Menuju konten utama

Seusai Kumpul Lebaran: Basa-Basi yang Diam-Diam Melukai

"Apa usahaku masih kurang? Apa aku belum cukup sukses?" Sederet keraguan mungkin menghampiri setelah momen kumpul Lebaran.

Seusai Kumpul Lebaran: Basa-Basi yang Diam-Diam Melukai
Header diajeng Basa-Basi Lebaran. tirto.id/Quita

tirto.id - Lebaran idealnya menjadi momen untuk merayakan kebersamaan dengan keluarga dan sanak saudara—penuh tawa, pelukan, dan cerita-cerita lucu nan berkesan yang menghangatkan hati.

Namun demikian, bagi sebagian orang, hari raya justru terasa seperti ujian mental tahunan.

Di antara aroma rendang, ketupat, dan opor yang menguar, mengintai pertanyaan-pertanyaan kecil yang menohok tanpa ampun. Sebut di antaranya berikut:

"Kapan nikah?"

"Udah punya anak belum?"

"Belum nambah anak lagi, nih?"

"Kok masih di situ aja, nggak pindah kerja?"

“Kok nggak daftar CPNS kemarin?”

"Rumah sendiri kapan, nih? Betah banget sih ngontrak? Berani KPR dong.”

Niat dari pihak yang bertanya mungkin sekadar untuk basa-basi, akan tetapi bagi pihak yang ditanyai, basa-basi itu bisa jadi terasa seperti momok atau tuntutan.

Tuntutan bahwa pencapaian hidup harus sesuai timeline yang ditentukan orang lain, seolah-olah terdapat garis finis yang harus dicapai atau tenggat waktu yang tak boleh dilewatkan, seakan-akan kita selalu kurang atau selalu tertinggal.

Kadang-kadang, basa-basi yang dianggap sepele bisa berubah menjadi racun, yang perlahan merembes ke dalam hati, menyisakan perasaan diri yang kurang dan tidak cukup berharga.

Nah, setelah Lebaran, sebagian dari kita akan kembali pulang ke perantauan.

Peliknya, alih-alih kembali dengan hati yang utuh dan puas, kepala kita mungkin akan dipenuhi dengan sederet keraguan, "Apa aku memang tidak cukup baik? Apa aku belum tergolong sukses? Apa iya kerja kerasku selama ini masih kurang?"

Mengapa Basa-Basi Lebaran Bisa Menjadi Sangat Toxic?

Keluarga—unit terkecil yang seharusnya menjadi saung paling nyaman untuk kita pulang—kadang-kadang justru menjadi sumber tekanan yang tidak terduga.

Pertanyaan-pertanyaan dari anggota keluarga atau sanak saudara yang meluncur begitu saja–tanpa disaring dan tanpa sadar menyentuh luka hati yang belum sembuh–bisa jadi membuat diri kita merasa kecil.

Ya, basa-basi keluarga ternyata dapat semelukai itu.

Terkait hal ini, Agstried Elisabeth Piether, psikolog anak dan keluarga sekaligus co-founder Rumah Dandelion menjelaskan alasan mengapa pertanyaan basa-basi justru terasa seperti beban mental.

“Jika basa-basinya dilandasi kepedulian, dan bertanya dengan empati, tentu saja kita cenderung tidak masalah,” jelas Agstried.

“Tapi ada kalanya basa-basi dilakukan hanya sekedar bertanya, tanpa ada kepedulian di baliknya. Apalagi, karena tidak berangkat dari kepedulian, akhirnya pertanyaannya cenderung menyudutkan dan tidak memikirkan perasaan dari yang ditanya, jelas rasanya tidak nyaman,” paparnya lagi.

Realitas hidup menunjukkan tidak semua orang sedang berada di fase yang ideal.

Ada yang tengah berjuang mati-matian di kariernya untuk bertahan dalam kondisi yang sulit, ada yang sedang berusaha merawat pernikahan yang rapuh, ada yang berupaya mengatasi kehilangan karena keguguran, ada pula yang masih mencoba berdamai dengan diri sendiri.

Hanya saja, di meja makan saat kumpul Lebaran, seakan-akan terdapat satu aturan tidak tertulis: pencapaian hidup adalah topik wajib.

Dari Basa-Basi ke Luka Batin

Apa yang sebenarnya terjadi di otak kita ketika kita disodori pertanyaan yang memicu perasaan “tidak cukup”?

Menjawab pertanyaan ini, Agstried menuturkan bahwa kita memiliki masalah atau pengalaman tertentu dari masa lalu yang dapat memicu emosi negatif dalam diri. Maka setiap orang bisa jadi berbeda-beda pertanyaan pemicunya.

“Ada bagian otak yang bernama amygdala yang mengontrol emosi-emosi negatif dan ada pengalaman-pengalaman masa lalu yang kita simpan juga dalam memori kita yang dapat terpicu oleh situasi-situasi yang dirasa membuat kita rentan,” tambah Agstried.

Psikolog klinis Dr. Guy Winch, dalam bukunya Emotional First Aid (2012), menjelaskan bahwa komentar yang menyentuh aspek pribadi seseorang dapat menimbulkan luka emosional yang dampaknya mirip dengan luka fisik.

Rasa tidak cukup baik, dibanding-bandingkan dengan orang lain, atau dianggap gagal oleh keluarga ternyata dapat memicu rumination—perenungan berlebihan yang berujung pada stres berkepanjangan.

Hal ini sejalan dengan penelitian Dr. Susan David, psikolog Harvard dan penulis Emotional Agility (2016).

David menemukan bahwa ekspektasi sosial dalam keluarga—termasuk kritik terselubung yang dibungkus basa-basi—dapat menurunkan kepercayaan diri seseorang dan meningkatkan risiko gangguan kecemasan.

Masih melansir penjelasan dari David, fenomena ini bisa disebut sebagai not good enough syndrome—ketika seseorang merasa tidak cukup baik karena tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh orang lain.

Lama-kelamaan, tekanan ini bisa menggerus kepercayaan diri dan berdampak pada kesejahteraan emosional.

Di samping itu, menurut Self-Determination Theory yang dikembangkan oleh Edward Deci and Richard Ryan, manusia memerlukan tiga hal untuk menjaga keseimbangan mentalnya: otonomi (merasa memiliki kendali atas hidup sendiri), kompetensi (merasa mampu dan dihargai), dan keterhubungan sosial (merasa diterima apa adanya).

Dengan kata lain, ketika seseorang terus-menerus mendapat tekanan dari lingkungan—terutama dalam bentuk pertanyaan yang meragukan dirinya—tiga kebutuhan psikologis tersebut bisa terganggu, menyebabkan perasaan terasing dan tidak cukup baik.

Akibatnya, mereka kesulitan memiliki kendali atas hidupnya sendiri, atau bahkan semakin jauh dari orang-orang yang seharusnya menjadi support system.

Mengatasi Perasaan Tidak Cukup dan Luka Usai Lebaran

Masih mengutip pandangan psikolog David, menerima emosi tanpa menghakimi diri sendiri adalah langkah pertama menuju pemulihan.

Kita tidak perlu memaksakan diri untuk selalu terlihat baik-baik saja. Pada beberapa kesempatan, memberi ruang pada diri sendiri untuk merasa sedih adalah bentuk keberanian yang paling tulus.

Namun demikian, kita acap kali menjadi musuh bagi diri sendiri.

Saat orang lain bertanya, kita mungkin bisa tersenyum dan mengabaikan. Nah, ketika sedang sendirian, kata-kata itu mungkin berubah menjadi beban, memunculkan keraguan, membuat kita bertanya-tanya apakah memang ada yang salah dalam hidup kita.

Pakar self-compassion dari University of Texas Dr. Kristin Neff menyebut hal ini sebagai kurangnya belas kasih terhadap diri sendiri.

Kita terlalu sering bersikap keras pada diri sendiri, lupa bahwa setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing.

Senada dengan Neff, psikolog Agstried menyampaikan bahwa kita bisa memilih untuk berbelas kasih ke diri sendiri.

“Kita perlu lebih sayang pada diri sendiri, misalnya dengan menyadari bahwa memang kita belum meraih hal-hal yang menjadi standar orang-orang. Meski begitu, kita berusaha dengan keras dan jujur. Jadi, apa yang sudah kita raih selama ini sudah benar-benar hasil kerja keras kita. Itu pun perlu diapresiasi,” jelas Agstried.

“Coba bayangkan ketika kita melihat seorang bayi. Bayi belum bisa melakukan apa-apa sendirian, tapi semua orang di sekitarnya tetap sayang. Kenapa kita tidak bisa sayang sama diri sendiri juga tanpa syarat seperti sayang ke anak bayi?” imbuhnya.

Rasa tidak cukup sering kali berakar pada cara kita melihat suatu situasi.

Dr. Aaron Beck, pencetus Cognitive Behavioral Therapy (CBT), menyampaikan bahwa pikiran kita sangat berpengaruh terhadap perasaan yang muncul.

Apabila kita menganggap pertanyaan basa-basi sebagai bentuk tekanan sosial, maka dampaknya bisa berat.

Di sisi lain, apabila kita mencoba melihatnya dari sudut pandang berbagai—sebagai bentuk kepedulian yang disampaikan dengan cara yang kurang tepat—emosi yang muncul bisa lebih ringan.

“Kenali respons tubuh saat mulai stres, saat situasi semakin tidak enak. Sebelum bereaksi secara emosional, cobalah untuk mundur dari percakapan. Ingat, kita punya pilihan untuk terlibat dalam percakapan atau tidak. Kita tidak terjebak di situ. Selalu ada pilihan dalam situasi apapun,” saran Agstried.

Teknik grounding bisa membantu—memperhatikan hal-hal di sekitar, menarik napas dalam-dalam, dan mengingatkan diri bahwa kita tidak hidup di dalam pikiran orang lain.

Nah, tatkala hati terasa terlalu penuh, berbagi dengan orang yang dipercaya bisa menjadi penyembuh yang sederhana tapi ampuh.

Studi dari American Psychological Association (2023) menunjukkan bahwa percakapan dengan orang yang suportif dapat meningkatkan kesejahteraan emosional. Bercerita pada sahabat, pasangan, atau terapis bisa membantu kita melihat situasi dengan lebih jernih.

Pada akhirnya, Lebaran memang selalu membawa berbagai macam cerita.

Bagi sebagian orang, ia membawa kehangatan dan kebahagiaan, sedangkan bagi sebagian lainnya ia bisa meninggalkan luka yang tak kasat mata.

Yang terpenting, ingatlah bahwa kita tidak harus mengubah diri hanya karena ekspektasi orang lain.

Hidup ini bukan tentang memenuhi standar yang ditetapkan masyarakat luas. Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, ada pula yang tidak.

Apabila ada sesuatu yang ingin kita ubah dari dalam diri, lakukanlah karena kita memang menginginkannya–alih-alih karena tekanan dari pertanyaan basa-basi yang rutin menghampiri setiap tahun.

Nah, setiap kali basa-basi dari orang lain mulai terasa seperti beban, tarik napas dalam-dalam, luangkan ruang untuk diri sendiri, dan sampaikan kalimat berikut dengan penuh kasih sayang, “Aku cukup. Aku berharga. Dan aku berhak menjaga batasan demi kesehatan mentalku sendiri.”

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Diajeng
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Sekar Kinasih