Menuju konten utama

Asal-usul Beras dan Perubahan Iklim yang Kian Mendesak

Usaha para ilmuwan memastikan titik geografis asal-usul beras penting dilakukan karena perubahan iklim dan bahan pangan ini dikonsumsi 4,6 miliar jiwa.

Asal-usul Beras dan Perubahan Iklim yang Kian Mendesak
Header Mozaik Beras. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Beras merupakan inti kehidupan," tutur Peter A. Coclanis dalam "Distant Thunder: The Creation of a World Market in Rice and the Transformations It Wrought" (The American Historical Review, 1993).

Meskipun kurang dikenal masyarakat Barat yang memilih hidup dengan mengandalkan gandum, beras adalah segalanya bagi masyarakat Asia yang menyumbang 60 persen total populasi dunia.

Karena menjadi inti kehidupan, India, misalnya, menamai beras sebagai "dhanya" atau "pemelihara umat manusia". Nama kecil Suddhodana, ayahnya Siddhartha Gautama, mengandung makna "dia yang menanam padi murni".

Dan karena meyakini beras adalah segalanya, orang-orang China memopulerkan ekspresi "sihk jo faahn meih a?" yang berarti "sudahkah kamu makan nasi hari ini?" saat menyapa seseorang sebagai padanan "halo" atau "apa kabar?"

Di Indonesia, seturut keyakinan masyarakat China dan India, beras dikaitkan dengan Dewi Sri (Shri Devi), sang dewi kesuburan. Dewi yang menuntun penguasa Kerajaan Mataram Hindu, Dyah Tulodhong, misalnya, menetapkan area Bhagawanta Bari di Culangi sebagai "Sima" atau "bebas pajak" karena wilayah tersebut merupakan sentra pertanian padi.

Sementara pada era pemerintahan Adipati Mangkunegara VII, beras dilarang dijual ke luar daerah karena pentingnya bahan pangan ini bagi kehidupan.

Dalam "Pathways to Asian Civilizations: Tracing the Origins and Spread of Rice and Cultures" (The Rice Journal, 2011), Dorian Q. Fuller, arkeolog asal University College London, menyebut bahwa terpatrinya beras sebagai pusat kebudayaan Asia karena bahan pangan ini telah menjadi bagian terbesar dari produksi pertanian, dari Gangga ke Mekong ke dataran China ke Jepang dan Korea serta ke seluruh pelosok Asia Tenggara.

Hingga akhirnya menjelma sebagai "ide budaya bersama regional Asia yang sangat besar [...] Motor pertumbuhan demografis, perluasan populasi, asal usul kehidupan desa, dan komponen kunci dalam hipotesis penyebaran pertanian/bahasa di seluruh Asia," tulis Fuller.

Merujuk paparan Briana L. Gross dalam "Archaeological and Genetic Insights into the Origins of Domesticated Rice" (Proceedings of the National Academy of Science, 2014), bahan pangan utama masyarakat Asia ini diyakini pertama kali ditanam sekitar 10.000 tahun yang lalu di China.

Hal ini dengan ditemukannya remah-remah beras (atau padi) di tiga situs arkeologi, yakni Xianrendong dan Diaotonghuan di Provinsi Jiangxi serta Shangshan di Provinsi Zhejiang.

Lewat bukti-bukti itu, para ilmuwan menyimpulkan bahwa padi yang dibudidayakan orang-orang yang berasal dari tiga tempat tersebut berada dalam tahap awal domestikasi, berdasarkan ukuran butir dan karakteristik morfologi (misalnya, rasio panjang dan lebar).

Meskipun temuan arkeologis menunjukkan titik geografis awal mula kemunculan beras, bukti sejarah lain muncul ihwal daerah-daerah tersebut yang mengalami perubahan iklim.

Selama paruh pertama zaman Holosen (sekitar 7000 tahun Sebelum Masehi), curah hujan muson jauh lebih tinggi menerjang tempat kelahiran beras, yang jelas tak cocok dijadikan tempat pembudidayaan padi. Kenyataan yang juga menerjang India, Himalaya, dan lembah-lembah di sepanjang Asia Tenggara sebagai tempat lain dalam hipotesis tanah air bagi beras.

Berstatus sebagai "autogami", padi memang dapat tumbuh di lingkungan beragam, namun padi lebih cocok tumbuh di daerah tropis. Jika ditanam di daerah non-tropis, maka perlu usaha-usaha manipulasi persawahan, misalnya tentang pembentukan sistem irigasi. Suatu manipulasi yang nampaknya sukar dilakukan masyarakat zaman kelahiran beras.

Terlebih, kembali merujuk penuturan Briana L. Gross, pada 10.000 SM, beras masih sebatas pelengkap dalam masyarakat yang masih mengutamakan praktik berburu dan meramu untuk menopang kehidupan.

Infografik Mozaik Beras

Infografik Mozaik Beras. tirto.id/Ecun

Tanda tanya lain adalah soal nenek moyang beras yang kita makan hari ini, indica dan japonica. Sampai hari ini, para ilmuwan masih meyakini bahwa indica dan japonica merupakan sub-spesies yang lahir dari rahim Oryza sativa.

Namun, di balik keyakinan ini, penelitian genetik beras yang dilakukan R. Ishikawa dalam "Allelic Interaction at Seed-shattering Loci in the Genetic Backgrounds of Wild and Cultivated Rice Species" (Gene Genet Syst, 2010), menemukan bahwa japonica menjadi donor bagi banyak gen indica. Dan dari homozigot (alel identik atau alternatif dari gen) japonica dan indica ditemukan "tipe liar" dalam diri indica yang belum berhasil diidentifikasi.

Artinya, ada kompatibilitas yang tidak lengkap antara japonica dan indica yang mengindikasikan pemisahan asal usul sub-spesies indica dan japonica wajib dilakukan.

Terlebih jika dilihat bagaimana japonica dan indica berkembang.

Japonica adalah beras irigasi dari zona beriklim sedang dengan bulir sedang atau pendek, disebut juga bulir bulat, dan merupakan beras dataran rendah tadah hujan di zona tropis hangat.

Sedangkan indica adalah beras irigasi dari zona tropis hangat dengan bulir panjang, tipis, dan pipih. Keyakinan bahwa japonica dan indica berasal dari satu induk memang terasa aneh.

Usaha para ilmuwan memastikan titik geografis asal-usul beras dan nenek moyang spesies beras kiranya penting dilakukan.

Pasalnya, diprediksi menjadi makanan pokok bagi 4,6 miliar jiwa manusia per 2025 dan perubahan iklim yang kian terasa, memahami beras secara keseluruhan wajib dilakukan demi menjaga tanaman ini eksis agar tetap bisa dikonsumsi manusia.

Baca juga artikel terkait PERUBAHAN IKLIM atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi