tirto.id - Pepatah bijak mengatakan, “Makin sering hujan, makin banyak berkah yang datang, sebab hujan adalah rahmat.” Karenanya, banyak orang mengelu-elukan kedatangannya, terutama di perdesaan yang mengandalkan sektor pertanian.
Sebagai sumber kehidupan, hujan berperan penting dalam menyeimbangkan ekosistem bumi. Airnya yang mengucur deras dari awan dapat mengaliri danau dan sungai yang kering, mengisi ceruk sumur air minum, serta memenuhi kebutuhan irigasi.
Namun, benarkah bahwa intensitas hujan yang kian meninggi akan menguntungkan atau justru cenderung lebih banyak mendatangkan mala? Nyatanya, ketika hujan turun berlebih—terutama dengan kecepatan tinggi—lebih banyak kerugian yang timbul daripada manfaat.
Presipitasi hujan yang terlalu cepat tidak memungkinkan bagi tanah untuk menyerap semuanya. Sebaliknya, limpasan dan genangan air hujan yang tak dapat dibendung akan membanjiri jalan raya, halaman, dan pekarangan, serta meningkatkan risiko erosi tanah.
Di kota-kota dengan infrastruktur kompleks, banjir dapat mengganggu laju transportasi, dan menyebabkan korsleting listrik. Hal itu kemudian memunculkan solusi pemadaman sebagai upaya antisipasi yang sebenarnya lebih buruk. Belum juga ketika hujan disertai angin ribut, yang juga dapat membuat berbatang-batang pohon besar tumbang.
Apa yang Membuat Intensitas Hujan Meninggi?
Ilmuwan percaya, pemanasan global yang disebabkan manusia adalah aktor utamanya. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim ekstrem yang bergeser drastis.
Sixth Assessment Report (AR6) yang dipublikasikan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2022 membuktikan, fenomena perubahan iklim dapat mempercepat proses penguapan siklus air dan mengacaukan pola hujan. Ketika suhu menghangat, udara dapat “menampung” lebih banyak uap air dibandingkan saat suhu lebih dingin, sehingga curah hujan dan frekuensinya pun makin tinggi
Rerata suhu global tercatat mengalami kenaikan sebesar 1,1 derajat celsius (1,98 derajat Fahrenheit) dari tahun 1900-2020. Angka itu menunjukkan bahwa pemanasan global yang terjadi sekarang sudah berada di titik serius dan rentan. Risikonya cukup tinggi sebab suhu yang meningkat ini cenderung bersifat permanen dalam waktu lama.
Fenomena tersebut merupakan akibat dari pelepasan gas rumah kaca yang terlalu banyak memerangkap panas di dalam atmosfer.
Ketika suhu udara naik, air yang tersimpan dalam tanah, laut, tanaman, dan gorong-gorong kota, akan lebih cepat menguap dan menggumpal menjadi awan gemawan. Keadaan ini berpotensi meningkatkan intensitas hujan dan salju yang makin deras dan lebat.
Bukti bahwa keadaan suhu dapat memengaruhi molekul air dapat dihitung lewat persamaan Clausius-Clapeyron. Setiap 1 derajat celsius dari suhu hujan yang mengalami presipitasi dapat meningkat sebanyak 7 persen dalam skala global. Namun, angka tersebut tidaklah paten. Relativitas kelembapan di setiap regional tertentu memengaruhi variabel intensitas presipitasi.
Lewat proyeksi IPCC, setidaknya hingga 2020, tingkat presipitasi yang cukup tinggi terdapat di belahan bumi dengan garis lintang yang cukup tinggi, misalnya Pasifik Khatulistiwa dan berbagai wilayah monsun (yang beriklim muson) seperti Afrika Barat dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia di dalamnya.
Hasil perhitungan yang dilakukan Elisa Ragno dan koleganya, dipublikasikan di Water Resource Research (Vol. 54, Issue 3), menunjukkan angka yang lebih akurat.
Kurva Intensity-Duration-Frequency (IDF) yang diperoleh menggunakan model nonstasioner inferensi Bayesian menunjukkan, daerah berpenduduk padat di AS dapat mengalami curah hujan ekstrem 20 persen lebih intens dan dua kali lebih sering, melebihi catatan historis sepanjang hampir seabad lamanya.
Kota-kota di AS seperti Salt Lake City, Utah, Nashville, Tennessee, dan New York, harus bersiap mengalami bencana banjir dengan intensitas lebih tinggi pada tahun-tahun mendatang. Ilmuwan sepakat bahwa di masa mendatang, banjir dapat menjadi salah satu bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah.
Malabencana Banjir, Mimpi Buruk Masa Depan Dunia
Pada Oktober 2015, hujan setinggi 15—20 inci turun di kota pelabuhan Charleston, South Carolina selama lima hari berturut-turut. Akibatnya, 400 jalan ditutup, 100 jembatan diblokade, sementara kota mengalami kerugian sebesar 2,3 miliar dolar AS. Sedikitnya, 16 korban jiwa tercatat, jumlah paling mengkhawatirkan selama dekade terakhir.
Tidak hanya di AS, bencana banjir juga menjadi momok menakutkan sepanjang sejarah bencana kemanusiaan di berbagai wilayah lain.
Di wilayah monsun, hujan yang mendatangkan banjir bandang menyapu Pakistan pada musim panas 2010, menyebabkan lebih dari 1.000 korban jiwa, dengan sekitar 14 juta penduduk kehilangan tempat tinggalnya. Malabencana ini juga menimbulkan wabah penyakit menular yang menginfeksi melalui air, menyebabkan jutaan lebih manusia mengalami kerentanan gizi dan kurang pangan.
Pernyataan soal "lebih sering hujan berarti lebih banyak berkah” makin terbantahkan. Bahkan dari sisi pasokan air, hujan yang semestinya membawa anugerah justru mengancam sumber air.
Berbagai sumur air bersih dapat terancam lantaran hujan membawa berbagai larutan kimia berbahaya. Sumur-sumur penduduk berisiko terkontaminasi batuan sedimen, bahan kimia berbahaya, logam berat, sampah, dan puing-puing yang hanyut di sepanjang jalan.
Tidak menutup kemungkinan, air hujan yang terkontaminasi serta mengalir melalui selokan dan gorong-gorong turut mengisi saluran air bersih. Hal ini dapat mengakibatkan turunnya kualitas air bagi manusia dan alam.
Bahkan, dalam kondisi yang lebih buruk di masa depan (secara tidak langsung), air yang terkontaminasi mengakibatkan tekanan abnormal pada infrastruktur yang dibangun di atas air. Tanggul, bendungan, dan saluran pembuangan, menjadi rapuh. Dalam beberapa kasus, banjir bandang yang disebabkan presipitasi hujan deras dapat mengakibatkan infrastruktur buatan jebol.
Dampak malabencana banjir sungguh lebih dahsyat dari yang kita bayangkan. Musibah ini juga menjadi salah satu faktor yang membawa dampak mengenaskan di sepanjang pantai.
Dari catatan Climate Change: Global Sea Level, permukaan rata-rata air laut naik setinggi 8-9 inci secara global, akibat dari curah hujan deras, terhitung sejak 1880. Keadaan ini belum termasuk dampak yang ditimbulkan mencairnya gletser di Kutub.
Dataran rendah di sepanjang pantai biasanya berada dekat atau sejajar dengan permukaan laut. Karenanya, permukaan air di wilayah ini sudah tinggi sejak awal. Akibatnya, ketika hujan turun, air hujan sulit mengalir atau meresap karena tanahnya sudah jenuh atau terlalu dekat dengan permukaan laut. Dengan kata lain, hanya dibutuhkan sedikit curah hujan untuk memicu banjir di sepanjang pantai.
Bisakah Banjir Ditekan?
Curah hujan global rata-rata telah meningkat mulai medio abad ke-20, dengan kecepatan ekstrem sejak 1980-an. Seturut laporan penelitian Nature Human Behaviour (2022), perilaku manusia menjadi faktor pendorong utama terjadinya perubahan iklim dan cuaca dan itu telah terbukti secara ilmiah.
Di sisi lain, perubahan salinitas (tingkat kandungan garam) laut di dekat pantai menjadi pertanda bahwa air hujan telah menyatu dengan air laut. Ketika banjir melanda, air ini berubah menjadi bencana rob yang kerap menghempas daerah dengan permukaan rendah.
Di Indonesia, banjir rob adalah salah satu fenomena yang acap kali dijumpai di Semarang. Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu Teknologi Kebumian ITB, Heri Andreas menyebut, banjir rob disebabkan oleh eksploitasi air tanah berlebihan, dampak nyata dari kerusakan lingkungan.
Dengan intensitas hujan yang terus meningkat, emisi gas rumah kaca yang kian memanas, serta kenaikan suhu global, bisa dibilang, menghentikan banjir merupakan perkara mustahil.
Faktanya, upaya menghentikan banjir sudah tidak bisa menjadi solusi konkret yang dilakukan dalam waktu dekat. Namun bukan berarti malabencana ini tidak dapat dicegah. Satu-satunya cara paling efektif dan ampuh mengatasi banjir adalah dengan menekan risiko dan angka presipitasi curah hujan.
Mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan suhu global adalah cara terbaik untuk kita menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim. Kendati kita tidak dapat menghentikan presipitasi hujan deras akibat pemanasan global.
Hampir 1,5 miliar penduduk atau 20 persen dari populasi dunia berpotensi terdampak banjir. World Meteorological Organization menyatakan, setelah bencana El Nino, badai siklon dan banjir menjadi dua bencana yang paling banyak merenggut nyawa manusia.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh untuk mengurangi risiko banjir. Salah satunya menyiapkan upaya mitigasi atau pencegahan sebagai bagian dari rencana evakuasi. Misalnya, menyediakan perlengkapan tanggap darurat di rumah serta menanami pekarangan rumah dengan pepohonan dan tanaman hujan untuk menyaring limpasan air hujan. Hal ini dapat memberikan wadah alami untuk genangan sumur resapan air.
Selain itu, desain hunian dapat dikonstruksi sebagai wadah lahan basah air hujan dengan membangun “infrastruktur hijau”. Salah satunya dengan memulihkan daerah yang sering dilanda banjir dan menangkal pembangunan lahan di daerah yang berbatasan dengan anak sungai.
Laporan yang dibukukan NOAA’s National Centers for Environmental Information menyatakan, hanya dibutuhkan enam inci air mengalir untuk “menjatuhkan” seseorang. Bayangkan, kurang dari panjang telapak tangan! Selain itu, cukup dengan 12 hingga 18 inci air untuk membuat sebuah kendaraan mengapung.
Ingat, bahaya tersengat korsleting listrik yang dikonduksi dari genangan air sering kali jadi musibah yang tidak terduga. Maka itu, pastikan pula generator listrik terletak di area yang tidak berventilasi. Jika tidak, cedera serius kemungkinan besar akan terjadi.
Tindakan kecil seperti upaya mitigasi di atas dapat membantu menekan bahaya banjir akibat hujan lebat. Kendati curah hujan dan presipitasi yang kian meninggi sulit diantisipasi secara global, melakukan penanganan pribadi dapat mengurangi setidaknya risiko bencana di lingkungan sekitar.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin