tirto.id - Seekor anjing tertunduk lesu di dalam kadang besi berukuran sekitar 3 x 1 meter. Matanya memelas. Perlahan setitik air mengalir dari sudut mata. Begitu kandang dibuka, seorang jagal mengakhiri hidup si anjing dengan kejam. Kepalanya dihantam balok kayu, berkali-kali hingga tewas.
Kejadian sadis itu terjadi di Pasar Ekstrem Tomohon, pada November 2015. Video detik-detik si anjing menemui ajal pun menyebar di Youtube, sempat menjadi viral, sebelum akhirnya dilarang oleh Youtube.
Kejadian seperti itu tentu bukan yang pertama kali. Ada banyak kejadian serupa di berbagai wilayah di Indonesia. Caranya pun bermacam-macam, mulai dari memberi racun sampai membantai anjing dengan kejam.
Berdasarkan catatan Garda Satwa Indonesia, pembantaian terhadap anjing sudah marak sejak 2014. Alasannya beragam mulai dari untuk pencegahan penyakit rabies hingga dikonsumsi. Pemerintah daerah bahkan menyediakan anggaran untuk membeli racun guna memusnahkan anjing.
Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, misalnya, pemerintah daerah menyiapkan racun untuk membunuh 1.500 ekor anjing pada tahun 2014. Di Bali, dikeluarkan kebijakan melakukan eliminasi anjing atas dasar kekhawatiran rabies. Di Bangka Belitung, hal serupa juga dilakukan pemerintah. Pada tahun 2012, pemerintah Babel mengeliminasi 275 ekor anjing untuk alasan yang sama.
“Pemerintah ini mengeliminasi anjing seenaknya. Padahal tidak semua anjing liar itu rabies,” kata Jonatan Wegiq, Koordinator Garda Satwa Indonesia, kepada tirto.id, pada Minggu (9/9/2016).
Bisnis Bernilai Miliaran
Pada kasus lain, anjing tidak dieliminasi dengan alasan seperti yang dikhawatirkan pemerintah. Di beberapa wilayah di timur Indonesia, juga sebagian Jawa dan Sumatera, anjing diburu untuk dikonsumsi manusia. Anjing diperlakukan layaknya hewan ternak seperti sapi, kambing, ayam dan babi, daging anjing.
Khusus di Pulau Jawa, setidaknya ada 12.960 ekor anjing yang dibantai setiap bulan untuk keperluan konsumsi. Penyebarannya pun cukup merata. Dari penelusuran Garda Satwa Indonesia, pada tahun 2015, salah satu warung penjual olahan daging anjing di Solo bisa menghabiskan 40 ekor anjing per hari untuk memenuhi permintaan konsumen.
Bisnis anjing untuk konsumsi memang bisnis yang menggiurkan. Betapa tidak, dari simulasi yang dilakukan oleh Garda Satwa Indonesia, khusus di Solo saja, diperkirakan omzet bisnis ini bisa mencapai Rp 11 miliar per bulan.
Pada 2014, di Solo tercatat terdapat 136 warung khusus yang menyediakan olahan daging anjing. Sebagian besar kebutuhan daging anjing dipasok dari Jawa Barat seperti Tasikmalaya, Cirebon, Pangandaran, Bandung Kabupaten dan Sukabumi.
“Untuk jual beli ini ada alurnya. Ada petani, pengepul, lalu warung. Para pengepul mempunyai jaringan banyak petani anjing. Petani tugasnya mengembangbiakan anjing untuk tujuan konsumsi. Setelah itu, pengepul baru mengirimnya ke warung,” terang Jonatan.
Berdasar penelusuran Garda Satwa Indonesia, seekor anjing indukan dijual oleh petani ke pengepul dengan harga Rp15 ribu per kilogram. Sedangkan untuk anakan dijual Rp75 ribu per ekor.
Selanjutnya dari pengepul dijual ke warung dengan harga Rp20 ribu per kilogram. Pengepul mengambil untung Rp5 ribu per kilogram. Dengan asumsi seekor anjing seberat 10 kilogram, maka pengepul akan mendapatkan untung Rp50 ribu.
Penelurusan Garda Satwa Indonesia, terdapat 27 pengepul di di Tasikmalaya. Seminggu sekali, para pengepul mengirim sekitar 30 ekor anjing ke Solo dan sekitarnya. Artinya dalam sebulan, ada sekitar 3.240 ekor anjing yang mati untuk dikonsumsi. Atau jika dilihat nilainya, sekitar Rp162 juta keuntungan yang diraup oleh 27 pengepul di Tasikmalaya.
Keuntungan berlipat justru ditangguk para pemilik warung olahan daging anjing. Dalam sebulan, sebuah warung di Solo membutuhkan 90 ekor anjing. Jika jumlahnya 136 warung, maka diperkirakan sekitar 12.240 ekor anjing dipotong setiap bulannya. Jika seekor anjing seberat 10 kg dan 1 kg daging bisa menjadi empat porsi masakan seharga Rp25 ribu, maka diperkirakan perputaran uang di bisnis itu mencapai Rp11 miliar per bulan.
Menyelamatkan Anjing
Pembunuhan terhadap anjing atas nama pencegahan rabies ataupun konsumsi, tentu saja mendapatkan penolakan dari para aktivis penyayang binatang. Mereka pun berusaha untuk menyelamatkan anjing-anjing yang bernasib malang ini.
Di Bali, misalnya, sejumlah aktivis pencinta binatang peliharaan pun berkejar-kejaran dengan pemerintah untuk menyelamatkan anjing. Ketika pemerintah akan mengeliminasi karena alasan rabies, para aktivis terjun ke lapangan memberikan vaksin bagi anjing liar.
“Teman-teman di Bali perlawanannya frontal. Anjing liar divaksin, diberi tanda. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melakukan eliminasi,” ujar Jonatan.
Garda Satwa Indonesia memilih cara yang berbeda. Mereka menggandeng pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan edukasi tentang penyakit rabies. Mulai dari tanda-tanda penyakit dan kampanye untuk vaksin binatang.
Sementara terhadap anjing-anjing liar, pemerintah DKI Jakarta didorong menyediakan penampungan. Garda Satwa Indonesia sendiri juga memiliki shelter bagi anjing liar di Depok. Untuk mengurangi jumlah anjing liar, Garda Satwa Indonesia bekerja sama dengan pemerintah menggelar program adopsi.
Cara berbeda dilakukan oleh Animal Friends Jogja (AFJ). Sejak tahun 2012, komunitas penyayang binatang di Yogyakarta itu menggelar kampanye “Dog Are Not Food”. Sejumlah komunitas penyayang binatang pun terlibat dalam kampanye tersebut. Bahkan band kawakan asal Yogyakarta, Shaggy Dog, turut aktif dalam kampanye.
“Kami ingin memberikan edukasi bahwa anjing bukan makanan. Mereka itu adalah teman manusia. Kalau dilihat, anjing itu bukan termasuk hewan ternak. Jadi memang bukan untuk konsumsi,” ungkap Angelina Pane, Koordinator AFJ, pada Senin (12/9/2016).
Angelina membantah jika konsumsi daging anjing berkaitan dengan kebudayaan sejumlah suku di beberapa daerah. Menurutnya, sejak awal anjing adalah binatang domesik yang dipelihara untuk kepentingan berburu.
“Saya orang Batak. Bapak saya dulu makan anjing, sekarang sudah nggak. Di kampung saya , makan anjing memang biasa. Tapi setelah ditelusuri, bukan kebudayaan. Bapak saya cerita, dulu anjing dipakai berburu. Kalau nggak dapat buruan, ya akhirnya anjingnya dimakan,” beber Angelina.
Soal budaya makan daging juga terasa janggal. Sebab faktanya, konsumen daging anjing tertinggi di Indonesia justru di Pulau Jawa, yang sebagain besar penduduknya muslim.
“Padahal kan haram. Itu artinya ini bukan soal kebudayaan. Kita tidak hanya ngomong kalau anjing tidak boleh dimakan. Tapi kami juga edukasi bahwa anjing ini memang tidak sehat untuk konsumsi,” tegasnya.
Satu hal yang penting bagi Angelina, anjing bukan sekadar hewan peliharaan. Lebih dari itu, anjing adalah sahabat manusia. Jadi, siapa yang tega membantai sahabatnya sendiri?
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti