Menuju konten utama

Yang Perlu Dilakukan agar Jakarta Tidak Tenggelam pada 2050

Penggunaan air tanah masif dan krisis iklim menjadi penyebab utama Jakarta diprediksi tenggelam pada 2050. Apa yang perlu dilakukan?

Yang Perlu Dilakukan agar Jakarta Tidak Tenggelam pada 2050
Kendaraan melintas di dalam kawasan Monas, Jakarta, Sabtu (14/3/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

tirto.id - Narasi bahwa Jakarta akan tenggelam di masa depan memang bukan sebuah isu yang baru diperbincangkan. Namun, diskursus ini akan terus menemui relevansinya di tengah tata kota yang belum optimal dan mitigasi risiko perubahan iklim yang diabaikan. Meski tenggelamnya Jakarta di masa depan memang bersifat prediksi, tapi sebagian besar didasarkan pada model simulasi dan tren fenomena riil yang dilaporkan secara ilmiah.

Topik tenggelamnya Jakarta di masa depan kembali dikemukakan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, baru-baru ini. Dalam pernyataannya kepada awak media di Bogor, Jawa Barat, Kamis (16/1/2025), Hanif menyatakan permukaan tanah Jakarta per tahun terus mengalami penurunan 10-30 sentimeter.

Ia menilai, biang keladinya ada karena dua hal: penggunaan air tanah yang masif dan krisis iklim yang terjadi secara global. Penggunaan air tanah mendorong percepatan penurunan muka tanah (land subsidence) yang memicu terjadinya banjir. Hanif menyoroti bahwa warga Jakarta masih banyak yang bergantung pada air tanah. Terlebih terus terjadi pembangunan gedung-gedung tinggi yang semakin mengancam permukaan tanah Jakarta.

Sementara krisis iklim secara global membuat permukaan air laut mengalami peningkatan. Ini membuat rob dan abrasi di wilayah pesisir akan semakin rutin terjadi.

“Ini dua-duanya benar-benar kombinasi yang sangat menarik untuk bisa menenggelamkan Jakarta,” kata Hanif.

Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, Suci Fitria Tanjung, menyatakan bahwa secara saintifik, prediksi Jakarta tenggelam di masa depan memang sangat mungkin terjadi. Dari kacamata geologis, kata Suci, tanah Jakarta terbentuk dari alluvial muda yang secara alami pasti akan mengalami penurunan.

Akselerasi penurunan tanah di Jakarta sebetulnya dalam beberapa dekade terakhir didorong karena ekstraksi berlebihan air tanah dan beban dari bangunan di atas permukaan tanah. Situasi tersebut semakin memburuk imbas ancaman perubahan iklim mempengaruhi kenaikan muka air laut.

“Jadi secara saintifik, Jakarta [diprediksi] tenggelam itu sangat mungkin terjadi,” kata Suci kepada wartawan Tirto, Jumat (17/1/2025).

Akan tetapi, Suci menilai, bukan berarti tak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan masa depan yang suram ini. Penataan kota yang baik, menjadi salah satu solusi utama membuat Jakarta tetap bertahan dari ancaman dampak perubahan iklim.

Misalnya, memastikan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) untuk zona imbuh air tanah yang dapat membantu pemulihan air tanah dalam (akuifer) dan berfungsi menyangga tanah Jakarta. Terpenting, perlu mengatur pembangunan gedung-gedung yang dapat membebani tanah dan memperbaiki layanan penyediaan air bagi warga.

“Harus menertibkan penggunaan air tanah untuk industri, dan pemulihan sumber-sumber air permukaan agar ekstraksi air tanah tidak dilakukan,” kata dia.

Solusi mengatasi persoalan lingkungan hidup – khususnya di megapolitan seperti Jakarta – harus dilakukan secara holistik dan tidak parsial. Termasuk apabila ingin melakukan upaya mitigasi perubahan iklim yang terjadi secara global. Suci misalnya menyoroti ide utama dari pemerintah yang mengedepankan pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall dalam mengatasi persoalan ini.

Ia menilai, lebih baik mengutamakan pembenahan persoalan di pesisir dan laut, dibanding hanya mengandalkan pembangunan tanggul yang sudah pasti memakan biaya besar. Perlu terlebih dulu membenahi dan memulihkan kondisi ekologis di hulu daratan Jakarta.

“Kami menyarankan kepada pemerintah untuk tidak semata-mata mengandalkan sea wall dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Karena laju kenaikan muka air laut di Jakarta tidak sebanding dengan penurunan muka tanahnya,” tutur Suci.

Laporan Bank Dunia (2020) menyatakan bahwa Jakarta mengalami penurunan muka tanah yang sangat cepat, dengan beberapa daerah mencapai penurunan hingga 5-10 sentimeter per tahun. Jika tidak dilakukan langkah-langkah mitigasi signifikan, maka diprediksi Jakarta bisa menghadapi dampak serius akibat banjir rob dan penurunan tanah, bahkan bisa terendam lebih parah pada 2050.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rendi Handika dkk (2024) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, Jakarta mengalami penurunan muka tanah rata-rata 5,71 cm per tahun, dengan wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat menjadi yang paling parah. Hasil diperoleh lewat metode PS-InSAR (Persistent Scatterer Interferometric Synthetic Aperture Radar).

Wilayah-wilayah yang terletak di pesisir utara, mengalami penurunan jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan wilayah lain. Penurunan ini bukanlah fenomena alam semata, tetapi juga imbas dari aktivitas manusia, terutama pengambilan air tanah secara berlebihan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin masif.

Tim riset berkesimpulan bahwa intervensi pemerintah dan peraturan yang kuat diperlukan untuk memperlambat atau menghentikan penurunan permukaan tanah di Jakarta. Peraturan untuk mengendalikan pengambilan air tanah telah dikeluarkan di Jakarta, tapi pengawasan yang kuat harus dilakukan untuk memastikan peraturan diterapkan dengan baik dan dipatuhi secara komprehensif.

Sementara hasil penelitian Greenpeace East Asia (2021) memprediksi Jakarta tenggelam pada 2030. Studi tersebut menyitir beberapa studi serupa bahwa Jakarta memiliki ketinggian 8 meter di atas permukaan laut dan dialiri 13 sungai yang membuatnya rawan banjir karena masalah drainase. Analisis data spasial menemukan bahwa hampir 17 persen dari total luas daratan Jakarta di bawah permukaan laut yang berisiko terendam banjir 10 tahunan pada 2030. Imbasnya, 1,8 juta orang berpotensi kehilangan rumah.

Dalam laporan Tirto bertajuk ‘Masalah Usang dan Runyam Penurunan Muka Tanah Jakarta’ (2021), mengutip riset dari Heri Andreas, dosen dan peneliti dari institut Teknologi Bandung, ada tiga penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta. Sedimen tanah di pesisir utara Jawa, termasuk Jakarta, tergolong muda. Jadi, secara alami, tanahnya akan turun. Selain itu, ada faktor beban bangunan. Namun, untuk kasus Jakarta, faktor penyebab paling besar adalah pengambilan air tanah dalam skala masif dan meluas.

Hari membuktikan argumentasi ini dengan membandingkan angka penurunan tanah dengan penurunan muka air tanah. Hasilnya, semakin besar muka air tanah turun, semakin besar pula tanahnya turun. Ia menilai pemerintah harus menyediakan opsi sumber air selain air tanah. Caranya, dapat dengan membersihkan sungai, membuat waduk, atau mengubah air laut jadi tawar.

Perlu Upaya Bersama

Pengamat Tata Kota, M Azis Muslim, mengatakan, pemerintah perlu mengupayakan tata kota yang lebih terstruktur dan sistematis untuk menyelamatkan Jakarta dari ancaman tenggelam. Selain karena penggunaan meluas air tanah, minimnya ruang terbuka hijau akan membuat daya serap pada air hujan semakin minim. Kondisi ini seringkali dikatakan sebagai hal yang akan memperparah kondisi banjir dan penurunan tanah di Jakarta.

Artinya, kata dia, tata ruang kota selama ini seringkali tampak belum optimal. Keadaan ini semakin diperumit dengan permasalahan pembangunan reklamasi pantai di sekitar perairan Jakarta.

“Ini kan juga menjadi salah satu bentuk tidak konsistennya kita di dalam menerapkan ya tata kota,” ucap Azis kepada wartawan Tirto, Jumat (17/1/2025).

Upaya lain, dengan perbaikan sistem drainase agar potensi banjir tidak memburuk. Namun, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan edukasi untuk masyarakat. Terkait kota yang tidak lagi menjanjikan masa depan apabila tak terjadi intervensi bersama seluruh elemen.

Azis menilai, kebijakan dan implementasi yang tegas akan sangat membantu mengurangi dampak dari perubahan iklim dan penurunan permukaan tanah. Pemerintahan pusat dan daerah mesti tanggap dan memikirkan solusi secara holistik atas masa depan Jakarta. Hal ini bukan permasalahan Jakarta seorang diri.

“Artinya memang tata kelola lintas pemerintahan ini menjadi satu prasyarat ya sehingga tadi permasalahan potensi tenggelam Jakarta itu bisa diantisipasi dan juga bisa dicegah dengan sebaik-baiknya,” terang Azis.

Sementara itu, Juru kampanye WALHI Jakarta, Muhammad Aminullah, meminta pengambil kebijakan memahami Jakarta dan Indonesia sebagai kawasan arsipelago. Ia menilai bahwa Indonesia merupakan masyarakat pesisir dan kepulauan tropis. Sebab itu memiliki karakter dan kebutuhannya sendiri.

Maka pembangunannya perlu menyesuaikan karakteristik tersebut. Tidak bisa asal contoh pembangunan di negara lain. Misalnya, kata dia, jika kita rawan abrasi dan banjir rob, maka jangan habisi hutan mangrove yang ada di pantai-pantai.

“Perbaiki pelindung alami, bukan malah terus dirusak dengan dialih fungsi atau memasifkan pembangunan di kawasan tersebut,” ucap Aminullah kepada wartawan Tirto.

Tata kota yang baik tentu mengantisipasi adanya krisis iklim. Kota harus dirancang menjadi aman, baik dari tindak kekerasan manusia maupun ancaman bencana. Dalam konteks iklim, kata Aminullah, kota harus didesain melindungi masyarakat dari dampaknya.

Hal ini dapat diupayakan melalui pengaturan tata ruang kota. Seperti ruang pelindung alami semisal ruang terbuka hijau atau mangrove yang seharusnya dijaga dengan baik. Selain itu, tata kelola sungai perlu diperbaiki untuk mengatur aliran air dan persediaan air tanah.

Tata kota bertujuan mengatur penggunaan lahan agar menciptakan kehidupan berkelanjutan yang adil untuk masyarakat. Jika ada ancaman bahaya yang tidak dapat dijawab oleh kota, artinya, tata kotanya buruk.

“Apa indikator tata ruang di Jakarta buruk? Lihat saja dampaknya pada turunnya kualitas lingkungan. Pencemaran di udara, air sungai, air tanah, dan tanah, serta tidak terpenuhinya akses air bersih untuk masyarakat,” ungkap Aminullah.

Baca juga artikel terkait JAKARTA TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz