tirto.id - Haji Misbah Muchtar sudah hafal dengan periode banjir di kampungnya, Cawang Atas, Jakarta Timur. Saban musim hujan ia sudah mengira air sungai Ciliwung pada saat-saat tertentu bakal meluap di belakang kampung dia. Jika hujan deras di Jakarta dan di Bogor, lalu debit air naik di Bendung Katulampa, saat itulah perkiraannya terbukti.
Minggu pagi, 4 Februari lalu, tanda-tanda itu sudah bulat. Sebagai ketua rukun warga, ia segera mengontak orang-orang dari kelurahan, kecamatan, dan tim evakuasi (SAR) untuk mengatur segalanya dan bersiap mengantisipasi banjir. Warga sudah diperingatkan. Beberapa di antara mereka memilih mengungsi sebelum banjir melanda.
Menjelang malam air mulai naik dan menggenangi jalan. Puncaknya, pukul 8 malam, air memasuki rumah warga. Rumah Haji Misbah, terletak di atas permukaan tanah yang agak tinggi, juga dirayapi banjir setinggi lutut orang dewasa.
“Ini sudah tahunan," kata pria 64 tahun itu. "Ada juga siklus lima tahunan Ciliwung, biasanya besar."
"Tahun 2007 itu yang paling besar," tambahnya, merujuk peristiwa banjir yang menewaskan 80 orang, bikin 340.000 orang kehilangan rumah, menyebabkan kerugian sekitar Rp8,8 triliun; gelombang banjir terburuk dalam ingatan orang-orang Jakarta.
Banjir tahun ini, yang menerjang kampung Haji Misbah dan wilayah-wilayah lain di sekitar sungai Ciliwung, selalu bermula dari satu mata air kecil, berjarak sekitar 70 km di selatan Jakarta.
Nama mata airnya adalah Ciliwung, sebagaimana nama sungainya, terletak di desa Tugu Utara, Cisarua, Kabupaten Bogor. Mata air ini yang menjadi hulu sungai Ciliwung. Panjang sungai ini 130 kilometer, satu dari tiga belas sungai yang membelah Ibu Kota, bermuara di Sunda Kelapa, perairan Teluk Jakarta.
Sekilas, hulu Ciliwung baik-baik saja. Airnya jernih dan segar. Namun, di sekitarnya, hutan mulai rusak.
Di atas hulu Ciliwung terdapat Taman Wisata Alam Telaga Warna seluas 5 hektare. Taman ini dikelola PT Lintas Daya Kreasi, bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Perusahaan ini dimiliki Hari Darmawan, pendiri toko jaringan ritel Matahari Department Store. Darmawan juga pemilik PT Taman Wisata Matahari di Cilember, Cisarua.
Resort di Taman Wisata Alam Telaga Warna, padahal daerah ini termasuk kawasan lindung Puncak. Tirto/Bhaga
Di taman wisata itu perusahaan mendirikan sembilan resort dan sebuah restoran, tepat di pinggir telaga. Ada pula beberapa resort yang masih dalam proses pembangunan.
Tepat di bawah hulu Ciliwung ada restoran Melrimba. Di belakangnya mata air mengalir. Beberapa meter dari restoran terlihat sampah menyangkut sepanjang aliran Ciliwung.
Kondisi itu tentu miris mengingat daerah tersebut adalah bagian yang ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional. Penetapan ini tertuang dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional.
Dalam Perpres No. 54/ 2008 bahkan menegaskan daerah Kecamatan Cisarua adalah kawasan lindung yang jadi prioritas program rehabilitasi dan revitalisasi. Artinya, kawasan ini menjadi penyangga kelestarian lingkungan hidup, mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Forest Watch Indonesia, organisasi lingkungan berbasis di Bogor, mencatat 5,7 ribu hektare hutan alam di Kawasan Puncak lenyap selama 2000-2016. Kini total hutan alam di wilayah hulu daerah aliran sungai Ciliwung hanya tersisa 21 persen.
Longsornya Kebun Teh
Sewaktu banjir melanda kampung Cawang Atas, hulu Ciliwung diguyur hujan deras. Sejak Minggu siang hingga Senin dini hari, 5 Februari silam, hujan mengguyur kawasan tersebut.
Dasim, yang bekerja di kebun teh dan terlibat dalam komunitas pencinta Ciliwung, mulai cemas. Ia membatin pasti akan ada longsor.
Ketakutan Dasim wajar belaka. Kampung dia, bernama Cibulao, terletak di tengah-tengah kebun teh, dekat Telaga Saat, sekitar 1 km dari Telaga Warna dan hulu Ciliwung. Ladang kebun teh itu sejak dua tahun silam mulai anjlok.
“Sekitar 60 sentimeter sampai 1 meter per tahun,” kata pria 26 tahun itu.
Jika hal ini terus terjadi, kata dia, bukan tak mungkin longsor bakal menggulung kampungnya.
Perkiraannya benar. Pada Senin pagi, lahan kebun teh longsor. Untungnya, lokasinya jauh dari kampung dia dan kejadian longsor itu dalam skala kecil.
Namun, di lereng Kampung Cibulao, ada kebun teh yang longsor besar. Luasnya sekitar dua hektare; lebih besar dari delapan titik longsor di tepi jalur Puncak yang bikin jalan itu ditutup.
Longsor di areal perkebunan teh Cibulao, dalam ingatan warga, terbesar selama beberapa tahun terakhir. Tirto/Bhaga
Beberapa hari setelah longsor, Dasim dan Karyono, juga warga Cibulao, segera memeriksa lokasi itu di kebun teh. Mereka menemukan lebih dari lima titik longsor dan lebih dari sepuluh retakan tanah. Mereka menandai koordinat lokasi retakan lalu memberikannya kepada pemerintah daerah.
“Retakan itu sudah ada sejak gempa kemarin," kata Dasim merujuk gempa Banten, 23 Januari lalu. "Ini kalau hujan lagi seperti kemarin, pasti akan longsor,” tambah dia.
Karyono tak habis pikir atas kejadian longsor di kebun teh itu. Warga sudah berupaya melakukan penghijauan di kawasan tersebut, tetapi hasilnya nihil. Penghijauan rupanya tak sebanding laju konversi hutan menjadi perkebunan sayur dan kebun menjadi vila. Semua ini mengurangi daerah resapan air di hulu Ciliwung.
“Kebun teh itu kemarin seperti rawa, terendam air. Itu berarti tanah sudah tidak bisa lagi menyerap air. Ini masalahnya,” ujar Karyono.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, hulu Ciliwung memang terus-menerus dieksploitasi. Pada 2009 ada 879,81 ha hutan lindung justru menjadi perkebunan; 337,61 ha hutan konservasi juga menjadi perkebunan; 322,37 ha hutan lindung menjadi tegalan; dan 53,67 ha hutan konservasi juga berubah jadi tegalan.
Deforestasi di Puncak, kawasan Gunung Pangrango, menurut Forest Watch Indonesia, telah mencapai 66 kali luas Kebun Raya Bogor.
Banjir di Sukatani
Untuk pertama kali dalam hidup, Haji Ujang Yahya melihat aliran sungai Ciliwung meluap di depan rumahnya di Sukatani, sekitar 18 kilometer dari Kampung Cibulao. Senin pagi, saat kejadian longsor di areal kebun teh, pada saat bersamaan pula air deras datang membawa batu-batuan dan menutup aliran sungai, lalu meluap ke jalan Kampung Sukatani.
Arus sungai itu merayapi jalan beton yang dibangun warga setinggi mata kaki, bukan melintasi gorong-gorong di bawah jembatan. Posisi rumah Haji Ujang persis di depan sungai, sekitar sepuluh langkah saja. Sementara jarak rumahnya dari hulu Ciliwung sekitar 3 km. Sampah-sampah plastik tersangkut di badan sungai. Saat air meluap, sampah-sampah itu seketika terangkut ke badan jalan.
Di sekitar rumah Haji Ujang adalah vila, vila, vila, dan vila. Di sebelah warung dia ada vila besar yang telah dibongkar oleh pemerintah Kabupaten Bogor pada 2013 karena menyalahi izin. Mendongak ke arah tebing dari rumah Ujang ada dua vila yang pernah dibongkar. Belakangan, salah satunya dibangun kembali.
“Di sini daerah resapan air. Memang tidak boleh dibangun vila," kata Haji Ujang. "Kalau sekarang ada, ya bisa dicek saja izinnya."
Ujang telah beberapa kali memperingatkan kepada orang-orang yang membangun vila. Misalnya vila tiga lantai di dekat warung dia. “Kalau mau bangun," kata Haji Ujang kepada si pemilik vila, "lebih baik disediakan tempat untuk daerah resapan air.”
Namun, tegurannya tak digubris. Sejak itu, karena capek mengingatkan, ia tak peduli lagi.
“Suatu hari, pasti ada masalah," ia menguji waktu. "Bisa longsor, apalagi kalau kamar vila itu dipakai buat tempat maksiat." Haji Ujang terkekeh.
Maka terjadilah longsor. Senin pagi, sewaktu hujan dalam masa deras, sungai Ciliwung mengamuk, menelan beberapa vila.
Pohon-pohon terbawa longsor, menimbun sebuah vila di Cisuren. Tirto/Bhaga
Misalnya di Pondok Sepuluh, sebuah kampung yang padat penduduk di hulu Ciliwung tempat vila dan rumah warga mepet sungai, yang bikin badan kali menyempit. Longsor menyeret dua mobil milik warga dan pengunjung vila ke sungai. Toh, meski baru saja dilanda longsor, masih ada saja aktivitas pembangunan vila-vila baru.
Haji Ujang, pria 54 tahun, menyaksikan perubahan di kawasan hulu Ciliwung tersebut. Pada 1997, saat ia pindah ke Sukatani, di sekelilingnya masih hutan dan kebun teh. Hanya ada segelintir rumah semi permanen milik pekerja kebun teh.
Berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia, pada 2009, ada 626,40 ha lahan pertanian kering berubah menjadi permukiman; 361,94 ha perkebunan menjadi permukiman; 321,69 ha hutan lindung menjadi permukiman; dan 71,10 ha hutan konservasi menjadi permukiman. Perubahan ini terjadi di kawasan hulu Ciliwung, termasuk di Sukatani.
“Sekarang vila semua," kata Haji Ujang, merepet. "Jadinya hutan beton."
Air Bah di Citamiang
Saat sungai Ciliwung membanjiri Sukatani, sungai Citamiang tak kalah ganas menerjang bumi perkemahan Nuansa Alam Citamiang. Sungai ini berhulu di Telaga Saat, dekat kampung Cibulao tempat terjadi longsor di kebun teh. Nantinya sungai Citamiang bertemu sungai Ciliwung di Jalan Raya Puncak km 85, tepat di belakang resto ayam goreng cepat saji KFC Puncak.
Senin, sekitar pukul 8 pagi, 5 Februari lalu, Taufik tengah menyiapkan kursi-kursi di bumi perkemahan Nuansa Alam Citamiang. Taufik adalah pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan Puncak Lestari, organisasi pengelola perkemahan, yang bekerjasama dengan Perhutani. Rencananya esok pagi mereka meluncurkan gerakan menanam lima ribu pohon.
Namun, mendadak, aliran sungai Citamiang menderas dan meluap ke areal perkemahan, cuma beberapa meter dari bibir sungai. Tanah di kawasan hulu rupanya tak sanggup lagi menyerap genangan air, langsung turun ke sungai. Dalam hitungan menit, bumi perkemahan Citamiang luluh lantak.
Areal perkemahan di wisata alam Citamiang. Warga menyebut banjir di sini bak "air bah." Tirto/Bhaga
“Di atas itu seperti ada yang menghambat air, tiba-tiba jebol, langsunglah banjir di sini seperti air bah,” kata Taufik.
Peristiwa macam ini baru kali pertama di Citamiang. Sebelumnya, meski hujan deras, sungai tak pernah meluap.
Endang, Kepala Resor Pemangku Hutan Perhutani di Citamiang, berkata kepada saya bahwa institusinya emoh menyalahkan siapa pun terkait banjir di Citamiang. Menurutnya, banjir itu hanya masalah debit air hujan yang "tidak seperti biasanya."
“Ini memang kita harus kerja bersama," kata pria yang disapa "Pak Mantri" tersebut, mencontohkan langkah mereka bikin program penghijauan tapi keburu diterjang banjir.
Debit air hujan yang besar bisa jadi salah satu faktor banjir di Citamiang, tetapi ia bukan faktor penyebab. Pada 2017, Forest Watch Indonesia merilis peta kawasan hulu Ciliwung. Memperlihatkan deforestasi selama 2013 -2016 di kawasan hutan Perhutani.
Ketika saya datang ke sana pada Selasa pekan lalu, 13 Februari, di balik hutan Perhutani itu—terletak di sisi utara perkemahan—berdiri banyak vila; kebun teh di sisi timur Citamiang; dan deretan vila lagi di sebelah selatan, salah satunya vila Puncak Bungalow—yang terbesar. Ke arah barat, Anda sudah melihat ada banyak permukiman warga.
Bantaran kali ambles di petak samping sebuah vila di Cisuren. Tirto/Bhaga
Longsor Menimbun Vila di Cisuren
Namun, lebih dari peristiwa banjir di Cibulao, lebih dari Sukatani, lebih dari Citamiang, Anda bisa melihat dampak tindakan manusia terhadap lingkungan yang lebih telanjang di Cisuren.
Di kampung ini kerusakannya paling parah. Dua vila digulung longsor. Dua jembatan vila roboh. Jalan yang menghubungkan Cisuren dan Citamiang terputus.
Kampung Cisuren dilintasi dua sungai: Cisampay dan Citamiang. Sepanjang tepi sungai berderet vila, besar maupun kecil, dan beberapa di antaranya ada yang mepet tepi sungai. Arus dua sungai itu menggila usai hujan seharian di kawasan Puncak pada Minggu, 4 Februari lalu.
Daerah ini adalah salah satu tempat semula vila dibangun. Ada banyak vila tua tak terurus. Sebagian berdiri di pinggir tebing curam dan rawan longsor. Permukiman warga berjejer di dekat pinggir jalan raya, agak aman dari ancaman longsor.
Midi, ketua rukun tetangga setempat, mengatakan longsor kali ini yang terbesar di Cisuren. Dulu, ujar Midi, longsor "cuma kecil dan tidak berbahaya." Baru kali ini pula ada dua vila yang sampai tertimbun longsor.
Longsor dan banjir di Cisuren menjadi perkara terang seiring luasnya kerusakan hutan dan hilangnya daerah resapan air di Kecamatan Cisarua. Dalam catatan Forest Watch Indonesia, hutan di lokasi yang berubah jadi warna-warni wahana wisata ini telah lenyap seluas 1.188,78 hektare. Dari peta lembaga lingkungan tersebut, sebagian besar deforestasi terjadi di daerah Batu Layang, Warung Kaleng, dan Cisuren.
Peta Besar Kerusakan Hutan
Peristiwa-peristiwa yang kerap salah kaprah disebut "bencana alam" di empat lokasi tersebut, yang terjadi dalam satu hari pada 5 Februari lalu, adalah "pucuk dari gunung es" masalah di kawasan hulu Ciliwung. Masalah terbesarnya adalah kerusakan kronis kawasan hulu Ciliwung.
Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia berkata kepada saya bahwa kerusakan kawasan ini "sudah terjadi sejak lama dan dibiarkan terus." Ia mencontohkan soal hilangnya kawasan hutan. Alih fungsi hutan menjadi kebun lalu kebun menjadi permukiman dan vila masih bisa dilihat hingga kini.
Anggi menyebut angka-angka yang berubah dalam rentang tahun. Semula total luas daerah aliran sungai Ciliwung sekitar 39.000 hektare, dan 29.000 hektarenya berada di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data lembaganya, luasan hutan ini sudah berkurang hingga sekitar 5.000 hektare sepanjang 2000-2009.
“Sekarang kehilangan hutannya sudah lebih dari 66 kali luas Kebun Raya Bogor,” kata Anggi, menyebut kembali angka 5,7 ribu hektare hutan alam di Kawasan Puncak yang telah lenyap.
Paling banyak, kata Anggi, kehilangan hutan terjadi di Cisarua dan Megamendung, masing-masing 1.188 ha dan 1.116,85 ha.
Longsor di Cisuren memutus jalan yang menghubungkan ke Kampung Citamiang. Tirto/Bhaga
Maka, kita menemukan logika seterang langit: kehilangan hutan adalah kehilangan daerah resapan air. Buntutnya adalah dampak kerusakan di kawasan hulu dan hilir: rentetan longsor, gelombang banjir.
Juga soal sampah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan pada akhir tahun lalu bahwa setiap hari ada sekitar 7.000 ton sampah dibuang di Sungai Ciliwung, dari hulu hingga hilir.
Di hari banjir pada awal Februari kemarin, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Jakarta mengangkut 200 ton sampah yang meruap di Pintu Air Manggarai. Sehari berikutnya, pekerja dinas mengangkut 1.596 ton sampah. Sampah-sampah ini hanyut sejak dari Bendung Katulampa, Bogor.
Anggi Putra Prayoga menambahkan perkara penting dari menyusutnya luas hutan: ketersediaan air di Puncak.
"Warga bisa kekeringan,” tambah dia.
Kekeringan ... Anda tentu tak ingin anak-cucu Anda mengalami krisis air bersih sebagaimana telah melanda kawasan utara Jakarta—nun di hilir sungai Ciliwung.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam