tirto.id - Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan kecepatan penurunan muka tanah yang terjadi saat ini akan membuat Jakarta menghadapi banjir besar pada 2030.
Hal itu ia sampaikan saat meninjau proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) fase A bersama Wakil Gubenur DKI Jakarta Sandiaga Uno di Kalibaru, Jakarta Utara, Jumat (8/12/2017) pagi.
Menurutnya, penurunan muka tanah itu tidak dapat dihentikan tetapi hanya diperlambat. Karena itu, untuk menyelamatkan ibu kota dari banjir besar, pemerintah pusat maupun provinsi harus melakukan mitigasi dengan menyelesaikan pantai sepanjang 20 kilometer yang melintang di pesisir utara Jakarta tersebut.
"Di daerah itu kalau tidak salah 12 cm pe rtahun, sedangkan Jakarta ini kalau tidak melakukan apa-apa kita ada penurunan muka tanah kira-kira 7cm per tahun. Kalau tahun 2030 tidak dilakukan apa-apa maka Jakarta akan kena banjir dari dua arah," ujarnya.
Kendati demikian, kata Bambang, kecepatan penurunan permukaan tanah tersebut tak hanya bisa terfasilitasi oleh tingginya tanggul pengaman pantai. Hal tersebut telah terbukti di wilayah Muara Baru beberapa waktu lalu yang wilayahnya terkena limpahan banjir rob.
"Saya sampaikan bahwa kalau ada yang kemarin insiden di Muara Baru, itu terjadi karena meskipun tanggulnya sudah cukup tinggi, kira-kira 2,4 meter, tapi ternyata tinggi air lautnya 2,5 meter. Sehingga meskipun sudah ada tanggul tetap airnya masuk," papar.
Lantaran itulah, Bambang menyebut, penurunan muka tanah yang diakibatkan penyedotan air tanah secara masif dan berlebihan juga perlu dikendalikan. "Ini yang harus dicegah, berarti rumah tangga harus punya alternatif dan alternatif hanya bisa dari jaringan air bersih yang dibangun Pemda, PDAM," kata dia menjelaskan.
Menurut data Amrta Institute, persentase penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air di Jakarta relatif tidak berkurang selama 15 tahun. Dari tahun 2000 hingga 2015, disebutkan bahwa sebanyak 63-65 persen dari total kebutuhan air di Jakarta diambil dari bawah tanah. Angka tersebut didapat dari total air PAM yang dijual ke masyarakat (M3) dikurangi total kebutuhan air di Jakarta.
Padahal dari tahun ke tahun pendapatan pajak air tanah di Jakarta relatif stagnan dan tidak mengalami peningkatan. Direktur Amrta Institute Nila Ardhiani mengungkapkan, kondisi itu mengindikasikan banyaknya penggunaan air tanah ilegal di Jakarta baik oleh industri maupun rumah tangga.
Beberapa alasan yang membuat mereka tidak beralih ke PAM dan tetap memakai air tanah dari sumur-sumur ilegal, menurut Nila, salah satunya lantaran pengelolaan air tanah belum menjadi prioritas pemerintah saat ini.
“Bagian yang mengurusi air tanah ini masih kurang peralatan, kurang teknologi. Jadi mereka masih perlu di-support kalau pemerintah memang memerlukan air tanah secara baik, database-nya bisa dikelola dengan baik, badan yang mengurusi air tanah ini pelru diperbaiki kemudian jumlah pegawainya perlu ditingkatkan,” ungkapnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yuliana Ratnasari