Menuju konten utama

Penyebab Longsor Puncak: dari Tata Ruang hingga Alih Fungsi Hutan

Forest Watch Indonesia menemukan hampir 50 persen kawasan hutan lindung tidak berupa hutan, sebagian sudah dijadikan tempat wisata ataupun permukiman.

Penyebab Longsor Puncak: dari Tata Ruang hingga Alih Fungsi Hutan
Hujan deras yang mengguyur kawasan Puncak Kabupaten Bogor membuat sejumlah pohon tumbang, tiang listrik roboh, dan tanah longsor pada Senin (5/2/2018). Humas BNPB/Sutopo Purwo Nugroho

tirto.id - Longsor yang terjadi di Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Senin (5/2/2018) disinyalir bukan hanya faktor cuaca ekstrem, melainkan juga karena perencanaan tata ruang yang belum optimal. Hal ini diakui oleh Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Hilman Nugroho.

Hilman berkata, keterlanjuran aktivitas manusia pada kawasan lindung, kurangnya kesadaran masyarakat, pemotongan tebing untuk jalan sejak era pembangunan jalan Deandels juga merupakan faktor pemicu longsor. Hilman menambahkan, kegagalan struktur dinding tanah juga ditemukan di lima lokasi longsor.

Sedikitnya lima orang warga kampung Maseng tertimbun longsor yang terjadi di lima titik kawasan Puncak, yakni Widuri, Gunung Mas, Riung Gunung, Grand Hill dan sekitar Masjid Atta’awun. Longsor terjadi akibat intensitas curah hujan antara 148-151 mm/hari yang berlangsung selama tiga hari serta kegagalan struktur dinding tanah.

Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (PEPDAS) KLHK, Yuliarto Joko Putranto mengatakan, pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap bangunan di Puncak. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir korban jiwa akibat longsor yang rawan terjadi di kawasan tersebut.

“Puncak itu, kan, banyak tebing-tebing ya, dan air dari atas mengalirnya deras. Memang sangat rawan longsor, tapi di sana dibeton untuk jalan-jalan dan ada hotel, vila, warung-warung,” kata Yuliarto saat dihubungi Tirto, Kamis (8/2/2018).

Yuliarto menjelaskan, instansinya bakal membuat simulasi hidrologi DAS guna merumuskan tata guna lahan anjuran (propose land use) sesuai dengan fungsi dan struktur lahan. Simulasi itu dapat menjadi dasar penyusunan rencana tata ruang kawasan Puncak beberapa tahun mendatang.

Menurut dia, selama ini tata ruang kawasan puncak dinilai belum optimal dan memuat prinsip konservasi. “Kebun teh yang ada di puncak itu, kan, sebagiannya ada yang daerah lindung kalau kelerangnya [kemiringan bidang lahan] di atas 40 persen,” kata dia. “Tapi ternyata, enggak diatur secara detail dalam tata ruang kawasan Puncak.”

Persoalan rencana tata ruang itu, kata Yuliarto, memicu maraknya pembangunan hotel dan villa di kawasan sekitar kebun teh di Puncak, Bogor. Selain itu, berjejernya warung-warung di jalur arah Masjid Attaawun.

“Seharusnya ada pembatasan aktivitas manusia di sana. Kalau sekarang, vila-vila itu ada, karena tata ruang bisa diubah sama pemerintah daerah 5 tahun sekali. Itu disesuaikan sama kebutuhan ekonomi, dan sebagainya,” kata Yuliarto.

Sayangnya, kata Yuliarto, hasil evaluasi yang dilakukan KLHK itu hanya akan bersifat rekomendasi. Kalaupun bangunan-bangunan itu berada di atas DAS, KLHK tak bisa menginstruksikan pembongkaran.

Anggota Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga menuturkan, selama ini pemerintah daerah Kabupaten Bogor memang menyalahi peraturan. Hal ini bisa terjadi karena ada ketidakjelasan regulasi. Saat ini ada dua kebijakan yang mengatur penataan ruang di kawasan Puncak yang saling bertentangan.

Pada 2003, KLHK (dulu Kementerian Kehutanan) melalui Surat Keputusan Nomor 195 Tahun 2003 telah menunjuk wilayah di Kawasan Puncak sebagai hutan produksi dan hutan konservasi. Kemudian di tahun 2008, keluar aturan baru, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 yang menetapkan Kawasan Puncak menjadi kawasan hutan lindung yang memiliki fungsi konservasi tanah dan air.

Sayangnya, kata Anggi, pengelolaan kawasan Puncak oleh pemerintah daerah tidak mengindahkan Perpres dalam pengelolaan kawasan. Hal ini menyebabkan alih fungsi kawasan Puncak melalui praktik-praktik pembangunan yang tidak melindungi sumber daya air dan tanah. Hal ini jelas mengancam ketersediaan air di masa yang akan datang akibat maraknya konversi hutan.

Dari penelitian FWI tahun 2016, kata Anggi, pihaknya menemukan hampir 50 persen kawasan hutan lindung tidak berupa hutan, sebagian sudah dijadikan tempat wisata ataupun permukiman.

“Dengan adanya vila dan pemukiman. Fungsi hutan sebagai DAS dan pencegah erosi tentu akan berkurang. Ini sudah lama terjadi, tapi longsor bukan di jalan raya sehingga sering terabaikan,” kata dia saat dihubungi Tirto, Jumat (9/2/2018).

Anggi menyebut, kurangnya kawasan lindung, terutama hutan, menjadikan Puncak sering tergenang banjir. Debit air yang berlebihan itu lantas membuat tanah tidak kuat menahan dan menyebabkan longsor.

Respons Pemerintah

Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, Djati Witjaksono menampik tudingan hutan produksi berimpitan dengan hutan lindung. Ia menyatakan, Kawasan Puncak yang menjadi hutan lindung, konservasi, ataupun produksi dikelola oleh pihak Perhutani.

Djati meyakini, Perhutani tidak akan melanggar aturan dengan menyamakan fungsi hutan tersebut, meski aturan itu keluar sebelum KLHK terbentuk di tahun 2015. Menurut dia, longsor yang terjadi di Kawasan Puncak kemungkinan karena banyaknya bangunan yang tidak sesuai aturan dan pemanfaatan lahan yang salah.

“Jadi harusnya ada wilayah untuk kegiatan lain. Tidak semuanya dari kawasan Puncak merupakan kawasan lindung, produksi, atau konservasi. Nah, kawasan lain, warga bisa membangun kebun teh semua, sehingga tidak ada pencegahan erosi, dan sebagainya, sehingga banjir dan mengakibatkan longsor,” kata Djati kepada Tirto, Jumat (9/2/2018).

Kawasan lindung, produksi, dan konservasi, hanya berupa hutan. Djati menegaskan, selain hutan, daerah tersebut memang dipersilakan untuk kepentingan pembangunan wisata. Di sepanjang Jalan Raya Puncak, kata Djati, seharusnya tidak ada lagi bangunan ilegal.

“Kalau daerah wisata, tidak boleh ada vila. Adanya pembangunan sarana dan prasarana, itu pun dengan berbagai pertimbangan,” kata dia. “Kalah ada vila di dekat tempat wisata, jelas ilegal.”

Sedangkan Kepala Bidang Penyehatan Lingkungan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pemerintah Kabupaten Bogor, Suryanto Putra menegaskan, tidak ada bangunan ilegal di sekitar Jalan Raya Puncak yang memicu terjadinya longsor. Untuk daerah pinggir sungai, ia mengakui memang masih ada bangunan ilegal, tetapi sudah ditertibkan berulang kali.

Namun, Suryanto menolak memberi pernyataan lebih lanjut ketika dikonfirmasi soal bangunan ilegal di daerah lindung lainnya, seperti data yang dipaparkan Forest Watch Indonesia. Menurut dia, kajian tentang longsor Puncak 2018 ini akan dipaparkan melalui atasannya, atau bagian hubungan masyarakat.

“Saya belum bisa kasih keterangan,” kata dia saat dikonfirmasi soal temuan FWI.

Baca juga artikel terkait LONGSOR PUNCAK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz