Menuju konten utama

Ancaman Penyakit Mengintai Korban Banjir, Apa Langkah Pemprov DKI?

Waspadai ancaman leptospirosis, diare, dan chikungunya.

Ancaman Penyakit Mengintai Korban Banjir, Apa Langkah Pemprov DKI?
warga korban banjir mengungsi di Kantor Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (7/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Banjir akibat luapan Sungai Ciliwung masih merendam sejumlah pemukiman di Jakarta Timur dan Selatan, pada Rabu (7/2/2018). Air dengan ketinggian 10-180 sentimeter itu juga diprediksi akan berlanjut beberapa hari ke depan seiring tingginya intensitas hujan yang mengguyur Jakarta dan Bogor.

Saat ini, ribuan warga ibu kota terpaksa mengungsi lantaran banjir yang menggenani rumah mereka sejak Senin kemarin. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, banjir meliputi 141 RT dan 49 RW di 20 kelurahan pada 12 kecamatan di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.

Sementara berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyebabkan 11.450 jiwa terdampak banjir pada Selasa (6/2/2018) siang. Sementara itu, sebanyak 6.532 jiwa pengungsi yang tersebar di 31 titik pengungsian di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Banjir yang menggenangi sejumlah daerah di ibu kota ini memiliki dampak yang besar pada manusia dan otomatis meningkatkan ancaman sejumlah penyakit menular. Kondisi ini membuat warga yang tinggal di kawasan yang terendam air agar selalu waspada.

Dokter spesialis Infeksi dan Tropiks di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (RS MMC), Erni Juwita Nelwan mengingatkan adanya ancaman penyakit yang mengintai puluhan ribu jiwa yang saat ini terdampak banjir. Beberapa yang kerap menjangkiti para pengungsi, kata Erni, antara lain seperti leptospirosis, infeksi pernapasan dan diare.

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri leptospira yang dibawa oleh hewan-hewan tertentu. Bakteri ini dapat masuk ke tubuh manusia ketika meminum air yang terkontaminasi, misalnya sehabis banjir.

“Gejalanya seperti demam, meriang, muntah-muntah. Bisa juga iritasi pada bagian mata,” kata Erni saat dihubungi Tirto, Rabu (7/2/2018).

Namun, kata Erni, leptospirosis ini tidak memiliki gejala-gejala yang signifikan, sehingga sulit untuk terdiagnosis dan biasanya baru diketahui dalam waktu 1-2 minggu.

Sementara infeksi pernapasan, bisa diakibatkan oleh Respiratory Syncytial Virus (RSV) atau virus pernapasan yang memasuki tubuh pengungsi melalui mata, hidung atau mulut. Virus ini biasanya menyebar dengan mudah melalui batuk atau bersin yang mengandung sekret infeksius.

“Bisa juga melalui kontak langsung, bisa juga bahkan lewat berjabat tangan,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 5 September 1977 ini.

Sementara itu, ancaman penyakit diare, kata Erni, terkait dengan sulitnya akses terhadap air bersih. “Jadi kalau mereka makan, apalagi makannya kurang bersih, itu gampang sekali terkena diare.”

Untuk mencegah penyakit-penyakit tersebut, Erni menyarankan agar Pemprov DKI menyiapkan fasilitas pengungsian yang layak. Sebab, jika warga dibiarkan mengungsi dalam kondisi lingkungan yang kotor, maka penyakit-penyakit itu akan muncul dalam skala yang masif.

“Kalau bisa dilengkapi dapur umum dan akses terhadap air bersih,” kata perempuan yang pada tahun 2017 mendapatkan gelar PhD dari Radboud University Nijmegen, Belanda ini.

Menanggapi ancaman penyakit yang akan timbul usai musibah banjir di ibu kota ini, Gubenur DKI Jakarta, Anies Baswedan mewanti-wanti agar Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD) menjamin ketersediaan suplai makanan dan obat-obatan bagi para pengungsi.

Saat meninjau banjir di Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, misalanya, Anies meminta dapur umum menyediakan makan tiga kali sehari bagi para pengungsi.

Selain itu, Anies juga menginstruksikan Dinas Lingkungan Hidup untuk menyediakan toilet umum dan fasilitas air bersih untuk warga di lokasi tersebut. Namun, dari pantauan Tirto di lokasi pengungsian, di Pejaten Timur, pada Selasa (6/2/2018) toilet umum bagi para pengungsi tersebut belum terealisasi.

Untuk mengakses air bersih, para pengungsi menggunakan toilet yang ada di SMP Negeri 46 Jakarta dan beberapa rumah warga di sekitar pemakaman Kober Pagujaten, Jakarta Selatan.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Koesmedi Priharto mengatakan instansinya telah berkoordinasi dengan puskesmas-puskesmas di wilayah banjir. Menurut dia, Dinkes juga membangun posko-posko kesehatan dengan persediaan obat-obatan yang cukup di beberapa titik banjir. Di posko tersebut, kata dia, 3 orang dokter berjaga secara bergantian.

“Kalau banjirnya kurang dari 6 jam kemudian, tidak ada pengungsian, kesehatan dimonitor dengan Puskesmas. Tapi kalau lebih dari 6 jam dan ada pengungsian, maka dibuat posko kesehatan 24 jam,” kata Koesmedi, Rabu (7/2/2018).

Hal tersebut, kata dia, merupakan langkah preventif terhadap kemungkinan munculnya penyakit akibat banjir, seperti leptospirosis, diare, dan chikungunya. Namun, hingga saat ini, kata dia, dirinya belum memiliki data berapa jumlah penderita penyakit tersebut di lokasi-lokasi banjir.

“Belum ada peningkatan dan laporan. Mungkin karena baru sehari,” kata dia.

Koesmedi menambahkan “tapi kalau ada penyakit itu, dan belum tertangani, kami sarankan cepat-cepat saja ke Puskesmas. Karena kan sudah UHC (Universal Health Coverage). Sudah 35 persen jaminan kesehatan.”

Koesmedi menyampaikan, langkah-langkah penanganan pascabanjir seperti kaporitisasi air, lisolisasi (penyemprotan untuk menghindari leptospirosis), dan larvasidasi (pemusnahan larva), juga telah dilakukan.

"ini kita lakukan bersama Dinas Lingkungan Hidup karena ada anggota PPSU dan Dinas Damkar untuk penyemprotan," kata dia.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani