Menuju konten utama

Pelaku Penganiayaan Hewan Bisa Diancam Hukuman Pidana

Meski sudah ada regulasi, praktik pengabaian dan penganiayaan mereka masih saja ditemukan di mana-mana.

Pelaku Penganiayaan Hewan Bisa Diancam Hukuman Pidana
Seekor anjing ditinggalkan di dalam mobil selama 8 jam oleh pemiliknya di area parkir Grand Indonesia. FOTO/@tommyprabowo

tirto.id - Jumat (1/12) petang, pukul 16.26 Tommy Prabowo tiba di parkir mobil mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Tidak ada yang luar biasa di tempat itu, kecuali satu. Ia mendengar gonggongan anjing yang begitu nyaring dari mobil di sebelahnya. Saat itu, Tommy memutuskan untuk pergi dengan pikiran si pemilik tidak akan lama meninggalkannya.

Hingga pukul 22.09, ketika Tommy kembali ke parkiran, mobil yang sama masih terparkir, lengkap dengan anjing yang menggonggong tadi. Ada yang salah dengan ini, begitu pikir Tommy. Dia bisa saja memilih abai terhadap makhluk itu, tetapi ia menolak opsi meninggalkan si anjing sendirian di dalam kepengapan mobil, berjam-jam tanpa terlihat sekali pun minum atau makan, di tengah gelisah menunggu pemiliknya.

Sekitar 3 jam Tommy menunggui si anjing sampai bertemu pemiliknya lagi. Seraya menanti, diusahakannya macam-macam cara untuk memberi minum si anjing, termasuk meminta bantuan petugas keamanan. Pukul 00.43, sang pemilik tiba.

Alih-alih berterima kasih karena ada orang lain yang peduli akan anjingnya dan mau mengingatkan tindakan lalainya, sang pemilik justru melontarkan kalimat-kalimat defensif seperti “Ini anjing saya, enggak usah ganggu urusan orang”, “Saya lebih tahu soal anjing saya”, dan “Anjing saya sudah biasa di dalam mobil”.

Hingga lewat pukul 01.00, mereka berdebat. Akhirnya, sang pemilik membawa pulang si anjing, yang lantas Tommy ketahui bernama Valent. Laki-laki itu mengultimatum sang pemilik sebelum ia beranjak, “[Valent] enggak usah dibawa-bawa ke mal lagi, ya!”

Kisah pengurungan anjing selama sekitar 8 jam itu boleh usai pada Sabtu dini hari, tetapi penyesalan Tommy berlangsung hingga beberapa saat setelahnya. Mengapa saya tidak nekat memecahkan kaca sejak awal? Valent ada di tangan yang salah, pikir Tommy.

Pengalaman dan keresahan akan keselamatan seekor peliharaan ini tertulis lengkap dalam status Facebooknya, ditambah tagar #SelamatkanValent dan dokumentasi plat mobil sang majikan.

Tidak butuh waktu lama sampai hal ini menjadi viral. Tiga hari sejak Tommy mengunggah status Facebooknya, sudah ada lebih dari 10 ribu orang membagikannya, sekitar 8 ribuan orang memberikan reaksi, dan sebanyak 3 ribuan percakapan tercipta di kolom komentar Tommy.

Penyiksaan Hewan Belum Dianggap Serius

Pengurungan anjing seperti yang disaksikan Tommy merupakan satu dari sekian banyak bentuk penganiayaan hewan, tetapi tidak semua pemilik anjing sadar akan hal ini. Suhu udara di dalam mobil tentunya berkali lipat lebih tinggi dibanding udara luar. Ketika anjing di dalamnya kepanasan, bukan tidak mungkin keselamatan jiwanya terancam.

Dilansir Huffingtonpost, People for the Ethical Treatment of Animals menyatakan, hewan yang ditinggal di mobil bisa mengalami heatstroke yang mampu membunuhnya dalam 15 menit saja.

Di lain sisi, American Veterinary Medical Association melaporkan salah satu kejadian pengurungan empat anjing di dalam mobil selama beberapa jam yang berujung kematian pada keempatnya. Tiga anjing pertama ditemukan mati setelah mobil dibuka, sementara anjing keempat mau tidak mau dimatikan karena mengalami luka.

Kejadian Valent terkurung di mobil hanya satu dari sekian banyak bentuk-bentuk penganiayaan atau kekejaman terhadap hewan. Bentuk lainnya mencakup pemukulan atau kekerasan fisik, abai menyediakan perawatan yang layak baik ketika hewan sehat ataupun sakit, serta penyelenggaraan adu binatang.

Tidak sulit menemukan contoh-contoh perilaku menganiaya seperti ini. Saat peliharaan (dianggap) membangkang atau berisik, sebagian pemilik memilih memukulnya, entah langsung atau dengan alat-alat tertentu. Keras itu untuk pendisiplinan, argumen mereka.

Akan tetapi, kekerasan terhadap hewan bukan hanya tidak efektif untuk membuat mereka disiplin serta menghormati pemiliknya, tetapi juga malah menimbulkan trauma dan rasa takut. Relasi yang baik dengan peliharaan adalah ketika pemilik menghargai kebutuhan peliharaannya, termasuk rasa aman dari ancaman.

Tahun 2007, di daerah Petamburan, terdapat sebuah bengkel tambal ban di pinggir jalan. Saya sering melintasi tempat tersebut karena dekat dengan lokasi pertemuan organisasi di mana saya tergabung. Di bengkel itu, saya mendapati seekor anjing yang sejak pagi sampai malam, terantai di tiang dengan ruang gerak kira-kira hanya satu meter.

Saya pun coba mendekati dia. Terlihat sedikit agresif, tetapi saya tahu dia tidak mau menyerang karena ekornya naik ke atas, suatu pertanda anjing tidak dalam keadaan marah atau takut. Singkat cerita, saya membuat si anjing percaya bahwa saya bukan orang berbahaya dan mau memberinya makan.

Selagi dia lahap menyantap makanannya, saya iseng bertanya-tanya kepada pemilik warung sebelah bengkel—yang tentu setiap hari bertemu si anjing—karena bengkel sedang tutup. Dari percakapan dengannya, saya tahu kalau anjing itu tidak pernah dilepas sejak kecil. Baik hujan atau panas terik, baik ketika pemilik bengkel datang dan membuka usahanya atau tidak, dia akan terus di situ, berteduh di bawah triplek lapuk kecil. “Terus yang kasih makan siapa, Pak?”

“Ya suka saya kasih sisaan nasi kalau ada. Atau ada bapak-bapak yang juga suka datang hanya buat kasih dia makan. Sesekali aja tapi, enggak setiap hari,” begitu keterangan yang saya dapatkan. Tergerak dari situ, saya berinisiatif mencari pemiliknya saat bengkel buka beberapa waktu kemudian. Saya meminta izinnya mengajak jalan si anjing, dan euforia meledak-ledak begitu dia dilepaskan, berlari-lari di tanah lapang luas tidak jauh dekat bengkel.

Pada 2013, saya lewat tempat itu lagi, anjing yang sama masih ada. Ia masih terantai di tempat yang sama.

Bukan kali itu saja saya menemukan anjing terantai selama sebagian besar waktu hidupnya. Kali lain, di dekat Seven Eleven Cilandak yang kini telah tutup, saya mendapati hal serupa, tetapi terjadi pada dua ekor anjing. Informasi yang saya dapat dari petugas parkir di sana, mereka juga jarang dilepas karena berada di tempat publik. Katanya, mereka anjing ‘sana’, tak jelas juga siapa yang mengklaim sebagai pemiliknya.

Baik kejadian di Petamburan maupun Cilandak saya sempat laporkan ke komunitas pemerhati kesejahteraan hewan, Animal Defender. Namun, saya paham, begitu banyaknya kejadian penelantaran hewan dan yang lebih parah dari yang saya temukan membuat mereka tidak langsung mendatangi lokasi anjing-anjing yang saya temukan. Keterbatasan tempat dan biaya menghambat saya menampung mereka, terlebih untuk anjing di Petamburan yang jelas pemiliknya siapa.

Benturan terhadap Upaya Melindungi Hewan

Selain dari komunitas-komunitas pemerhati hewan macam Animal Defender, Garda Satwa Indonesia, Jakarta Animal Aid Network, dan Animal Friends Jogja, perhatian terhadap kesejahteraan hewan sebenarnya datang pula dari pemerintah.

Dilansir HukumOnline.com, ada sejumlah regulasi yang mengatur tentangnya. Pasal 302 KUHP menyebutkan, barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya, tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup hewan, akan diancam pidana penjara paling lama tiga bulan. Sementara bila perlakuan seperti itu menyebabkan sakit lebih dari seminggu, cacat, luka berat lain, atau mati, pelaku diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Peraturan lain terkait kesejahteraan hewan dimuat dalam pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan (UU 95/2012). Ada poin-poin yang melarang pemanfaatan hewan di luar kemampuan kodratnya yang membahayakan keselamatannya, termasuk memberi bahan perangsang fungsi kerja organ hewan di luar batas fisiologis hewan. Eksploitasi kekuatan fisik hewan pun dilarang dalam UU ini.

Baca juga: Binatang TSI Dicekoki Miras, JAAN Ambil Langkah Hukum

Di samping itu, pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pun menguatkan aturan tentang pemeliharaan hewan dengan baik. Dalam penjelasan pasal itu dikatakan, “Yang dimaksud dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan di luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan, misalnya pengglonggongan sapi.

Tidak hanya hewan ternak saja yang mungkin mengalami eksploitasi demi kepentingan pemilik. Ada pembiak hewan domestik seperti anjing yang dengan sengaja membuat anjing betinanya terus hamil supaya anak-anaknya bisa dijual.

Sekilas seperti tidak ada yang salah dengan hal ini, tetapi memaksa anjing untuk terus melahirkan bisa berdampak buruk terhadap kesehatannya. Belum lagi bila anak yang dilahirkan bukan jenis unggul sehingga potensinya untuk dipilih calon pembeli kian minim. Jika sudah demikian, belum tentu pembiak mau merawat anak-anak non-unggul ini nantinya dan akhirnya, berujung pada perlakuan diskriminatif, bahkan pengabaian terhadapnya.

Kendati sudah ada peraturan-peraturan yang memperhatikan kesejahteraan hewan, masih sering ditemukan praktik-praktik pelanggarannya. Memang tidak ada peraturan yang gamblang melarang konsumsi daging anjing atau kucing—sebuah praktik tradisi yang ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

Akan tetapi, bila mengacu pada peraturan-peraturan di atas, bentuk konsumsi hewan nonternak ini bisa digolongkan sebagai penganiayaan yang menyebabkan kematian. Terlebih ketika cara membunuh yang dilakukan begitu sadis dan massal.

Infografik Kekejaman Terhadap Hewan Rev

Baca juga:

Lantas, ada pula wacana tentang penggunaan hewan percobaan di laboratorium. Di Amerika Serikat, sekitar 26 juta hewan dipakai untuk pengembangan obat-obatan dan kepentingan komersial. Untuk kepentingan medis, hal ini kerap dilumrahkan karena beberapa hewan punya karakter genetik yang dekat dengan manusia.

Walau demikian, ada pihak yang menentang dengan alasan hal tersebut termasuk penganiayaan hewan. Kepedulian terhadap kesejahteraan hewan ini juga yang mendorong segelintir merek seperti The Body Shop, produsen kosmetika, untuk menghindari penggunaan hewan dalam pengembangan produknya.

Tradisi dan kepentingan komersial atau medis memang sering menjadi alasan menormalisasi perilaku buruk terhadap hewan, seakan mereka tidak memiliki hak azasi. Karenanya, perjalanan panjang untuk mengedepankan kesejahteraan hewan masih harus ditempuh komunitas-komunitas dan individu pecinta hewan.

Baca juga: Mengenal Akar dari Hak Azasi Binatang

Baca juga artikel terkait HAK HEWAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Hukum
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani