tirto.id - Anjing bukan makanan. Penegasan itu disampaikan Angelina Pane, aktivis Animal Friends Jogja (AFJ), soal warung yang menjual olahan daging anjing di Kota Gudeg.
Sejak tahun 2012, Angelina melakukan kampanye “Dog Are Not Food”. Kampanye dilakukan sebagai edukasi pada masyarakat bahwa anjing bukan sumber pangan, tetapi sahabat manusia.
“Teman dari luar daerah kalau datang ke Yogya selalu tanya soal warung sengsu (oseng-oseng asu atau anjing) yang enak di mana? Ini kan kacau sekali. Parah,” kata Angelina yang didampingi suaminya Odyssey Sanco a.k.a Bandizt, pentolan band kawakan Shaggy Dog yang juga aktivis AFJ, kepada tirto.id, di Yogyakarta, pada Senin (12/9/2016).
Kampanye seperti apa yang suami-isteri ini lakukan? Mengapa sampai saat ini belum juga ada Perda yang melarang konsumsi daging anjing? Berikut wawancaranya dengan Mawa Kresna dari tirto.id:
Apa gagasan awal mengampanyekan “Dog Are Not Food”?
Awalnya karena memang kita menganggap anjing bukan makanan. Kita mulai kampanye dari Yogyakarta, tahun 2012. Kita sendiri menggandeng Shaggy Dog saat memulai kampanye.
Sebenarnya sebagai orang Yogya kita juga malu, Yogya yang terkenal sebagai kota Budaya, Kota Pelajar, tapi belakang terkenal dengan Kota Sengsu (Oseng-Oseng Asu atau anjing). “Teman dari luar daerah kalau datang ke Yogya selalu tanya soal warung sengsu yang enak di mana? Ini kan kacau sekali. Parah.
Apa yang dilakukan saat pertama kali kampanye?
Dulu sih kita nggak langsung kampanye. Tapi riset dulu. Soalnya banyak juga laporan masuk ke kita ada anjing diculik, pembunuhan anjing dan lainnya. Kita cari tahu, apa ini wajar? Apakah makan anjing itu kebudayaan? Karena sebagian orang mengaitkan ini dengan kebudayaan.
Saya orang Batak. Bapak saya dulu makan anjing, sekarang sudah nggak. Di kampung saya , makan anjing memang biasa. Tapi setelah ditelusuri, bukan kebudayaan. Bapak saya cerita, dulu anjing dipakai berburu. Kalau nggak dapat buruan, ya akhirnya anjingnya dimakan.
Kampanye itu bentuknya apa saja?
Dulu kita pernah membuat sepeda bersama mendatangi pemerintah daerah. Kampanye jalan. Kita juga lobi pemerintah agar ada aturan soal ini. Pemda sebenarnya sudah ada tata niaga soal itu, tapi belum disusun jadi Perda. Tapi kan sudah ada aturan bahwa setiap daging yang dikonsumsi di Yogya harus berprinsip ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).
Apa kendalanya sehingga aturannya belum juga ada?
Sebenarnya mereka sudah setuju, tapi masih menimbang karena ada multietnis dan religi. Khawatir kalau diberlakukan timbul gesekan. Harusnya nggak serumit itu sih. Kalau memang dilarang, ya sudah kenapa harus menunggu lagi.
Dulu kita pernah investigasi bersama JAAN (Jakarta Animal Aid Network). Untuk di Yogya, ada yang mengirim dari luar daerah yang belum bebas rabies. Padahal Yogya sudah bebas rabies. Inikan sebenarnya bisa ditindak. Tapi karena ada masalah, siapa yang berwenang untuk menindak, maka belum bisa dilakukan.
Seharusnya memang kerja bersama. Dinas peternakan, DLLAJ dan polisi, harus bersinergi menanganinya. Kan tujuannya juga baik untuk menjaga Yogya bebas rabies. Karena kita tahu, sebagian yang dikirim ke Yogya dari Jawa Barat itu untuk kebutuhan konsumsi.
Berarti dari lobi ke pemerintah sampai sekarang belum ada hasilnya?
Sebenarnya sudah ada rumusan untuk membentuk tim terpadu, tahun 2015. Tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut.
Sejak kampanye 2012, apa sudah tampak ada perubahan?
Kalau dilihat, di Yogya sudah mulai berkurang warung yang jualan sengsu. Mungkin itu dampaknya juga. Fokus kita kan sebenarnya pada edukasi, bagaimana merubat mindset masyarakat. Ini bukan kerja mudah. Seiring dengan makin viralnya kampanye ini, memang beberapa warung tutup. Tapi seandainya segara ada Perda, mungkin akan lebih masif.
Di satu sisi, pemerintah berpikir soal ekonomi masyarakat yang menggantungkan pada jualan sengsu. Tapi kita lihat itu bukan kerjaan utama. Kalau memang mata pencaharian, harusnya tidak bisa dibiarkan. Kan itu sudah jelas melanggar. Anjing bukan termasuk hewan ternak. Masa merampok untuk mata pencaharian juga akan dibiarkan? Melanggar ya melanggar.
Sebenarnya apa yang dikhawatirkan dari konsumsi anjing ini?
Ini jelas menimbulkan keresahan. Sekarang bukannya anjing menjaga orang, tapi anjing yang dijaga orang. Kalau meleng sedikit, anjing sudah pindah ke perut orang lain.
Sebenarnya pemerintah bisa tidak hanya fokus soal anjing, tapi soal makanan yang tidak lazim lainnya. Kan bisa bikin “Perda ASUH”, kalau memang khawatir menimbulkan gesekan antar kelompok. Kalau pakai perda itu, semua perdagangan daging yang tidak lazim bisa dilibas. Ada lho makan monyet di pasar dan tinggal pesan. Ada makanan nggak jelas seperti kelelawar juga bisa dilibas. Tidak melulu daging anjing.
Sudah parahkan konsumsi anjing di Yogyakarta?
Data tahun 2014 menunjukan, ada satu suplier yang setiap minggu menyembelih sekitar 360 anjing. Itu cuma satu suplier. Kalau dikompilasi datanya, ada sekitar 4.500 ekor anjing yang tiap minggu dikonsumsi di yogya.
Apakah AFJ juga membuat shelter untuk menampung anjing dan binatang lainnya?
Nggak, kita nggak bikin itu. Bukan shelter, tapi base camp. Kita nggak mau jadi shelter, nanti pada buang binatang ke tempat kita semua. Selain base camp, kita juga ada di rumah.
Ada berapa anjing di base camp?
Kalau yang di base camp ada 30 anjing. Kucing juga ada. Di rumah kita ada 30-an kucing.
Berapa biaya makan kucing dan anjing? Dari mana duitnya?
Kalau sebulan sekitar Rp20 juta.
Apa pesan untuk masyarakat?
Anjing bukan makanan. Jangan makan teman, makanlah sayuran.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti