tirto.id - Salah satu jenis najis dalam Islam adalah najis mugholadoh. Jenis najis ini tergolong najis klasifikasi berat yang cara menyucikannya adalah dengan mencucinya dengan air sebanyak tujuh kali, dan salah satu basuhannya menggunakan campuran tanah atau debu.
Jenis-jenis binatang yang termasuk golongan najis mugholadoh adalah anjing dan babi, serta segala hal yang berasal dari keduanya. Rincian kenajisannya merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Tulisan ini juga akan menjelaskan sebagian dari perbedaan pendapat tersebut.
Pemahaman mengenai najis mugholadoh sangat penting bagi keabsahan ibadah seseorang. Pasalnya, ketika seorang muslim mendirikan salat, kemudian ia sadar bahwa ia terkena najis, salatnya dianggap batal dan tidak sah lagi. Ia harus membersihkan najis tersebut, lalu mengulangi lagi salatnya dari awal.
Misalnya, saat sedang sujud, tiba-tiba ia baru sadar bahwa di perjalanan tadi, pakaiannya terkena bulu atau kotoran anjing. Dalam hal ini, salatnya menjadi batal. Ia harus membersihkan najis tersebut, kemudian mengulangi lagi salatnya sedari awal.
Najis yang dapat menyebabkan ibadah tidak sah bisa jadi mengenai atau menempel pada tubuh manusia, tempat maupun pakaian yang akan digunakan untuk beribadah.
Secara umum, Islam membagi najis menjadi tiga kelompok berdasarkan jenisnya, meliputi najis mugholadoh (najis berat), najis mutawassitah (najis sedang), dan najis mukhaffafah (najis ringan).
Dari ketiga jenis tersebut, najis yang paling berat levelnya adalah najis mugholadoh. Tulisan ini berfokus membahas najis jenis tersebut beserta cara menyucikannya dalam Islam.
Jenis Najis Mugholadoh dan Cara Membersihkannya
Najis mugholadhoh merupakan salah satu dari tiga jenis najis dalam Islam. Najis mugholadoh adalah najis yang paling berat dan cara menyucikannya paling sulit dibanding dua jenis najis lainnya.
Jenis suatu hal yang termasuk najis mugholadoh adalah anjing dan babi, serta segala sesuatu yang berasal dari dua binatang tersebut, mulai dari kotoran, bulu, dan sebagainya.
Dalil najisnya anjing tertera dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Sucinya wadah salah seorang di antara kalian ketika dijilat anjing adalah dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dicampuri dengan debu,” (H.R. Muslim dan Ahmad).
Selanjutnya, apakah semua bagian tubuh anjing dan babi itu najis atau sekadar air liur dan kotorannya saja?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini sebagai berikut:
Pertama, menurut ulama mazhab Syafi'i dan Hanbali, najis anjing atau babi berasal dari keseluruhan tubuhnya.
Siapa pun yang terkena salah satu bagian dari anjing atau babi, baik itu kulit atau bulunya harus dibersihkan agar tidak najis.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Daruquthni dan Hakim, bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah diundang ke suatu rumah di kompleks masyarakat, beliau datang.
Namun, pada waktu lain, beliau diundang lagi di rumah yang lain, tapi Rasulullah SAW tidak mendatangi undangan tersebut. Kata Rasulullah SAW: “Rumahnya si Fulan ada anjingnya.”
Lalu ada sahabat yang berkata pada Nabi, “Itu di rumahnya si Fulan yang ini ada kucingnya, Ya Rasul.” Rasulullah pun menjawab, “Sesungguhnya kucing tidak najis,” (H.R. Daruquthni dan Hakim).
Kedua, menurut ulama mazhab Maliki, untuk kasus anjing, hanya air liurnya yang najis, sedangkan tubuhnya suci.
Jika terkena air liur anjing, barulah dicuci 7 kali, salah satunya dengan debu. Adapun jika hanya menyentuh anjing, tidak dianggap najis, baik itu anjing pemburu, anjing penjaga, peliharaan, dan sebagainya.
Selanjutnya, dikutip dari “Tiga Macam Najis dan Cara Menyucikannya” yang ditulis Yazid Muttaqin di NU Online, cara menyucikan najis mugholadoh adalah sebagai berikut:
1. Jika terkena kotoran babi atau anjing atau bulunya, bersihkan dulu najis tersebut. Hilangkan kotoran atau bulu anjing atau babi.
2. Cuci dengan air sebanyak 7 kali
3. Salah satu basuhannya diusap dengan menggunakan tanah atau debu.
Pertanyaannya, di zaman sekarang, apakah boleh menggantikan cara pencucian najis mugholadoh dengan sabun, alih-alih menggunakan tanah atau debu? Terdapat tiga pendapat berkaitan dengan hal ini sebagaimana dijelaskan di laman NU Online sebagai berikut.
Pertama, sebagian ulama tidak membolehkan menggantikan debu atau tanah dengan sabun. Hal ini bersandar pada bunyi tekstual hadis di atas bahwa media yang bisa menghilangkan najis mugholadoh hanyalah air dan debu.
Maka dari itu, menggantinya dengan sabun tidak menghilangkan kenajisannya, kendati sudah tampak bersih.
Kedua, boleh mengganti dengan sabun, dengan landasan qiyas (analogi), sebagaimana bolehnya mengganti tawas dalam proses penyamakan kulit dengan bahan penghilang kotoran lainnya.
Jika di perkara menyamak boleh digantikan dengan media lainnya, penyucian najis mugholadoh, termasuk najis anjing mestinya boleh diganti dengan sabun, demikian qiyas tersebut.
Sama halnya juga melalui qiyas dalam media penyucian istinja. Dalam pensyariatannya, media yang digunakan untuk istinja hanyalah air dan batu. Namun, dalam perkembangannya, diperbolehkan menggunakan tisu atau benda apa pun bentuknya, yang penting kesat, bersih, sebagai pengganti batu.
Ketiga, tidak boleh menggunakan sabun untuk mensucikan najis anjing, kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, jika seseorang yang tinggal di apartemen lantai 40 di kota metropolitan, tidak menemukan debu atau tanah di tempat kediamannya. Bahkan, ketika turun pun cuma ada keramik atau bebatuan. Maka, dalam kondisi tersebut, sabun boleh digunakan untuk menggantikan debu dalam mensucikan najis dari anjing.
Editor: Addi M Idhom