tirto.id - “Yang kalah nyebur, ya,” kata Reza seraya terkekeh dan mengocok kartu UNO di tangannya. Anak muda berusia 17 tahun ini segera melihat ekspresi muka saya. Ia tergelak, “Enggak kok, Kak. Dikaretin aja jarinya.”
“Biasanya sih kami nyebur. Tapi malam ini aku mau jalan dengan pacarku,” timpal Ipan, kawan sebaya Reza.
Danau di bawah rumah panggung tempat mereka bermain adalah genangan air seluas dua hektare yang macet dan telah merendam ribuan makam.
Di luar, Juriah, seorang ibu muda, mengejar balitanya sambil berteriak, “Jangan lari-lari nanti kecebur.”
Tapi si balita berlari semakin kencang, melewati beberapa pria dewasa yang tengah memancing, berderet di sepanjang jalan kampung.
“Ada ikan apa saja, Pak?”
“Ada lele, gabus … banyak. Tapi banyakan lele. Hampir tiap hari saya makan ikan dari sini,” kata Ujang, membetulkan umpan.
Ya, selamat datang di Kampung Apung.
Kampung seluas sekitar enam hektare ini semula bernama Kampung Teko, hanya 50-an meter dari Jalan Kapuk Raya di daerah Cengkareng. Secara administratif, kampung ini termasuk ke dalam unit RT 10/RW 01 di Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat.
Untuk mencapainya, seperti saran seorang penjual makanan, Anda harus mengikuti bau amis ikan cue. “Lurus saja. Nanti ada penjual tongseng, masuk gang. Pokoknya kalau udah cium bau amis ikan cue, nah ikutin aja.”
Dituntun bau amis ikan, selepas memasuki sebuah gang, lanskap berikutnya adalah satu genangan air yang luas, mirip sebuah situ, dan di tengah-tengahnya ada jalan aspal selebar satu meter sebagai penghubung satu-satunya menuju Kampung Apung.
Tepat di muka kampung, pada satu siang awal Januari lalu, dua remaja tengah mengobrol di tepi genangan. Mereka adalah Isal dan Akmal. Keduanya mengenal kampung halamannya memang sudah terendam.
“Pindah? Ngapain? Di sini orangnya asik-asik. Lagian kebutuhan kita juga enggak kurang,” kata mereka.
Isal mengajak saya berkeliling kampung. Hampir seluruh rumah terbuat dari kayu maupun tripleks, yang nyaris berimpitan satu sama lain.
Beberapa warga memancing di sudut kolam yang menjorok ke dalam kampung. Di beberapa sudut masih ada eceng gondok menutupi permukaan air. Tumbuhan air mengapung ini sudah berkurang setelah pasukan oranye membersihkan ratusan ton eceng gondok dari Kampung Apung pada 2013.
“Dulu nih tempat kita duduk sekarang ini genteng rumah. Tahun 1970-an lah,” kata Siti Robiat, 56 tahun, membuka cerita begitu saya duduk di rumahnya.
Ruangan di rumah panggung yang ditempati Robiat berfungsi sebagai ruang tamu, kamar tidur, sekaligus dapur. Ia dan keluarganya harus berjalan beberapa meter ke belakang kampung tempat keperluan mandi, cuci, dan kakus, serta sumur berada.
Suaminya, Sopyan, 57 tahun, mengingat bagaimana ia kali pertama datang ke kampung ini pada 1979. Tentu saja saat itu namanya masih Kampung Teko, bertetangga dengan Taman Pemakaman Umum Kapuk Teko.
Namun, sejak 1990-an, kampung ini mulai terendam tiap hujan besar. Banjir tersebut tak pernah surut lantaran drainase di kawasan itu buruk.
Sejak 1980, kawasan di sekitar kampung mulai dihuni puluhan pabrik, yang mengunci aliran air ke arah selatan kampung. Sementara pemerintahan DKI Jakarta terus meninggikan jalan di Kapuk Raya. Praktis Kampung Teko berevolusi menjadi daerah cekungan dan menjebak air di sekitarnya.
Kondisi ini terus berlangsung hingga kawasan tersebut terendam sedalam hampir dua meter selama puluhan tahun—situasi yang mengubah namanya sebagai Kampung Apung.
Sebagian warga mengungsi. Tetapi sebagian lain memilih mengurug tanah di sekitar rumah mengikuti ketinggian air. Alhasil, banyak rumah di Kampung Apung ditopang balok-balok kayu di bawahnya, serupa panggung.
Meski begitu, warga tetap bertahan di sana.
“Buat apa pindah? Tempat kerja saya di sini. Dekat, enggak perlu ongkos. Kalau pulang ke Serang, mau kerja apa?” ujar Sopyan, yang bekerja di sebuah bengkel di Kapuk Raya.
“Saya nyaman-nyaman aja di sini. Sudah kenal sama warga, sudah seperti keluarga. Aman pula, enggak ada maling,” imbuh Sopyan, yang sudah beli rumah di Serang, Banten, tapi hingga sekarang masih tetap tinggal di salah satu rumah sewa di Kampung Apung.
Asmat, 56 tahun, yang lahir di Kampung Apung, berkata senada, “Kalau dipindah, saya penghasilan dari mana? Saya di sini menyewakan rumah. Kalau digusur, hilang dong sumber penghasilan saya?”
Bukan tak berbahaya tinggal berdampingan langsung dengan genangan seluas itu. Hingga saat ini sudah ada dua korban jiwa yang tenggelam. Beberapa warga sempat tercebur, terutama lansia dan anak-anak, meski akhirnya tertolong. Toh, hampir sebagian besar warga memilih bertahan di sana.
Kampung Apung sempat dikeringkan pada 2013 saat pemerintahan Gubernur Joko Widodo. Saat itu warga diminta segera mengklaim kepemilikan makam karena pemerintah provinsi berencana memindahkanya ke TPU Tegal Alur dan mengurug kawasan itu menjadi lebih tinggi.
Anehnya, menurut pengakuan warga sendiri, warga membiarkan saja makam tersebut—bahkan tak melapor soal kepemilikan—hingga pelan-pelan empat ribu kuburan di sana terendam.
Usai penyedotan dan pembersihan, belum ada lagi langkah serius soal pemulihan kawasan ini.
Dinas Tata Air Jakarta menyebut hal macam itu wewenang Dinas Kehutanan, Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta.
“Warga memang harus direlokasi. Tapi di sana adalah aset Dinas Pertamanan,” Teguh Hendrawan, Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta, kepada saya melalui pesan WhatsApp.
Teguh mengklaim Dinas sudah berupaya membantu memompa genangan dengan menggunakan pompa Cengkareng. Kendati demikian, kondisi Kampung Apung tak banyak berubah.
Kampung yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga ini masih tergenang air sedalam hampir dua meter. “Nanti saya cek,” jawabnya, singkat.
Jakarta Tenggelam Perlahan
Setidaknya dua media internasional, The Guardian dan The New York Times, merilis laporan mengenai Jakarta yang bakal tenggelam lebih cepat dibandingkan kota besar mana pun di dunia. Bahkan jauh lebih cepat ketimbang pengaruh perubahan iklim terhadap kenaikan air laut, tulisTimes.
Faktanya, Jakarta memang tengah tenggelam perlahan.
Namun, penurunan tanah tak terjadi merata di seluruh wilayah ibu kota. Dari pantauan Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, penurunan tanah terbesar terjadi di daerah utara Jakarta yang berbatasan dengan laut. Misalnya saja di Muara Baru yang menurun 1,9 meter dan Muara Angke 2,14 meter dalam periode 2000-2014.
Selama 14 tahun itu di daerah pusat dan selatan juga terjadi penurunan tanah antara 0,21 meter hingga 0,34 meter, di antaranya di kawasan Sudirman, Kuningan, dan Kebayoran Baru—kawasan pusat politik dan bisnis.
Pada periode 2014-2017, penurunan muka tanah meluas hingga ke Pluit Raya, Tanjung Priok, Tongkol, Gunung Sahari di Jakarta Utara hingga Meruya di Jakarta Barat dengan rata-rata 0,25 meter.
Jakarta adalah wilayah paling kompleks terkait masalah penurunan muka tanah. Ada sejumlah faktor penyebab.
Pertama, bebatuan yang menopang Jakarta adalah jenis aluvial. Artinya, hingga saat ini kompaksi atau pemadatan masih terus berlangsung. Ditambah gaya tektonik aktif atau struktur geologi tanah Jakarta yang masih terus bergerak. Ini diperparah dengan eksploitasi air tanah dari perusahaan-perusahaan swasta serta beban bangunan di atas tanah Jakarta yang semakin melebihi daya dukung.
“Namun, kalau beban bangunan hanya berpengaruh secara regional saja. Hingga saat ini penyebab penurunan tanah terbesar non-alamiah dikarenakan eksploitasi air tanah,” ujar Togas Braini, Kepala Bidang Geologi Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta.
Wilayah utara menjadi yang paling rentan lantaran secara geologi, yang artinya dalam skala ribuan tahun, tanah di kawasan itu masih berusia muda.
“Secara geologi, Gambir itu harusnya garis pantai. Itu kenapa tanahnya lebih muda,” jelas Togas merujuk salah satu daerah di Jakarta Pusat tempat belasan aset vital publik dan negara, dari Istana hingga Monumen Nasional, dari stasiun hingga Balai Kota Jakarta, dari pasar hingga kantor kementerian.
Hal ini dibenarkan oleh Jan Sopaheluwakan, peneliti geoteknologi yang bekerja selama 60 tahun dan sudah pensiun di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurutnya, ada dua faktor mengapa Jakarta Utara mengalami percepatan dalam penurunan muka tanah.
“Anda tahu menara miring itu? Menara Syahbandar. Di sana itu sebenarnya dulu garis pantai sewaktu Belanda pertama kali datang. Artinya, tanah dari garis tersebut hingga garis pantai sekarang memang lunak. Ditambah lagi penyedotan air tanah,” jelas Sopaheluwakan.
Kampung Apung dan Menara Syahbandar adalah salah satu potret nyata bahwa Jakarta saat ini terus terbenam. Bukti lain yang bisa dilihat adalah telepon umum yang semakin pendek di Kalibaru akibat peninggian jalan, struktur jembatan yang turun di Pantai Mutiara, hingga menyusutnya ruang lintas di Jalan Layang Ancol.
Jakarta sedang sakit, kata Sopaheluwakan yang menyebutnya sebagai penyakit kota besar yang biasa diderita kota-kota delta. Jakarta sendiri memiliki tiga dari enam sindrom, yakni tekanan ruang, kerawanan banjir, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
“Sakit karena kebodohan bersama,” lanjut dia.
Ibarat permainan stacko, Jakarta saat ini dibangun di atas tanah keropos. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin Jakarta benar-benar terbenam.
“Prediksi saya, tahun 2050 Jakarta benar-benar tenggelam,” ungkap Sopaheluwakan.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam