tirto.id - Menurut data Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, 98 persen penyebab penurunan tanah Jakarta lantaran eksploitasi air tanah—yang dimanfaatkan untuk air minum, sanitasi, dan irigasi.
Hal ini yang bikin problem serius ruang hidup Jakarta tak sekadar dalam ancaman “tenggelam” secara perlahan, tapi sakaratul maut. Bukan hanya dari atas permukaan, melainkan ancaman sesungguhnya justru dari bawah tanah.
Data Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta mencatat ada 4.252 titik sumur air tanah yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Padahal, jika merujuk pada catatan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya DKI Jakarta, saat ini ibu kota memiliki setidaknya 5 ribu gedung bertingkat di atas 4 lantai.
Tim Gerakan Penyelamatan SDA Komisi Pemberantasan Korupsi mengasumsikan, setiap gedung setidaknya memiliki tiga sampai empat sumur air tanah. Artinya, sedikitnya ada 10 ribu sumur ilegal atau tak terpantau.
Sementara penerimaan pajak air tanah DKI pada 2016 mencapai Rp104 miliar. Ini pun belum sepersepuluh dari jumlah sumur yang terdata. Seharusnya, jika sepersepuluh dari sumur yang ada sekarang ini terpantau, Pemprov Jakarta bisa menerima pendapatan pajak hingga Rp1 triliun per tahun.
Asumsi itu baru sebatas menghitung sumur legal yang terdaftar. Padahal jika menggunakan angka 10 ribu sumur, potensi penerimaan pajak air tanah Jakarta bisa menyentuh Rp2,7 triliun.
“Coba lihat berapa banyak air tanah yang dicuri,” ujar Dian Patria, Ketua Tim Gerakan Penyelamatan SDA KPK.
Data yang dihimpun Koalisi, kebutuhan air bersih Jakarta mencapai 846 juta meter kubik per tahun. Dari jumlah ini, 548,2 juta meter kubik menggunakan air tanah. Sementara jumlah yang terdaftar hanya 7,86 juta meter kubik—ada sekitar 540,34 juta meter kubik yang disedot secara ilegal atau tidak terlapor. Sementara batas aman pengambilan air tanah hanya boleh sampai angka 256 juta meter kubik per tahun.
Dugaan kecolongan eksploitasi air tanah yang meluas ini karena pengawasan yang longgar oleh para pemangku kepentingan publik.
Ada sejumlah modus tindak pencurian air tanah, dua di antaranya mengebor sumur melebih izin atau mengambil air tanah dari seluruh akuifer dangkal. Akuifer adalah istilah geologi untuk lapisan kulit bumi berpori yang mampu menahan air.
“Jadi seperti dilubangi bornya. Sehingga bisa menyedot tak hanya di lapisan terbawah bor, tapi menyedot seluruh air di semua lapisan yang dilewati bor,” kata Dian.
Pada Agustus 2016, Dinas Perindustrian dan Energi DKI menemukan 57 sumur ilegal. Dari data yang dihimpun redaksi Tirto, ke-57 sumur ini didominasi oleh mal, apartemen, dan hotel.
Ada sejumlah faktor mengapa banyak pihak swasta enggan melaporkan penggunaan air tanah.
“Pertama karena lumayan rumit. Saat ini izin penggunaan air tanah tidak hanya dari PTSP (pelayanan terpadu satu pintu) tapi juga ke Kementerian Dalam Negeri. Itu pun belum tentu disetujui. Sudah menunggu lama, tidak ada jaminan disetujui pula,” ujar Ikhwan Maulani, Kepala Seksi Bidang Pemanfaatan Air Tanah Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta.
Selain itu, penyewa emoh rugi dengan mengurus perizinan air tanah yang nanti digunakan oleh orang lain.
Penegakan hukum harus diterapkan maksimal. Namun, bagaimana nasib daerah yang belum dijangkau PDAM tapi ternyata termasuk daerah zona merah yang dilarang menyedot air tanah?
Direktur PAM Jaya, Erlan Hidayat, mengklaim pihaknya sudah berhasil memasok 62 persen seluruh wilayah Jakarta. Bagi daerah yang belum terlayani, Erlan berkata biasanya hanya karena status lahan.
"Misalnya tanah-tanah garapan yang penghuninya tidak bisa memberikan persyaratan untuk sambungan baru seperti bukti PBB tidak ada atau lahan masih dalam sengketa. Tentu untuk kasus begini PAM Jaya tidak dapat melakukan sambungan air yang diperlukan," jawab Erlan saat dihubungi Tirto melalui pesan WhatsApp.
Mengenai hal ini, Tim Gerakan Penyelamatan SDA KPK punya pandangan sendiri. Kegagalan PAM Jaya dalam menyediakan air bersih karena memang tidak memenuhi standar secara kuantitas dan kualitas.
“Banyak air permukaan yang diokupasi oleh infrastruktur lain. Dibangun tiang pancang kereta cepat, misalnya. Kan, kalau sudah begitu, airnya tidak bisa digunakan,” ujar Dian.
KPK menyangsikan klaim 62 persen dari PAM Jaya. Menurut KPK, dari kajian Badan Geologi, ditemukan hingga kini konsumsi air tanah di DKI masih 70 persen. Artinya, PAM Jaya hanya melayani 30 persen kebutuhan air di ibu kota.
Muhammad Reza dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air melihat kegagalan PAM Jaya hanyalah dalih agar dapat mengegolkan privatisasi air minum.
"Privatisasi itu argumen palsu. Kalau benar ada masalah finansial dan teknis, kenapa tidak dilakukan? Malah melibatkan swasta,” kata Reza.
Badan Geologi menemukan pada 2015 intrusi alias perembesan air laut ke dalam lapisan tanah sudah memasuki area Kamal Muara di Jakarta Utara dan Kosambi di Cangkareng. Sumur penduduk di kedua daerah ini terasa asin.
Temuan lain, Badan Geologi mencatat saat ini 80 persen air tanah pada akuifer bebas menurut menteri kesehatan tidak memenuhi syarat kualitas air minum. Sementara pada akuifer tertekan angkanya mencapai 85 persen. Tiga puluh persennya diduga mengandung logam berat timbal.
Ancaman Perang Air
Meikarta, sebuah proyek kompleks permukiman di Kabupaten Bekasi oleh Lippo Group—perusahaan properti milik konglomerat Riady—sudah mengantongi izin mengambil air dari Waduk Jatiluhur di Purwakarta sebanyak 1.500 liter per detik. Jika dibandingkan, Jakarta sendiri diizinkan menyedot 4 ribu liter per detik.
“Ini aneh. PAM Bekasi saja tidak dapat. Siapa yang bisa jamin airnya tidak dijual lagi sama swasta?” keluh Dian Patria dari Tim Gerakan Penyelamatan SDA KPK.
Potensi konflik macam ini bisa meluas dan menjadi lebih serius. Air adalah sumber daya alam tanpa pengganti. Dalam banyak kasus di pelbagai daerah di Indonesia dan dunia, jika air bersih semakin langka atau hanya dikuasai oleh segelintir korporasi, bencana pun makin dekat dengan perang air menjadi episentrumnya.
“Air merupakan res communis,” ujar Reza dari Koalisi. Air adalah hak pubik, hak kepemilikan bersama.
Maka, lanjutnya, harus ada kuasa tunggal sebagai natural monopoly, dalam hal ini negara. Jika tidak, akan terjadi kesenjangan dan menuai konflik.
Tak hanya itu. Monopoli air bersih, seperti pencurian air tanah, bisa memicu bahaya baru, yakni intrusi air laut.
Air laut yang bersifat korosif sangat berbahaya jika sudah menyentuh struktur bangunan di dalam tanah. Tanah dan bangunan menjadi keropos. Di Jakarta, faktor tambahan mengikuti: struktur bebatuannya berjenis aluvial—artinya, gampang goyah.
“Digeser sedikit, kena gempa kencang sedikit, kehancurannya bisa besar,” ujar Dian.
Penulis: R. Diantina Putri
Editor: Fahri Salam