruksi Lanskap Arkeologi Pertanian Masa Jawa Kuno (Abad VIII-XI M) (2017), disebutkan bahwa pejabat-pejabat itu di antaranya ada yang bertugas untuk mengatur lumbung padi, mengatur air sawah, mengatur panen, termasuk para pemungut pajak padi yang dipanen.

Kompleksitas penanaman padi yang melibatkan raja mengantarkan Jawa menjadi produsen beras yang tersohor. Seperti disebut oleh W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2018), orang Tionghoa tahu betul bagaimana orang Jawa mengatur sedemikian rupa hingga padi menjadi tulang punggung ekonominya.

Kronik Sejarah Dinasti Song (960-1279 M), misalnya, menyinggung soal betapa idealnya Tanah Jawa yang datar, sehingga pas untuk bercocok tanam.

Walaupun menurut penulis kronik tersebut orang Jawa tidak mengolah gandum, padi yang ditanam dapat menutupi keuntungan ekonomi pangan orang Jawa dengan sepersepuluh keuntungan produksi per tahunnya langsung masuk ke kantong raja.

Dengan demikian tepatlah apa yang diklaim oleh Raja Sanjaya dalam Prasasti Canggal (654 S/732 M), bahwa Yawadwipa "kaya akan padi".

Di luar bagaimana padi dapat menyokong makmurnya feodalisme di Nusantara selama masa Hindu-Buddha (utamanya di Pulau Jawa), ketergantungan pada tanaman serealia ini juga didorong dari dogma religi terhadap padi dari generasi ke generasi.

Padi sejak lama dianggap sebagai tanaman yang sakral, karena kebermanfaatan dan produktivitasnya sebagai sumber pangan. Hal ini misalnya pernah dibahas oleh Roy E. Jordan dalam "Tara and Nyai Lara Kidul Images of the Divine Feminine in Java" (1997), yang menyebut bahwa masyarakat Jawa telah lama sekali mengultuskan padi.

Ia menyebut orang Jawa secara turun-temurun mengonstruksi padi sebagai atribut yang tidak terlepaskan dari dewi-dewi kesuburan.

Infografik Mozaik Padi di Nusantara

Infografik Mozaik Padi di Nusantara. tirto.id/Parkodi

Para dewi yang dilekatkan dengan padi mungkin sekali telah ada sejak masa prasejarah, sampai datangnya agama Hindu dan Buddha padi kemudian diasosiasikan dengan Tāra, Dewi Śri, dan Durga. Dewi-dewi padi ini di zaman Islam kemudian dikonstruksi lagi menjadi makhluk gaib seperti Nyai Lara Kidul dan Sang Hyang Pramoni.

Dalam kebudayaan Jawa Surakarta, kedua entitas itu lebur dalam konsep mikrokosmos, Nyai Lara Kidul dianggap berkedudukan di Samudra Hindia di selatan dan Sang Hyang Pramoni di Hutan Krendawahana di utara.

Di kalangan etnis Sunda, keberadaan padi berhubungan dengan Dewi Sri Pohaci/ Pwahaci. Sosok ini demikian penting sehingga lebur dalam folklor tradisional mereka dan masih bisa dijumpai pada masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Banten.

Menurut kepercayaan Sunda Kuno, Dewi Pwahaci turun ke bumi dalam wujud padi. Keberadaannya di bumi selalu diganggu oleh sosok antagonis yakni Budug Basu, yang senantiasa mewujud menjadi hama.

Berdasarkan tulisan M. Alnoza dalam "Prasasti-Prasasti Kerajaan Sunda di Wilayah Pinggiran: Tinjauan Teori Panopticon" (2022), sisi antagonisme Budug Basu bahkan dijadikan simbol politik-magis Raja Sri Baduga Maharaja dari Kerajaan Sunda yang dalam Prasasti Huludayeuh mengklaim mampu menghancurkan sang hama.

Dengan demikian, tentu begitu pentingnya padi bagi masyarakat Sunda Kuno karena untuk mengusir hamanya saja harus seorang raja yang turun.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi