tirto.id - Najis dari anjing termasuk dalam kategori najis mughalladhah atau najis berat. Berbeda dari najis-najis lainnya, jika terkena najis dari anjing, Islam mengajarkan cara mensucikannya ialah dengan dicuci tujuh kali, dan salah satunya menggunakan campuran tanah atau debu.
Landasannya adalah sabda Nabi Muhammad SAW, sebagaimana diriwayatkan Muslim dan Ahmad: "Sucinya wadah salah seorang di antara kalian ketika dijilat anjing adalah dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dicampuri dengan debu,” (H.R. Muslim dan Ahmad).
Oleh karena itu, Ahmad Sarwat dalam Terjemah Matan Al-Ghayah Wa At-Taqrib Al-Qahi Abu Syuja' (2018: 28) menuliskan bahwa suatu tempat yang terkena jilatan anjing harus dibasuh tujuh kali, salah satunya dengan tanah atau debu. Sedangkan najis yang lain cukup dibasuh sekali, namun tiga kali lebih baik.
Lalu, bagian tubuh mana dari anjing yang dianggap najis? Najis anjing berasal dari keseluruhan tubuhnya, bukan dari liur atau jilatannya saja, menurut pendapat mazhab Syafi'i dan Hanbali.
Hal ini dikuatkan dengan hadis lain yang diriwayatkan Daruqathni dan Hakim, bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah diundang ke suatu rumah di kompleks mayarakat, beliau datang. Namun, pada waktu lain, beliau diundang lagi di rumah yang lain, tapi Rasulullah SAW tidak mendatangi undangan tersebut. Kata Rasulullah SAW: “Rumahnya si Fulan ada anjingnya,” Lalu ada sahabat yang berkata pada Nabi, “Itu di rumahnya si Fulan yang ini ada kucingnya, Ya Rasul.” Rasulullah pun menjawab, “Sesungguhnya kucing tidak najis,” (H.R. Daruqathni dan Hakim).
Mengenai cara mensucikan najis anjing, apakah harus benar-benar dengan campuran tanah atau debu, atau apakah boleh digantikan dengan sabun? Terdapat tiga pendapat berkaitan dengan hal ini sebagaimana dijelaskan di laman NU Online sebagai berikut.
Pertama, sebagian ulama tidak membolehkan menggantikan debu atau tanah dengan sabun. Hal ini bersandar pada bunyi tekstual hadis di atas bahwa media yang bisa menghilangkan najis mughalladhah hanyalah air dan debu. Maka, menggantinya dengan sabun tidak menghilangkan kenajisannya, kendati sudah tampak bersih.
Kedua, boleh mengganti dengan sabun, dengan landasan qiyas (analogi), sebagaimana bolehnya mengganti tawas dalam proses penyamakan kulit dengan bahan penghilang kotoran lainnya.
Jika di perkara menyamak boleh digantikan dengan media lainnya, pensucian najis mughalladhah, termasuk najis anjing mestinya boleh diganti dengan sabun, demikian qiyas tersebut.
Demikian juga melalu qiyas dalam media pensucian istinja. Dalam pensyariatannya, media yang digunakan untuk istinja hanyalah air dan batu. Namun, dalam perkembangannya, diperbolehkan menggunakan tisu atau benda apa pun bentuknya, yang penting kesat, bersih, sebagai pengganti batu.
Ketiga, tidak boleh menggunakan sabun untuk mensucikan najis anjing, kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, jika seseorang yang tinggal di apartemen lantai 40 di kota metropolitan, tidak menemukan debu atau tanah di tempat kediamannya. Bahkan, ketika turun pun cuma ada keramik atau bebatuan. Maka, dalam kondisi tersebut, sabun boleh digunakan untuk menggantikan debu dalam mensucikan najis dari anjing.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom