tirto.id - Berkumpul bersama keluarga besar untuk silaturahim dan bermaaf-maafan adalah salah satu esensi dalam perayaan Idulfitri. Menariknya, bagi sebagian orang—mungkin termasuk dirimu juga—momen ini malah bikin gelisah dan deg-degan.
Hayo, kenapa?
Sudah jadi hal lazim, dalam acara keluarga, muncul pertanyaan-pertanyaan dari saudara yang dampaknya membuatmu tidak nyaman.
Pertanyaan seperti, “Mana nih, calonnya? Kok belum nikah juga?” atau, “Waduh, masih belum dapat kerja, ya? Kok bisa?” bukan tidak mungkin langsung merusak mood.
Terlebih, apabila pertanyaan di atas lantas malah menjadi topik obrolan dan kamu dibanding-bandingkan dengan saudara seumuran yang sudah lebih dulu menikah atau sudah mendapatkan kerja dengan gaji cukup besar.
Keluarga besar yang diharapkan dapat menjadi support system malah jadi seperti momok yang melakukan perundungan.
Tentu, pertanyaan-pertanyaan demikian telah meresahkan banyak orang. Tak sedikit konten-konten lucu di media sosial yang sudah mengkritisinya. Sayangnya, entah kenapa, masih saja pertanyaan-pertanyaan tersebut berseliweran di acara keluarga.
Sebenarnya, apa yang melatari munculnya pertanyaan-pertanyaan demikian?
Menurut Novia Dwi Rahmaningsih, Co-Founder dan Psikolog Klinis dari Biro Layanan Psikologi Kawan Bicara, terdapat banyak motif. Ada yang bertanya karena memang peduli, sekadar basa-basi, kepo alias ingin tahu, dan menyindir.
“Ada begitu banyak motif dan kamu hanya bisa menebak mengapa kamu mendapat pertanyaan seperti itu,” kata Novia.
Novia melanjutkan, “Namun biasanya, pertanyaan-pertanyaan ini tidak lepas dari bias gender. Laki-laki lebih sering ditanya tentang pekerjaan, misalnya posisinya apa dan gajinya berapa digit, juga tentang aset yang sudah dimiliki. Sementara kalau perempuan, lebih banyak ditanya tentang pernikahan dan anak.”
Di luar motif-motif di atas, ada juga yang motifnya flexingalias pamer. Dalam konteks ini, selain bertanya, si penanya juga akan membandingkan dirinya dengan orang yang ditanya tentang pencapaian hidup. Misalnya, “Kok kamu masih single aja? Aku saja yang baru putus tiga bulan lalu, sekarang sudah punya pacar lagi.”
Novia menuturkan, pertanyaan seperti ini kemungkinan didasari oleh dorongan berkompetisi. Dalam masyarakat Indonesia, pernikahan dan pekerjaan merupakan dua di antara sederet tolok ukur keberhasilan dan pencapaian dalam hidup.
Saat pertanyaan-pertanyaan mengenai topik ini muncul sambil diselipkan cerita pencapaian si penanya, ini merupakan cara dia untuk mendapatkan validasi atau pengakuan dari orang lain tentang keberhasilannya tersebut.
“Padahal kebanyakan hal-hal yang masuk tolok ukur keberhasilan itu di luar kontrol kita. Seperti jodoh; orangnya siapa, kapan dia datang, lalu nantinya kapan menikah. Kita tidak bisa mengontrol hal itu. Yang sekarang dalam pernikahan, belum tentu tahun depan masih dalam pernikahan. Yang sudah menikah, belum tentu hidupnya lebih bahagia daripada yang belum menikah,” lanjut Novia.
Apa pun motifnya, apabila kamu berpotensi besar untuk menjadi target yang ditanya, baik oleh keluarga besar atau pun tetangga di lingkungan rumah, coba ikuti kiat-kiat dari Novia berikut kamu semakin siap “bertempur” pada hari H.
Terdapat sejumlah tahapan yang Novia sarankan. Langkah pertama adalah mengenali dirimu lebih jauh. Ini akan membantumu menilai topik pertanyaan apa yang sensitif buatmu saat ini.
Kamu bisa jadi sensitif terhadap topik tertentu karena realitanya belum sesuai dengan kondisi ideal yang kamu inginkan. Misalnya, kamu sebenarnya sudah sangat ingin punya anak, tapi ternyata masih belum hamil.
Langkah kedua adalah memprediksi siapa saja orang-orang yang kemungkinan akan memberimu pertanyaan saat Lebaran nanti. Kemudian, cobalah kamu petakan posisi orang-orang ini, apakah ada di dalam lingkaran orang terdekat atau masuk di lingkaran orang tidak dekat.
Orang-orang yang dekat denganmu biasanya bertanya karena mereka benar-benar peduli dan ingin tahu. Kepada mereka, kamu dapat memberikan jawaban yang jujur tentang kondisimu, bahkan sedikit curhat juga tidak apa-apa.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang tidak terlalu dekat, karena biasanya motif pertanyaan mereka adalah basa-basi atau kepo alias keingintahuan berlebihan. Terkait ini, kamu bisa beri jawaban yang standar.
Apabila kamu ingin menjawab mereka dengan serius, berikan jawaban singkat saja tanpa penjelasan. Kamu jawab dengan bercanda juga sah-sah saja, selama jawaban yang kamu berikan tidak menyakiti si penanya. Ini juga berlaku untuk pertanyaan dari orang yang ingin flexing.
Langkah ketiga adalah mempersiapkan apa yang harus kamu lakukan jika ternyata pertanyaan-pertanyaan tersebut memicu munculnya emosi yang membuatmu tidak nyaman.
Untuk hal itu, kamu harus fokus kepada dinamika internal di dalam diri. Jika merasa marah, sedih, kecewa, atau sakit hati, maka yang kamu lakukan adalah memvalidasi emosi-emosi tersebut dengan self talk dalam hati, “Oh, ternyata aku marah ya, ditanya tentang pekerjaan” atau, “Kecewa banget aku, ditanya terus kapan menikah lagi setelah cerai”.
Novia menjelaskan, “Memvalidasi emosi-emosi tersebut dapat membantu emosimu mereda. Selain kamu jadi lebih tenang, kamu juga terhindar dari keinginan untuk menjawab pertanyaan secara agresif.”
“Self talk dalam hati ini juga membantu mengurangi perhatianmu ke lanjutan obrolan dari pertanyaan yang ditanyakan kepadamu, sehingga tidak banyak yang kita dengarkan. Sambil self talk, jangan lupa atur napas untuk membantu menenangkan diri,” lanjut Novia.
Apabila memang dibutuhkan, kamu dapat meminta sahabat atau pacar untuk jadi tempat curhat atau ventilasi emosi jika kamu sudah merasa mau meledak. Sampaikan dulu sebelumnya pada mereka bahwa kemungkinan akan ada kondisi seperti ini, jadi mereka bisa bersiap-siap kamu hubungi.
Meski terkesan harmless, dampak dari pertanyaan-pertanyaan demikian cukup besar bagi orang-orang yang sensitif dengan topiknya.
Tak hanya muncul emosi yang membuat tidak nyaman, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat memicu overthinking karena merasa tidak dipahami oleh keluarga, atau stres karena merasa terbeban dengan ekspektasi keluarga.
Apabila berlarut-larut, maka emosinya tidak mereda dan rasa tidak nyaman akan terus menghantui.
Dampaknya bisa lebih buruk jika orang yang ditanya memiliki riwayat gangguan kesehatan mental karena pertanyaan-pertanyaan "kepo" berpotensi menjadi pemicu.
Apabila pernah terdiagnosa depresi, misalnya, ia bisa overthinking dan merasa dirinya kurang, sehingga depresinya memburuk atau jika sudah sembuh bisa relapse. Atau, apabila orang tersebut punya trauma, maka pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi pengingat ke penyebab traumanya.
“Bisa terjadi juga, kamu tidak mau ditanyakan hal-hal sensitif itu di Lebaran berikutnya. Akibatnya, kamu jadi mengambil keputusan terburu-buru mengenai sesuatu untuk menghindari mendapat pertanyaan tentang itu nantinya,” ujar Novia.
Novia memberikan contoh, “Misalnya, kamu dapat tawaran kerja dengan gaji dan fasilitas yang kurang oke, tapi daripada saat Lebaran ditanya kenapa masih menganggur, akhirnya kamu terima pekerjaan itu. Kamu jadi mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kebutuhan diri-sendiri, tapi berdasarkan social pressure. Padahal kamu yang akan menjalaninya, bukan orang yang bertanya.”
Mengingat serangkaian dampak dari pertanyaan kepo demikian, maka perlu dipikir baik-baik apabila kita ingin menanyakannya pada anggota keluarga besar yang lain.
Apabila kita benar-benar peduli pada mereka, kita bisa minta izin terlebih dahulu sebelum bertanya dan segera menghentikan pembahasan topik tersebut ketika suasana menjadi awkward.
Sederhana saja, apabila kita tidak suka ditanyai pertanyaan-pertanyaan seperti itu, idealnya kita tidak akan melakukannya pada orang lain, bukan?
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Sekar Kinasih