tirto.id - Beberapa tahun silam, Listiyani sempat dirundung kejenuhan luar biasa akan hidupnya. Kala itu, ia masih menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswi. Pikiran-pikiran mengganggu mulai menghantuinya, termasuk keinginan melukai diri sendiri. Kerap kali saat bercerita tentang masalah yang dihadapinya, Listiyani mendapat tanggapan menggurui dari sekitar.
Teman-temannya berkata bahwa ia melebih-lebihkan sesuatu. Sempat ia mencari tahu di internet tentang gejala-gejala malas beraktivitas, kehilangan energi, serta kesulitan tidur yang dialaminya. Dari hasil pencarian informasinya, ia sadar ia mengalami gejala depresi.
Listiyani kemudian datang ke salah satu psikolog. Sayangnya, kali pertama mendatangi pakar psikologi untuk mencurahkan problemnya, ia mendapat stereotipe dan pernyataan yang menghakimi situasinya. Lantas, perempuan ini pun memilih mendatangi beberapa psikiater lain. Oleh psikiater berikutnya, ia sempat didiagnosis mengalami clinical depression, sementara dokter jiwa yang kedua mengatakan ia mengidap bipolar.
Masalah mental yang dialami Listiyani tak pelak mendatangkan niatan bunuh diri. Awalnya hanya sekadar ide mengakhiri hidup, kemudian berlanjut ke pencarian cara untuk bunuh diri dan upaya. Tidak butuh pemicu besar untuk mendorongnya melakukan percobaan bunuh diri, kata Listiyani yang mewakili penyintas dari Komunitas Into The Light dalam seminar Psychological First Aid di Kampus Psikologi UI, Mei 2017 lalu.
Begitu dirundung pikiran negatif, segala referensi tentang kesehatan mental yang dipunyainya seolah mental begitu saja.
Baca juga: Psychological First Aid, Edukasi Awal Tangani Depresi
Listiyani sudah sempat berencana mengakhiri hidupnya saat suatu kali, ia meluangkan waktu sejenak bermain dengan anjing-anjingnya di rumah. Percikan kesenangan tiba-tiba ia dapatkan dari berinteraksi dengan peliharaan keluarganya itu. Kemudian, ia memutuskan menunda rencana bunuh diri, dari tiga hari menjadi seminggu, sampai akhirnya ia menemukan Komunitas Into The Light yang bergerak mengampanyekan pencegahan depresi dan bunuh diri.
Listiyani pun mengurungkan niatnya mengakhiri hidup dan perlahan-lahan menyintas dari situasi depresi.
Pengalaman Listiyani ini bisa saja dipandang begitu sederhana. Memang berinteraksi dengan hewan bukan faktor tunggal yang membuatnya terbebas dari depresi dan keinginan bunuh diri. Pertemuan dengan orang-orang di komunitas dan kesempatan pergi ke luar negeri pun menyumbang pengalaman yang sedikit banyak mengubah cara pandangnya soal hidup.
Kendati demikian, peran hewan peliharaan bagi kesehatan mental seseorang bukan sekadar mitos atau kebetulan. Penelitian telah menemukan bahwa hubungan manusia-hewan membawa aneka dampak positif, mulai dari kesehatan mental individu sampai kemampuan bersosialisasinya.
Dilansir Mental Health Foundation, pada 2011 silam dilakukan penelitian yang melibatkan 600 responden—yang merupakan pemilik kucing dan bukan. Separuh responden menyatakan memiliki masalah kesehatan mental.
Dari penelitian tersebut, 87 persen yang memelihara kucing mengaku mendapat dampak positif terhadap kesejahteraan mereka, sementara 76 persen dari mereka mengatakan bahwa kucing membantunya melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih baik. Sepertiga responden pemilik kucing juga merasa kehadiran kucing memberikan ketenangan tersendiri saat mereka mengelusnya.
“Duduk dengan kucing saat rileks setelah seseorang melewati hari yang padat memberikan kenyamanan tersendiri bagi jiwa. Bisa jadi ini dikarenakan dengkuran kucing secara umum diasosiasikan dengan ketenangan dan komunikasi yang lembut. Bisa juga karena frekuensi getarannya ada dalam rentang yang mampu menstimulasi pemulihan,” ujar Beth Skillings, dokter hewan dari Cats Protection.
Baca juga: Kurangi Stres Karyawan, Perusahaan Sediakan Kucing di Kantor
Tidak hanya ketenangan dan perasaan ditemani yang mampu diciptakan oleh kehadiran hewan peliharaan. Pemilik hewan peliharaan pun bisa mengecap ganjaran positif serta memiliki suatu tujuan yang memotivasi mereka menjalani hari. Katakanlah selepas letih bekerja, seseorang ingin segera sampai di rumah untuk bisa bertemu, bermain, memberi makan dan juga afeksi bagi hewan peliharaannya.
Dorongan untuk memberikan dan menerima kesenangan kepada hewan inilah yang menjadi salah satu tujuan yang ketika disetel, berdampak positif bagi para pemilik hewan peliharaan. Hewan-hewan peliharaan juga dikatakan mampu membuat seseorang merasa berharga dan dibutuhkan. Bukan sekadar perkara makanan yang dinantikan oleh hewan peliharaan, tetapi juga sentuhan dan kasih sayang yang diberikan si pemiliknya.
Dalam The Washington Post, Denise Daniels, pakar parenting yang mengambil spesialisasi di bidang perkembangan sosial dan emosional anak, mengatakan bahwa EQ merupakan hal yang krusial untuk dikembangkan sejak dini. Salah satu komponen dari EQ adalah empati. Daniels memaparkan, dari beberapa hasil studi di AS dan Inggris, ditemukan korelasi antara keterikatan dengan hewan peliharaan dan skor empati yang lebih tinggi. Alasannya, memelihara hewan bagi anak dapat mereduksi fokus sepenuhnya kepada diri sendiri.
Menurut Daniels, empati juga melibatkan kemampuan untuk membaca petunjuk-petunjuk nonverbal seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau gestur. Pada hewan peliharaan, petunjuk-petunjuk nonverbal ini diperoleh. Saat anak melihat kucing mengeong atau anjing berlari ke arah pintu, ia dapat melatih kemampuannya untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan hewan peliharaannya atau apa yang bisa ia lakukan kepada mereka. Kepekaan membaca situasilah yang ditekankan Daniels saat menyoroti perihal anak dan kepemilikan hewan peliharaan.
Bukan cuma efek internal bagi individu sebagaimana Daniels ungkapkan yang dapat terjadi ketika memelihara hewan. Efek eksternal pun dimungkinkan terjadi dari hal ini. Salah satu keuntungan memelihara hewan lainnya ialah melatih tanggung jawab para pemilik, demikian dicantumkan dalam situs Animal Planet.
Tentunya, pemilik hewan yang bertanggung jawab tidak sekadar membeli atau mengadopsi hewan, lantas memberinya makan saja. Segala tanggung jawab finansial dan emosional terkait kesehatan mereka—mulai dari kebutuhan vaksinasi, sterilisasi, sampai mengajak jalan untuk melampiaskan energi hewan peliharaan yang aktif semacam anjing—merupakan konsekuensi yang tidak boleh diabaikan begitu memutuskan mempunyai hewan peliharaan.
Aneka konsekuensi yang dijalankan ini pun bukan berhadiah hampa bagi si pemilik. Kasih sayang yang balik diberikan hewan kepada pemiliknya serta keuntungan sosial dan fisik lainnya menjadi imbalan atas pilihan memeliharanya.
Terkait aspek sosial, memelihara hewan bisa membuat seseorang lebih mudah terkoneksi dengan orang lain, khususnya dengan mereka yang memiliki minat terhadap hewan peliharaan serupa. Macam-macam perbincangan terkait hewan peliharaan bisa menjadi awal yang baik saat berpapasan dengan sesama pemelihara hewan. Maka tak heran, hewan peliharaan sering disebut sebagai pemecah kebekuan dalam interaksi sesama manusia.
Sedangkan dari aspek kesehatan fisik, kemampuan sosial yang dimungkinkan dari memerlihara binatang juga berdampak terhadap tubuh seseorang. Analisis dari 148 studi menunjukkan orang yang memiliki jaringan sosial yang kuat 50 persen lebih potensial untuk hidup lebih lama dibanding yang tidak. Temuan studi lain dari University of Wisconsin-Madison memperlihatkan, memiliki hewan peliharaan bisa menurunkan kemungkinan anak mengidap alergi sampai 33 persen.
Acap kali orang berasumsi, memelihara hewan justru memicu terjadinya alergi pada anak. Namun, dalam studi yang dirilis di Journal of Allergy and Clinical Immunology ini justru menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar hewan peliharaan sejak dini dapat memiliki sistem imun lebih kuat.
Potensi sistem imun anak yang lebih baik ini bukan tanpa catatan. Di rumah, sepatutnya tidak ada catatan anggota keluarga yang sudah lebih dulu memiliki alergi terhadap hewan. Dalam kondisi yang netral inilah, perkenalan dengan hewan sejak anak masih kecil bisa menciptakan efek positif berupa kekebalan terhadap alergi hewan peliharaan.
Satu lagi efek terhadap fisik yang terjadi dengan memelihara hewan: kemungkinan terhindar dari masalah jantung. Penelitian The Center for Disease Control and Prevention (CDC) dan National Institute of Health (NIH) memperlihatkan pemilik hewan peliharaan cenderung terhindar dari tekanan darah tinggi, serta level kolesterol dan trigliseridanya lebih terjaga. Ketiga hal inilah yang berperan terhadap kondisi serangan jantung. Bagi mereka yang pernah mengalami serangan jantung pun, memelihara hewan bisa memicu pemulihan yang lebih baik.
Ambil contoh pemilik anjing. Olahraga rutin setiap hari dapat dimungkinkan ketika mengajak jalan peliharaan mereka. Sudah tentu anjing butuh beraktivitas untuk melampiaskan energinya, dan hanya dengan peran si pemiliklah, latihan atau olahraga untuk menghabiskan energi anjing dapat dilakukan. Singkat kata, dengan berolahraga semacam ini, baik anjing maupun pemiliknya dapat mendulang keuntungan raga serta jiwa.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani