tirto.id - Hujan deras mendera Ciputat Timur dan sekitarnya sejak pukul 16.00 pada Kamis, 26 Maret 2009. Debit air di Situ Gintung meninggi. Karenanya, Herman Purbansah, Ketua RW 08 Kelurahan Cirendeu, mengumumkan kepada warganya untuk waspada.
Kanit Reskrim Polsek Ciputat Iptu. Prajitno mengumumkan peringatan yang sama usai mendapati adanya luberan air di salah satu bagian tanggul Situ Gintung. Tetapi, tak terjadi apa-apa sampai hujan reda pada Jumat dini hari.
Rosliana dan Baron Al Rasyid, warga RW 08, tak bisa tidur nyenyak malam itu. Beberapa pepohonan di sekitar tanggul yang roboh akibat hujan deras membuat mereka was-was. Apa yang mereka khawatirkan baru terjadi sembilan jam kemudian, ketika tanggul di hilir Situ Gintung yang menghadap Kampung Poncol, Kelurahan Cirendeu jebol. Bencana itu terjadi pada 27 Maret 2009, tepat hari ini 9 tahun lalu.
Seperti dilaporkan Media Indonesia (28/3/2009), subuh hari pukul 04.30 sekitar sejuta kubik air Situ Gintung menerjang permukiman warga. Air bah memorak-porandakan Perumahan Cirendeu Permai, menyapu sebagian Kampung Poncol, serta merusak Fakultas Kesehatan dan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.
“Tsunami kecil” itu terjadi begitu cepat dan tak memberi warga sekitar situ kesempatan bersiap.
“Pukul 04.30, air datang bergemuruh. Waktu itu saya mau salat subuh. Kami sekeluarga segera naik ke lantai dua. Enggak sampai 5 menit, ketinggian air yang disertai lumpur sudah melebihi pintu rumah,” tutur Suherman, warga Cirendeu, sebagaimana dikutip Media Indonesia.
Begitu pula yang dialami Sri Mulyani. Tiba-tiba saja air bah menjebol tembok rumahnya. Dalam keadaan panik, ia hanya terpikir menyelamatkan bayinya yang masih berumur 19 bulan.
“Listrik sudah padam ketika itu. Semua peristiwa itu berlangsung dalam gelap. Tidak kuat menahan derasnya air, saya bersama anak saya, Syela, langsung hanyut. Saya sempat timbul tenggelam. Saat saya ingin mengambil napas, anak saya malah terlepas dari dekapan.”
Suasana horor antara hidup dan mati juga terlukis dari pengakuan Hadi kepada Media Indonesia. Ketika luapan air dan lumpur menerjang rumahnya pagi itu, ia sadar sudah tak akan sempat menyelamatkan diri.
“Saya hanya berpegangan ke kusen rumah saya, sambil terus memeluk anak dan istri saya. Mereka berpegangan di kaki saya. Lalu kami terbawa arus. Kami baru mendapat pertolongan setelah matahari terbit. Syukur, keluarga saya selamat semuanya,” tutur Hadi.
Bencana air bah di pagi buta itu akhirnya merusak ratusan rumah warga di Kampung Poncol dan Kampung Gintung. Sementara beberapa gedung di kompleks Universitas Muhammadiyah Jakarta dan TK Muhammadiyah juga turut rusak. Hingga 1 April 2009, korban tewas mencapai 100 jiwa.
Bukan Karena Cuaca Ekstrim
Kepada media, Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Djoko Kirmanto, menjelaskan penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung adalah cuaca ekstrim. Hujan lebat di luar kebiasaan yang terjadi selama Kamis siang hingga malam menjadi pemicunya. Pada Kamis, curah hujan di wilayah Ciputat Timur memang cukup tinggi, mencapai 113,22 mm per hari.
“Tanggul itu memang terbuat dari tanah, tidak ada pengerasan batu. Lama-lama, tanggul itu erosi, sehingga ketika hujan bertambah deras, tanggul jebol,” ungkapnya sebagaimana dikutip Republika (31/3/2009).
Djoko juga menambahkan bahwa Departemen Pekerjaan Umum (PU) telah mengecek ulang kondisi Situ Gintung pada 2008. “Hasilnya, tak ditemukan adanya kelainan fisik.” Jadi, secara resmi pemerintah menganggap bahwa penyebab utama jebolnya tanggul Situ Gintung adalah faktor alam.
Keterangan pemerintah itu lalu mendapat bantahan Sutopo Purwo Nugroho dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Menurut Sutopo, pada 5 Desember 2008 sejumlah peneliti BPPT mendapati keganjilan di Situ Gintung. Saat mengadakan pengamatan visual di sana, mereka mendapati retakan dan rembesan di dinding tanggul.
“Ketika itu ada warga yang mengeluh dan meminta dilakukan perbaikan dan penguatan tanggul,” ungkap Direktur Bidang Sumber Daya Lahan Kawasan dan Mitigasi Bencana BPPT itu, sebagaimana Republika.
BPPT lantas menyampaikan kondisi itu kepada Departemen PU. Tapi, Departemen PU menyatakan tanggul masih layak karena kondisi bagian hilir—tempat yang jebol—masih bagus. Revitalisasi situ pun kemudian diarahkan ke bagian hulu.
Temuan BPPT itu masuk akal mengingat konstruksi tanggul Situ Gintung sudah tua usianya. Seturut sejarah, Situ Gintung dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1932 dan selesai pengerjaannya setahun kemudian. Berbeda dengan fungsinya sekarang sebagai daerah konservasi dan wisata, awalnya Situ Gintung difungsikan sebagai waduk irigasi.
Karena itulah Budi Harsoyo, dalam “Jebolnya Tanggul Situ Gintung (27 Maret 2009) Bukan Karena Faktor Curah Hujan Ekstrim” yang terbit di Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca (Vol. 11, no. 1, 2010), menengarai pemerintah kolonial dahulu tidak mendesainnya untuk dipakai selama ratusan tahun.
Kondisi mutakhir Situ Gintung sebelum jebol telah banyak berubah. Budi mencatat, saat pertama kali dibangun Situ Gintung memiliki luas sekitar 31 ha dengan kedalaman sekitar 10 meter. Kini luasnya hanya tersisa 21,4 ha dengan kedalaman diperkirakan tinggal 4 meter (hlm. 11).
Di bagian hilir situ, hanya ada satu saluran pembuangan, yaitu di titik jebolnya tanggul tersebut. Saluran pembuangan itu awalnya selebar 5-7 meter, tetapi saat bencana terjadi saluran tersebut hanya tinggal selebar satu meter (hlm. 15). Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio, sebagaimana dikutip kompas.com (28/3/2009), menjelaskan bahwa tanggul Situ Gintung adalah tanggul tanah. Tak pernah ada usaha penurapan sejak awal dibangun hingga sesaat sebelum jebol.
Kondisi-kondisi itulah yang menjadi musabab utama jebolnya tanggul Situ Gintung. Daya dukung Situ Gintung sesaat sebelum jebol sudah tidak memadai lagi. Dan itu luput dari pantauan Departemen PU.
“Jadi, karena umur tanggul yang sudah dalam ‘kondisi lelah’ inilah yang menyebabkan tanggul tersebut jebol dengan adanya tambahan curah hujan sebesar 113,2 mm/hari,” tulis Budi menyimpulkan.
Curah hujan yang mencapai 113,22 mm per hari sebelum tanggul jebol, menurut Sutopo, memang besar, tapi bukan curah hujan tertinggi di wilayah tersebut. Dalam catatan Sutopo, Ciputat Timur bahkan pernah dua kali diguyur hujan yang lebih deras pada Februari 1996 (180 mm/hari) dan Februari 2007 (275 mm/hari). Tetapi, Situ Gintung tetap aman kala itu. Artinya, faktor cuaca memang bukan penyebab tunggal, apalagi utama, jebolnya tanggul Situ Gintung.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan