tirto.id - Pemprov DKI Jakarta membuka kemungkinan kembali melakukan penggusuran terhadap warga yang tinggal di bantaran sungai. Peluang tersebut disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno merespons banjir yang terjadi di ibu kota, Senin lalu.
Sandiaga melandaskan pernyataannya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Menurut dia, beleid itu memberi keleluasaan bagi pemerintah untuk menggusur warga demi proyek yang berpengaruh terhadap kepentingan umum dan negara.
“Sengketa [soal lahan] tersebut ada di pengadilan dan lahan langsung diarahkan ke pemda (setelah kesepakatan ganti rugi)” kata Sandiaga, di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (8/2/2018).
Pada Pasal 5 UU 2/2012 tertulis “Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
Pernyataan itu berbeda dengan argumen Sandiaga sebelumnya. Pada Kamis pagi, sebelum membuka peluang penggusuran, Sandiaga masih kukuh pada pendiriannya untuk memindahkan warga di bantaran setelah berdialog dengan mereka.
Keinginan Sandiaga memindahkan warga setelah ada dialog juga sempat disampaikan pada Rabu (7/2) kemarin. “Kami akan lihat daerah mana yang bisa kami normalisasikan dengan program yang merangkul warga,” kata Sandiaga di Gedung Jakarta Creative Hub, Jakarta Pusat, seperti dikutip Antara.
Kebutuhan lahan untuk normalisasi sungai di DKI Jakarta kembali jadi sorotan setelah terjadinya banjir di beberapa daerah ibu kota sejak Senin (5/2/2018). Perhatian diberikan karena normalisasi dianggap terbentur dengan komitmen Anies-Sandi yang enggan melakukan relokasi semena-mena.
Dikutip dari laman resmi tim kampanye Anies-Sandi, pimpinan ibu kota itu berjanji akan menyediakan rumah dan kesempatan kerja baru terlebih dulu untuk warga di bantaran kali, sebelum melakukan pemindahan. Anies dan Sandi tak mau sekadar menggusur warga ibu kota tanpa memberi kompensasi.
Setelah banjir menerjang ibu kota, Anies ternyata enggan membicarakan persoalan normalisasi sungai. Ia berdalih masih fokus menangani korban banjir. Prioritas Pemprov DKI, kata Anies, ada di penanganan korban, bukan normalisasi.
“Dalam situasi seperti sekarang paling tepat adalah bicara tentang menyelamatkan pengungsi, memastikan bisa kembali. Ini prioritasnya,” kata Anies, di Balai Kota Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Pemerintah Harus Tegas
Dalam konteks ini, Pemprov DKI Jakarta diharapkan tegas saat menangani persoalan banjir. Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan, Anies Baswedan dan Sandiaga sebenarnya bisa memberi pilihan sederhana untuk warga yang tinggal di bantaran. Pilihan itu adalah relokasi atau tidak.
“Kalau warga mau seperti itu [tidak relokasi] apakah siap tahun-tahun berikutnya menghadapi bencana yang sama? Ada persoalan lingkungan yang harus dihadapi setiap tahun,” kata Yayat kepada Tirto.
Agar warga mau direlokasi, kata Yayat, Pemprov DKI harus meyakinkan mereka ihwal keberadaan hidup yang lebih baik di lokasi tujuan. Anies dan Sandiaga diharap punya konsep jelas untuk mengatasi kekhawatiran warga.
Pengajar di Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti ini juga menganggap, relokasi sebagai satu-satunya solusi agar proyek normalisasi sungai di DKI tuntas. Menurut dia, tanpa pemasangan tanggul di sisi sungai maka potensi banjir akan tetap menghantui warga ibu kota.
“Lihat banjirnya itu lokal atau banjir dari daerah atasnya [Bogor]. Kalau banjirnya besar, kan, Jakarta ada dongeng hidrologis: 'air akan tetap ke Jakarta.' Kalau tetap mau seperti itu, ya silakan, mari kita nikmati banjir. Kalau enggak, mari hindari banjir dengan cara yang sudah ada, bekerja berdasarkan rencana, tindakan, dan program,” kata Yayat.
Yayat menambahkan, pembuatan sumur resapan atau penanaman tanaman di bantaran kali ibu kota tak akan mengurangi potensi banjir akibat kiriman air dari Bogor. Menurut dia, meski penghijauan dilakukan, air akan tetap mengalir deras ke ibu kota melalui sungai yang hulunya di Jawa Barat.
"Ini air limpahan dari atas yang harus ditanggul dengan sistem normalisasi. Air tetap akan tumpah. Bagaimana cara menahan air? Ya ditanggul sungainya,” kata Yayat.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jarot Widyoko menyatakan, normalisasi Sungai Ciliwung dan pembangunan sodetan Kanal Banjir Timur (KBT) bisa menjadi solusi mencegah banjir di Jakarta. Tapi, dia mencatat dari target normalisasi aliran sungai Ciliwung sepanjang 33 kilometer baru terlaksana 16 km.
Selain itu, kata dia, pembangunan dua bendungan di Bogor juga bisa menjadi solusi pencegahan banjir Jakarta dari wilayah hulu. “Dua bendungan itu adalah Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang sekarang mulai dalam proses, bendungan ini digunakan untuk mengurangi banjir yang akan ditargetkan akan selesai pada 2019 mendatang,” kata Jarot dalam konferensi pers di Kantor BMKG sebagaimana dilansir laman resmi lembaga itu.
Kesediaan Warga Direlokasi Asal Ada Kompensasi
Namun demikian, rencana Pemprov DKI melanjutkan normalisasi sungai tentu akan berdampak pada warga yang tinggal di bantaran. Salah satu contoh kawasan yang akan terdampak adalah Kampung Arus, Jatinegara, Jakarta Timur.
Kampung Arus merupakan wilayah yang berada di bantaran Sungai Ciliwung. Daerah itu menjadi wilayah langganan banjir. Setiap tahun, banjir minimal setinggi 20-30 centimeter pasti mendatangi warga yang tinggal di sana.
Zainal (42), warga asli Kampung Arus, berkata bahwa banjir kerap datang jika hujan deras melanda Bogor. Penduduk di Kampung Arus katanya sudah terbiasa mendengar kabar siaga jika hujan mengguyur kawasan hulu Ciliwung.
“Banjir di sini setiap tahun biasanya sedengkul. Kalau yang lima tahunan ini tinggi, sampai atap rumah," kata Zainal di Posko Pengungsian Kampung Arus, Jakarta.
Ia mengaku siap dipindahkan dari kawasan rumah yang telah ditempati sejak lahir. Menurut dia, pindah menjadi pilihan paling masuk akal untuk menghindari bencana banjir musiman.
Meski menyatakan siap pindah dari rumahnya, Zainal berharap ada kompensasi yang diberikan Pemprov DKI Jakarta kepada warga. Ia mengaku siap mengubah pilihan dan enggan pindah jika tak ada kompensasi layak dari pemerintah untuk warga yang hendak direlokasi.
"Sebetulnya kalau rusun itu saya kurang minat. Saya mendukungnya dikasih duit saja, jadi kita bisa cari rumah yang murah. Kalau rusun, kan, kita tetap saja bayar bulanannya kan," kata Zainal.
Ayah dari tiga anak itu merupakan 1 dari 20 lebih Kepala Keluarga yang memiliki lahan di Kampung Arus. Total ada 40 KK yang hidup di daerah tersebut, namun tak semuanya memiliki lahan serta tempat tinggal sendiri.
Opsi pemindahan ke rusun bagi warga terdampak proyek normalisasi sungai di DKI Jakarta dianggap bukan jalan tengah memecahkan masalah banjir dan kebutuhan hidup masyarakat. Menurut Zainal, pemindahan ke rusun berdampak pada banyak hal; mulai dari semakin jauhnya akses menuju sekolah hingga kekhawatiran tidak adanya mata pencaharian di lokasi baru.
"Kalau dikasih uang, kan, bisa buat modal. Sudah gitu rusun kan jauh-jauh seperti di Rawa Bebek itu, jadi susah mau kerja," ujar pria yang sehari-harinya menjadi buruh serabutan itu.
Pendapat agak berbeda disampaikan Nur (36), warga terdampak banjir di Kampung Arus. Ia mengaku siap tanpa syarat apapun jika Pemprov DKI memutuskan menggusur warga di bantaran Sungai Ciliwung. Kesiapan muncul lantaran Nur hanya berstatus sebagai pengontrak rumah di sana.
"Banjir bikin terhambat semua nih, makanya banjir begini bukannya senang, sengsara jadinya," kata Nur.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz