tirto.id - Gunung Sinabung meletus pada 2013 silam. Masyarakat yang rumahnya masuk daerah rawan bencana pun harus mengungsi. Hewan ternak dan peliharaan lantas ditinggalkan. Selama erupsi, binatang-binatang tersebut otomatis harus bertahan hidup sendiri.
Ditulis Mongabay, seekor anjing harus menggigiti kaki anjing lain demi mengisi perut. Ada pula ayam-ayam yang mati lantaran kehabisan makanan atau disantap anjing serta kucing. Kucing juga tidak lolos dari incaran anjing yang kelaparan. Pemandangan tersebut langsung berubah tatkala grup penyayang binatang datang membawakan berbagai jenis makanan. Mereka langsung melahap pemberian para relawan itu.
Hal serupa juga terjadi pada Gunung Agung yang terakhir meletus bulan Januari lalu. Dilaporkan BBC, ratusan hewan mulai dari burung kecil, ayam, anjing, sampai hewan ternak sapi dan babi ditinggal pemiliknya tanpa makanan dan air.
Lembaga peduli binatang pun turun tangan memberi makan serta minum juga mengevakuasi para hewan. Bali Animal Welfare Association (BAWA) keluar-masuk desa di sekitar Gunung Agung untuk memberi makan dan minum sekitar 500 ekor anjing. Garda Satwa Indonesia, organisasi penyelamat satwa domestifikasi atau peliharaan rumah, juga mencoba menggalang bantuan untuk disalurkan ke Bali Rumah Singgah Satwa (Bali Russ).
Selain itu, Jakarta Animal Aid Network urun bantuan di bawah Unit Respon Darurat Hewan bersama Centre for Orang Utan (COP), Bali Dog Adoption Rehabilitation Centre (BARC), dan Animals Indonesia.
Bencana dan Hak Satwa
Ketut Pageh membawa dua ekor ayam jagonya yang berhasil ia selamatkan sebelum meninggalkan rumah saat mengungsi. “Saya kasihan pada mereka. Saya bawa mereka supaya tidak kelaparan karena tidak ada yang memberi makan,” kata laki-laki berusia 42 tahun itu kepada The Guardian. Meski begitu, akhirnya ia harus rela menjual babi-babi miliknya.
Dalam laporan The Guardian tersebut, ada pula cerita dari Natakusuma, seorang koordinator tim penyelamatan hewan ternak pemerintah. Ia mengatakan petani yang mengungsi akibat erupsi Gunung Agung kerap mendatangi sapinya di tenda pada siang hari, meski malamnya tidur di pusat evakuasi. “Secara emosional, berat bagi mereka untuk meninggalkan sapinya, bukan hanya alasan ekonomi tapi karena mereka peduli,” kata Natakusuma.
Ketergantungan antara manusia-binatang dan relasinya dengan bencana juga disampaikan oleh Robert J. Tashijan dan James M. Burke. Dalam buku Ciottone’s Disaster Medicine (2016), mereka mengatakan bahwa manusia masih menjadi fokus utama penyelamatan saat bencana terjadi. Hewan dianggap sebagai property alias barang. Padahal, bagi pemilik binatang peliharaan, hewan milik mereka dianggap seperti anggota keluarga.
Sementara itu, peternak menjadikan hewan ternaknya sebagai sumber pendapatan kehidupan sehari-hari. Potensi kerugian ekonomi dalam konteks Gunung Agung dipaparkan oleh Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB).
Ia mengatakan kerugian ekonomi akibat status “awas” Gunung Agung diperkirakan sekitar Rp 1,5 sampai Rp 2 triliun. “Ada pula kerugian yang disebabkan terabaikan lahan pertanian, peternakan, dan kerajinan diperkirakan Rp 100 miliar,” katanya, seperti dikutip Kompas.com.
Di sisi lain, Richard Ryder, lewat bukunya Painism: A Modern Morality (2001), menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang berakal bertanggung jawab membela hak-hak dasar hewan sebagai makhluk hidup. Hewan dan manusia sebenarnya saling membutuhkan dalam menjaga keseimbangan alam. Ia pun mengatakan bahwa binatang enggan merasa sakit seperti halnya manusia, sebab keduanya adalah makhluk hidup yang bisa merasakan kesakitan.
Satwa Harus Diselamatkan
Di Indonesia, peraturan soal hak asasi binatang diatur dalam Pasal 302 KUHP, UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, dan beberapa beleid lainnya. Meski begitu, sistem penyelamatan satwa di daerah bencana di Indonesia belum menjadi perhatian.
Femke Den Haas, pendiri dan koordinator lapangan serta program satwa liar JAAN, mengatakan penyelamatan satwa saat bencana masih kurang terorganisir. “Bagaimana mau mengurusi satwa, dengan manusia saja masih bingung,” keluhnya.
Ia pun menjelaskan permasalahan yang dialami saat melakukan penyelamatan satwa di Gunung Agung.
“Di Bali, lebih birokratis sehingga tindak lanjut susah, tidak ada posko, dan orang yang diperlukan untuk koordinasi justru tidak ada di tempat,” jelas Femke.
Ia lalu menyarankan adanya protokol nasional agar koordinasi antara pemerintah dan pihak profesional, termasuk grup penyayang binatang bisa tercipta. Dengan ada protokol tersebut, grup-grup tersebut menjadi mitra resmi yang diakui pemerintah sehingga ada standar ketika melakukan penyelamatan.
Poin-poin seperti evakuasi untuk hewan ternak, wewenang pemberian pengobatan, cara memberi pakan, langkah pelaporan satwa yang hilang, dan aturan apabila membawa peliharaan patut dibicarakan.
“Sampai saat ini, grup penyayang binatang dan pemerintah belum pernah duduk bersama untuk membuat protokol,” katanya.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani