Menuju konten utama

Banjir di Belakang dan di Hadapan Anies Baswedan

Akankah Anies Baswedan belajar dari data-data banjir yang terjadi sebelum ia berkantor di Balai Kota? 

Periksa Data Banjir dan Janji Kepala Daerah. tirto.id/Quita

tirto.id - Hujan deras yang turun pada 4-5 Februari 2018 menyebabkan tinggi muka pintu air Katulampa pada pukul 09.00 WIB mencapai 240 cm dan memasuki batas status Siaga 1, level tertinggi peluang banjir. Selain Katulampa, pintu air Pos Depok juga menunjukkan status Siaga 1 pukul 12.15 WIB. Sungai Ciliwung pun meluap sehingga menimbulkan banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah Jakarta dan Bogor.

Menanggapi status ini, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memberikan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk menjalankan Operasi Siaga Ibu Kota yang meliputi kesiapan dalam semua aspek, ketanggapan dalam merespons masalah, serta penggalangan kekuatan bersama.

"Laksanakan instruksi ini dengan cepat dan galang seluruh kekuatan untuk mengamankan warga dan ibu kota," katanya.

Banjir memang menjadi masalah yang sulit lepas dari Jakarta. Setiap tahunnya, kejadian banjir cenderung fluktuatif. Data BNPB menunjukkan pada 2003 terdapat 10 kejadian banjir di Jakarta, jumlah ini menurun menjadi 4 kejadian pada 2005 dan 3 di 2006.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/12/banjir-dan-janji-kepala-daerah--periksadata--quita-01.jpg" width="860" alt="Infografik Periksa Data Banjir " /

Pada 2013, kejadian banjir di DKI Jakarta tercatat berjumlah 34 kali. Menurun menjadi 25 kejadian pada 2014. Namun, pada 2016, jumlahnya meningkat mencapai 36 kejadian. Pada 2017 sendiri, berdasarkan data BPBD DKI Jakarta, tercatat ada 44 kejadian banjir.

Pada bulan Januari dan Februari, Jakarta hampir tidak pernah tak disambangi genangan air. Bahkan, banjir besar yang melanda ibu kota 11 tahun lalu juga terjadi pada bulan Februari. Curah hujan tinggi sejak 31 Januari hingga 9 Februari 2007 menjadi permulaan banjir saat itu. Jakarta nyaris lumpuh, korban berjatuhan, kerugian yang ditimbulkan tak sedikit. Laporan Bappenas menyebut, nilai kerusakan akibat bencana banjir di tahun itu diperkirakan mencapai Rp5,16 triliun.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/12/banjir-dan-janji-kepala-daerah--periksadata--quita-02.jpg" width="860" alt="Infografik Periksa Data Banjir " /

Enam tahun setelahnya, banjir besar kembali melanda Jakarta pada awal 2013. Sebanyak 1,2 juta jiwa terdampak banjir dan 83 ribu jiwa mengungsi. Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta saat itu, memperkirakan jumlah kerugian akibat banjir mencapai Rp20 triliun.

Pada 2016, banjir besar kembali terjadi pada bulan Februari. Tercatat ada 25 kecamatan terdampak banjir dengan jumlah jiwa terdampak sebanyak 70.218. Banjir ini juga menyebabkan banyak orang mengungsi, yakni sebanyak 1.137 jiwa.

Meskipun masih banyak daerah terdampak, rata-rata lama genangan air akibat banjir menurun setiap tahunnya. Pada 2013, rerata air menggenang terhitung berdurasi 4,9 hari dan menurun hingga 1,9 hari pada 2016.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/12/banjir-dan-janji-kepala-daerah--periksadata--quita-03.jpg" width="860" alt="Infografik Periksa Data Banjir " /

Tak hanya soal lama air menggenang, rerata tinggi air minimal juga mengalami penurunan. Pada 2014, tinggi air minimal sebesar 15 cm dan menurun mencapai 7 cm pada 2016. Rerata tinggi air maksimal pun menurun dari 240 cm pada 2014 menjadi 178,18 cm pada 2016. Beberapa proyek pemerintah seperti pembangunan sumur resapan dan pengerukan sungai terindikasi berhasil menurunkan lama genangan dan tinggi air ketika terjadi banjir.

Semakin menurunnya lama air menggenang dan tinggi air juga berdampak pada jumlah korban banjir. Pada 2013, jumlah jiwa terdampak banjir mencapai 1,43 juta. Jumlah ini menurun signifikan hingga mencapai 465.154 jiwa terdampak pada 2016.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/12/banjir-dan-janji-kepala-daerah--periksadata--quita-04.jpg" width="860" alt="Infografik Periksa Data Banjir " /

Lantas, apakah para kepala daerah telah sukses menangani banjir di Jakarta?

Setiap pemimpin ibu kota memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masalah ini. Gubernur Foke alias Fauzi Bowo, misalnya, mencoba merealisasikan janjinya untuk mengatasi banjir melalui pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT), normalisasi sungai, dan penataan dan pembangunan waduk seperti tertuang pada RPJMD 2007-2012.

Joko Widodo pada masa kepemimpinannya menggalakkan program normalisasi sungai dan saluran serta membangun sumur resapan. Sebagai media menampung air hujan, adanya sumur resapan diharapkan dapat mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah/mengurangi terjadinya banjir dan genangan air. Pembangunan sumur resapan air menyasar kawasan budidaya, permukiman, perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas umum lainnya.

Dalam upayanya mengurangi banjir, Ahok merelokasi pemukiman warga di daerah rawan banjir serta membangun ruang terbuka hijau. Pada penghujung kepemimpinannya, ia menggusur warga Bukit Duri, Kampung Pulo, dan Bidaracina yang berada di wilayah bantaran Sungai Ciliwung untuk kepentingan normalisasi sungai.

Meski menuai kritik, pada akhirnya cara ini tetap ditempuh. Selain itu, lahan juga dibeli untuk pembangunan untuk ruang terbuka hijau mengingat luas RTH di Jakarta per Mei 2017 hanya 9,98 persen masih jauh dari persentase ideal sebesar 30 persen.

Kini, Anies Baswedan mendapat tantangan untuk menanggulangi banjir ibu kota. Dalam visi misi Anies-Sandi, tertulis program penanggulangan masalah banjir. Di antaranya adalah revitalisasi tanggul dan pompa air, membangun sistem distribusi air dan lingkungan hijau, serta penerapan kebijakan zero run-off (nol limpahan) di bagian hilir.

Apakah duet Anies dan Sandi bisa mencegah atau setidaknya meminimalkan banjir, lebih baik dari para pendahulunya?

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Desi Purnamasari

tirto.id - Politik
Reporter: Desi Purnamasari
Penulis: Desi Purnamasari
Editor: Maulida Sri Handayani