Menuju konten utama

Ancaman di Balik Megahnya Gedung Pencakar Langit

Pembangunan selalu memberikan konsekuensi pada lingkungan. Termasuk kehadiran gedung-gedung pencakar langit yang membahayakan permukaan air tanah. Inilah yang mengancam ibukota Jakarta.

Ancaman di Balik Megahnya Gedung Pencakar Langit
Pembangunan infrastruktur, sinyal pertumbuhan ekonomi indonesia. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - Pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat membuat pembangunan semakin marak. Gedung-gedung bertingkat terus menjejali perkotaan, sehingga nyaris tak menyisakan ruang hijau. Kondisi ini paling terlihat di ibukota Jakarta.

Bangunan-bangunan tinggi di Jakarta kini tak hanya ditemui di kawasan Thamrin, Sudirman dan Kuningan saja. Di pinggiran seperti kawasan TB Simatupang, BSD, ataupun Sunter pun sudah mulai semarak oleh gedung-gedung bertingkat. Selain Jakarta, kota-kota besar Indonesia juga semakin disesaki oleh gedung bertingkat seperti Surabaya dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, kehadiran gedung-gedung bertingkat ini bahkan sempat mendapatkan sorotan karena tingginya bahaya.

Indonesia memang termasuk agresif dalam pembangunan gedung bertingkat. Pertumbuhannya yang pesat mendorong permintaan yang lebih besar akan keberadaan gedung-gedung perkantoran, mal, ataupun kawasan bisnis lainya. Berdasarkan catatan Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH), Indonesia menempati peringkat kedua Asia setelah Cina dengan penyelesaian pembangunan sembilan gedung.

Sembilang gedung itu adalah Sahid Sudirman Center Jakarta dengan ketinggian 259 meter, Raffles Hotel Jakarta 253 meter, Sinarmas MSIG Tower Jakarta 245 meter, U-Residence 2 Karawaci Tangerang 209 meter, Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower J Jakarta) 2008 meter, 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower K Jakarta) 208 meter, 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower L Jakarta) 208 meter, 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower M Jakarta) 208 meter dan Tunjungan Plaza 5 Surabaya 201 meter.

Maraknya gedung-gedung bertingkat itu tentu saja berdampak pada sisi lingkungan. Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga mengatakan pembangunan gedung tinggi sering mengabaikan ruang terbuka hijau. Berdasarkan hasil penelitian di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Kuningan, lebih dari 90 persen kavling perkantoran tanahnya diperkeras baik dengan beton maupun aspal.

"Pada waktu pembangunan, dinas terkait tidak mengawasinya. Contohnya, Senayan City dari atas kita melihat 100 persen lahannya diperkeras baik dibeton maupun di aspal. Di permukaan diperkeras, di bawah diperkeras (parkiran)," kata Nirwono kepada tirto.id, Jakarta Rabu (28/7/2016).

"Harusnya 30 persen dari bangunan itu tidak boleh diperkeras karena diperuntukkan untuk ruang terbuka hijau."

Kalau semua kavling diperkeras, lalu ketika hujan turun maka airnya terbuang ke jalan sehingga tidak heran, jika Sarinah tergenang air. Hal ini terjadi karena tidak ruang resapan di kavling perkantoran tersebut.

Tak hanya itu, gedung tinggi di Jakarta juga membutuhkan air bersih, sementara pasokan air kurang. Akhirnya, para pemilik gedung bertingkat itu melakukan penyedotan air tanah secara besar-besaran tanpa pengawasan. Akibatnya, penurunan permukaan tanah sangat tinggi.

Hasil penelitian konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) menunjukkan, penurunan muka tanah Jakarta sudah terjadi sejak 1974. Pada tahun 2010 disebutkan sebanyak 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, seperti dikutip laman Jakarta.go.id. Namun, yang lebih mengkhawatirkan, hasil penelitian itu menyebutkan dalam tempo 10-20 tahun ke depan, sekitar 50 persen wilayah Jakarta akan berada di bawah permukaan air laut.

Data kuantitatif memaparkan sejak 1974-2010 ditemukan fakta telah terjadi penurunan permukaan tanah hingga 4,1 meter. Itu terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Tidak hanya itu sejumlah wilayah lainnya seperti di Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter dan Cibubur 0,25 meter.

Mantan Kepala Bidang Prasarana, Sarana Kota dan Lingkungan Hidup Bappeda DKI Jakarta Nursyam Daud mengungkapkan Penurunan tanah di kawasan Muara Baru, Penjaringan Jakarta Utara terjadi setiap tahun. Padahal saat ini, permukaan tanah di wilayah pesisir Ibu kota itu sudah lebih rendah dari permukaan air laut.

“Penurunan tanah di Muara Baru, yang berada dekat pinggir laut, setiap tahun berkisar 10 sampai 15 centimeter. Penurunan tanah di Muara Baru yang berada dekat pinggir laut, setiap tahun berkisar 10 sampai 15 centimeter," kata Nursyam seperti dikutip Bappedajakarta.go.id.

Potensi Ruang Terbuka Hijau

Pembangunan gedung bertingkat adalah sesuatu yang tak terhindarkan di tengah pembangunan ekonomi yang pesat. Solusinya adalah dengan menambah ruang-ruang terbuka hijau, untuk meminimalisir dampak lingkungan.

Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah RTH terus menyusut. Berdasarkan catatan Nirwono, pada tahun 1965 RTH sebesar 37,2 persen, 1985 sebesar 25,85 persen, 2000 sebesar 13,94 persen, 2010 sebesar 9,8 persen dan terakhir 2015 sebesar 9,98 persen. "Dalam waktu 15 tahun, untuk mencapai satu persen saja sangat lambat," kata Nirwono.

Pemerintah sebenarnya memiliki potensi RTH publik sebesar 14 persen tanpa pembebasan atau pembelian lahan. Potensi itu berada di jalur hijau tepi jalan, kolong jalan layang, tepi rel kereta api, di bawah jalur sutet dan bantaran sungai.

"Kalau lima (RTH) aja dipetain, itu luar biasa potensinya. Contohnya 13 jalur hijau bantaran sungai, 8 koridor jalur kereta api di Jakarta, kolong jalan layang. Banyak potensi jalur hijau tapi belum optimal," kata Nirwono.

Kalau tiga contoh itu dikerjakan maka penambahannya juga signifikan sekali. Potensi RTH publik di jalur hijau mencapai 14 persen, ditambah 9,98 persen maka sudah 23 persen RTH publik.Itu belum termasuk RTH private yang dimiliki masyarakat dan swasta sebesar 16 persen.

Jika pemerintah bisa mengoptimalkan tanah di jalur hijau tersebut, maka pemerintah tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk penambahan RTH. Sebab status lahan tersebut jelas, seperti milik PT KAI. Jadi, pemerintah hanya menghijaukan lahan tersebut.

Baca juga artikel terkait PENURUNAN PERMUKAAN AIR TANAH atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti