tirto.id - Bayangkan gempa 7 skala Richter menghantam Jakarta. Dan sumber gempa itu teramat dekat, yang mungkin tiap hari Anda melewatinya atau bahkan saat membaca tulisan ini Anda tepat di atasnya.
Baru-baru ini ada sedikit kegaduhan di kalangan ahli bumi kita. Pemaparan ahli geodesi Australia Achraff Koulali, yang dipublikasikan oleh Earth and Planetary Science Letters pada 2016, menemukan sesar aktif melintang sekitar 25 kilometer di selatan Jakarta. Sesar ini kepanjangan dari Sesar Baribis.
Selama ini muncul anggapan Sesar Baribis hanya membentang dari wilayah Cilacap di Jawa Tengah hingga kawasan Subang, Jawa Barat. Temuan Koulali menampiknya dan memicu perdebatan di kalangan ilmuwan.
Jika mengacu temuan Koulali, sesar ini melintang dari Purwakarta, Cibatu (Bekasi), Tangerang, dan Rangkasibitung. Jika ditarik lurus dari Cibatu ke Tangerang, secara kasar sesar ini melewati beberapa kecamatan di Jakarta seperti Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo, dan Jagakarsa.
Pakar geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr. Danny Hilman Natawidjaja menyebut secara saintifik riset Koulali ini valid.
"Modelling-nya sudah betul. Secara saintifik, OK. Cuma detailnya belum," katanya kepada saya, pekan lalu.
Pendeknya, riset Koulali membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk merinci aktivitas sesar, di antaranya dengan membuat peta jaringan seismik dan GPS lebih rapat. Riset geologi lain berupa pemindaian GPR (Ground-penetring radar) atau penggalian.
"Intinya dipetakan lebih jelas. Dan buktinya jelas," katanya, lagi.
Danny sudah mengajukan riset aktivitas sesar ini sejak dua tahun lalu. Sayang, proposalnya belum direspons positif—dan itulah sisi ironi dari dunia sains dan ilmuwan di Indonesia.
Prediksi Danny, gempa dari sesar ini bisa mencapai 7 skala Richter. "Jika betul terjadi, sudah hancurlah Jakarta. Berhenti kali Republik Indonesia ini."
Ia menegaskan, "Ini analisis saya. Siapa yang mau membantahnya?"
Danny adalah lulusan California Institute of Technology yang pernah meneliti ancaman gempa di Aceh 2004 dan gempa Mentawai 2010. Ia meramal tidak dengan kemenyan, sesaji, kembang, atau dupa, melainkan lewat periode ulang gempa berdasarkan analisis metode data GPS, citra satelit, atau mikroatol (mengukur terumbu karang yang terangkat atau tenggelam oleh gerakan muka bumi).
"Ada banyak metode saya pakai untuk analisis ini," katanya.
Lembaga Pusat Gempa Nasional tampaknya mengabaikan potensi ancaman gempa di Jakarta. Sudah dua kali lembaga ini merilis peta gempa nasional pada 2010 dan 2017.
Dan, hasil temuan Koulali belum juga disertakan sebagai potensi gempa Jakarta.
"Peta bahaya seismik nasional saat ini mungkin meremehkan frekuensi getaran intensitas tinggi terutama untuk kota besar Jakarta," kritik Ngoc Nguyen, peneliti dari GeoScienc Australia, dalam Indonesia’s Historical Earthquakes (2015).
Sebagai salah satu ahli yang menyusun Peta Gempa Nasional, Danny mengakui akan ada kegaduhan jika peneliti menyinggung potensi baru gempa di Jakarta. Faktor infrastruktur penting adalah salah satu sebabnya. Otomatis saat status ancaman gempa dinaikkan, hal ini berdampak pada standarisasi kode bangunan tahan gempa yang boros biaya.
"Karena itu, untuk sementara, kita tidak sentuh Jakarta dulu. Jika masuk Jakarta, perlu ada penelitian lebih serius lagi. Mungkin lima tahun ke depan saat ada revisi peta baru, kita bisa putuskan cantumkan atau tidak," tukasnya.
Soal perdebatan saat penyusunan peta gempa nasional ini diakui ahli gempa Dr. Muhammad Asrurifak, anggota Pokja Katalog Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen). "Basic saya teknik sipil. Dan bukan bagian Geoscience seperti Pak Danny dan kawan-kawan. Kami punya pertimbangan lagi, karena kami yang mendesain (bangunan). Kalau kita kaku dengan ancaman gempa, ribut orang," katanya.
Sejarah Membenarkan Ancaman itu
Riset sejarah dan simulasi dilakukan Ngoc Nguyen serta timnya untuk menemukan dugaan kuat dua gempa besar di Jakarta pada 1780 dan 1834, yang berpusat dari Sesar Baribis.
Gempa pada 22 Januari 1780 disebut sebagai gempa terbesar yang pernah terjadi di Jawa. Kekuatannya mencapai 8,5 skala Richter. Getarannya terasa di seluruh Jawa dan Sumatera bagian selatan.
Riset sejarah Alfred Wichmann, ahli geologi Hindia Belanda, menyebut guncangan gempa membikin Batavia porak-poranda, 27 gudang dan rumah runtuh di kanal Zandzee dan Moor.
Setelah gempa, ledakan dahsyat berlangsung selama dua menit dari Gunung Salak. Gempa juga memompa Gunung Gede berdahak.
Simulasi skenario Nguyen menemukan, ketika gempa terjadi, seluruh wilayah Depok, sebagian Tangerang Selatan, beberapa Kecamatan di Jakarta seperti Jagakarsa, Pasar Rebo, Ciracas, dan Cipayung, serta sebagian daerah Bogor utara (dari Cibinong, Parung, Parung Panjang) terguncang cukup parah dengan skala Mercalli X.
Artinya, jika gempa tahun 1780 terjadi sekarang, wilayah di atasnya bakal rusak parah: rangka rumah seketika reyot dan bangunan retak, pondasi sedikit berpindah, pipa-pipa di dalam tanah putus.
Pada gempa kedua, 10 Oktober 1834, Javasche Courant mengabarkan guncangan parah terjadi di Batavia, Banten, Karawang, Bogor, dan Priangan pada pagi buta. Gemetar tanah terasa hingga Tegal dan Lampung bagian barat. Kekuatan gempa diprediksi sekitar 7 skala Richter.
Gempa merusak bangunan vital di Het Groot Huis (Istana Gubernur Jenderal) di Sawah Besar Batavia. Sebagian Istana Bogor ambruk. Kerusakan terparah dilaporkan di Cianjur: mayoritas bangunan roboh.
Beda dari gempa 1789, getaran gempa 1834 tidak mengarah ke arah barat tetapi lebih condong ke arah Bekasi, Karawang, dan Jonggol. Meski tidak dihantam skala intensitas Mercalli X seperti gempa 1780, kondisi Jakarta tetap rawan jika dua gempa ini menggeliat dari dalam perut bumi sekarang, yang bisa mencapai skala VIII.
Jika divisualisasikan: gempa ini menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat; retakan pada konstruksi bangunan kurang baik; dinding lepas dari rangka rumah; cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh; serta air menjadi keruh. Daya rusak ini sama seperti gempa di Banda Aceh 2004 dan Yogyakarta 2009.
Jika dibayangkan terjadi pada kondisi sekarang, dengan pemukiman berkembang lebih padat dan jumlah penduduk melimpah, potensi pengungsi pada gempa tahun 1780 itu berkisar 50 juta orang dan gempa tahun 1834 mencapai 62 juta orang pada hari ini. Artinya, efek gempa tergolong sangat dahsyat karena sanggup membuat sepertiga penduduk Jawa yang berjumlah 162 juta kehilangan rumah.
Dan, bagaimana jika dihitung berdasarkan jumlah korban?
Kekuatan gempa tahun 1780 ditaksir bisa membunuh 34.000 orang dan gempa tahun 1834 menelan 40.000 korban jiwa dalam kondisi sekarang.
Gempa 2009 yang Datang ke Jakarta Cuma 'Kelas Kambing'
"Saya coba berlari, tapi tak bisa," kata Annisa saat gempa mengguncang Jakarta, 2 September 2009
Ia terduduk dan menangis ketika orang ramai berhamburan keluar Menara BCA di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Seorang satpam akhirnya menyelamatkan Anissa, memapahnya lewat tangga darurat dari lantai 24.
Kepanikan ini berhulu dari gempa berjarak ratusan kilometer dari Jakarta, tepat di perairan selatan Jawa antara Sukabumi dan Bandung. Gempa ini akrab disebut "gempa Tasikmalaya" dan berkekuatan 7,3 skala Richter.
"Yang datang ke Jakarta itu baru kelas kambing, yang kelas sapi dan gajahnya belum datang," kata Dr. Muhammad Asrurifak, menyebut gempa yang berpusat di 142 km barat daya Tasikmalaya dengan kedalaman 30 kilometer itu.
Jakarta memiliki kerentanan tinggi terhadap ancaman gempa, sama seperti Bandung. Mayoritas kondisi tanah Jakarta berupa endapan aluvial dan sensitif terhadap guncangan.
Kondisi seismotektonik wilayah Jakarta secara umum dipengaruhi oleh zona Sunda Arc, zona Subduksi Sunda Arc, dan zona patahan pada kerak dangkal. Faktor ketiga ini yang jadi hulubalang percepatan gempa (seismic hazard) bervariasi di permukaan tanah Jakarta.
Beda dari kota lain, untungnya, Jakarta baru kelar melakukan mikrozonasi gempa. Kegiatan ini baru kali pertama dilakukan di Indonesia. Fungsi mikrozonasi untuk menemukan potensi bahaya atau dampak guncangan gempa pada setiap zona. Hasil riset ini biasanya untuk kepentingan rekayasa perancangan dan rencana detail tata ruang di suatu wilayah.
Hasil mikrozonasi ini lantas disimulasikan dengan skenario ancaman sumber gempa, baik ancaman gempa subduksi, Benioff, atau sesar dangkal.
Maka, merujuk gempa dangkal seperti Sesar Baribis, tujuh kecamatan rawan di Jakarta perlu disorot: Tanjung Priok, Penjaringan, Cengkareng, Pesanggrahan, Gambir, Johar Baru, dan Cilandak.
Agar mendapatkan konteks, data percepatan puncak mesti dikombinasikan dengan data kerentanan bangunan. Data ini didapat lewat survei langsung ke rumah-rumah warga.
Prof. Iswandi Imran, pakar rekayasa struktur ITB selaku pemimpin proyek survei, menyebut mayoritas pemukiman di Jakarta memang akan mengalami kerusakan jika gempa terjadi.
"Pas kami melakukan kajian dan membuat kurva kerentanan, kalau lihat angka, hasilnya banyak rusak menengah ke atas," katanya kepada saya.
"Semua tergantung kepadatan penduduk, struktur bangunan, dan kondisi tanahnya," tambahnya.
Sayangnya, riset ini hanya mencakup perumahan dan pemukiman warga, tidak menyertakan gedung-gedung berlantai tinggi.
Untuk menganalisis seberapa besar efek gempa pada bangunan berlantai tinggi, kita bisa mengacu pada riset Athanasius Cipta, peneliti Indonesia yang terlibat dalam penyusunan buku Indonesia’s Historical Earthquakes. Cipta tengah studi doktoral di Research School of Earth Science, Australian National University.
Cipta sedang mencari tahu kondisi cekungan sedimen dan geometri Jakarta terkait pengaruh terhadap amplifikasi atau penguatan gelombang gempa di Jakarta.
Menurut Cipta, percepatan gelombang gempa akan bergantung endapan tanah tempat bangunan itu berdiri. Semakin lunak, amplifikasinya semakin tinggi.
Ia pernah melakukan simulasi dan mendapati bahwa amplifikasi intensif terjadi pada periode spektral sekitar 2 dan 5 detik. Periode spektral ini sangat memengaruhi bangunan 20 dan 50 lantai.
“Jenis bangunan ini mungkin mengalami kerusakan berat saat terjadi gempa di Jakarta," kata Cipta kepada saya.
Di mana lokasi paling rentan bangunan bertingkat di Jakarta ini?
Lewat simulasi amplifikasi PGV (peak ground velocity), dengan asumsi pusat gempa terletak 85 km di selatan Jakarta dan berkekuatan 6,5 skala Richter, hasilnya menunjukkan lokasi bangunan bertingkat paling rentan adalah di sekitar kawasan perkantoran dan permukiman Tugu Pancoran.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam