Menuju konten utama
Mudrik Rahmawan Daryono:

Peneliti LIPI: Kerusakan Mungkin Lebih Parah di Kota Bandung

Di tengah minim pendanaan, para peneliti dari pelbagai disiplin ilmu mengamati progresi sesar Lembang. Tujuannya: pemerintah dan pubik menyadari dan merespons ancaman bencana.

Mudrik Rahmawan, peneliti LIPI. tirto.id/Sabit

tirto.id - Meski bernama sesar Lembang, tetapi patahan ini membentang tak hanya di wilayah Lembang, utara Kota Bandung. Ia melintang barat-timur sepanjang 29 kilometer dari Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, hingga Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Patahan ini menyimpan potensi bencana yang besar bila terjadi gerakan atau pergeseran skala besar.

Keberadaan patahan ini sudah lama menjadi objek para peneliti. Dalam beberapa tahun terakhir, tim peneliti dari Geoteknologi LIPI bersama ITB, BMKG, PVBMG, Kementerian PU dan instansi lain, telah melakukan riset terkait patahan Lembang. Studi sesar ini mencakup multidisiplin: seismologi, geodesi, geofisika, dan geologi.

Hasil riset memperkirakan bahwa aktivitas sesar Lembang akan menghasilkan kekuatan gempa maksimum antara 6,5 - 7 skala Ricther.

Mudrik Rahmawan Daryono adalah peneliti dari LIPI yang terlibat langsung dalam pengamatan ini. Sebagai seorang geolog, riset yang dilakukannya tentu hanya berkaitan dengan ilmu geologi.

Bekerja bersama Kepala Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto, dan ahli gempa, Danny Hilman Natawidjaja, ia mendapatkan temuan terbaru soal patahan lembang.

"Di Sesar Lembang, untuk kali pertama, kami memetakan citra profil morfologi dengan resolusi tinggi," katanya.

Hasil penelitian ini tentu bisa bermanfaat untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk bencana besar di kawasan Lembang, Bandung, dan sekitarnya. Apa saja temuan penelitian para ahli? Bagaimana kans para ahli mengantisipasi bencana di masa depan? Berikut wawancara Tirto dengan Mudrik Daryono, beberapa waktu lalu.

Kebaruan apa yang dihasilkan penelitian LIPI soal Sesar Lembang?

Penelitian ini menggunakan metode utama paleoseismologi. Metode ini meliputi dua hal: pemetaan rinci jalur sesar aktif termasuk indikasi pergeseran dengan menganalisis morfotektonik bentukan geologi di permukaan akibat pergerakan sesar aktif, dan uji paritan.

Uji paritan ini untuk mempelajari rekaman kejadian gempa bumi masa lalu di dalam pelapisan tanah. Uji paritan paleoseismologi adalah metoda yang relatif baru dalam penelitian gempa bumi dan saat ini berkembang cepat. Metode ini mulai populer setelah sukses studi paleoseismologi di Pallet Creek, California.

Setelah itu, uji paritan berkembang pesat di AS, kemudian diikuti oleh Jepang dan Eropa. Studi paleoseismologi sangat penting untuk memahami karakteristik gempa karena siklus gempa besar umumnya ratusan, bahkan ribuan tahun. Padahal ketersediaan alat dan sejarah gempa sangat terbatas atau pendek.

Sejarah gempa di Indonesia umumnya sampai 100 tahun ke belakang saja. Data gempa yang tercatat oleh peralatan seismik juga hanya sampai tahun 1900-an, tetapi yang sudah cukup baik kualitas datanya (sudah mulai digital) baru sejak tahun 1960-an. Data geodesi GPS umumnya baru ada (terpasang jaringannya) sejak 10-20 tahunan terakhir saja.

Di Indonesia, penelitian paleoseismologi masih sangat langka. Studi paritan paleoseismologi yang telah dilakukan adalah di Sumatera Selatan: sesar Sumatra dan sesar Palukoro. Dilakukan oleh Olivier.

Namun studi paleoseismologi ini tidak sukses karena pembuatan paritan di lokasi yang kurang tepat. Kegagalan penelitian ini disebabkan kegagalan penentuan lokasi retakan permukaan gempa bumi secara benar, mengingat besaran deformasi permukaan dalam ukuran kurang dari 2 meter.

Kegagalan penentuan lokasi ini dapat terjadi karena jenis data citra yang digunakan beresolusi rendah sehingga masih kasar dan tidak jelas.

Di sesar Lembang, untuk kali pertama, kami memetakan citra profil morfologi dengan resolusi tinggi lewat penggunaan LIDAR (Light Detection and Ranging), resolusinya sampai 90 cm. Data LIDAR ini yang kami olah. Hal ini berbeda dengan dengan penelitian sebelumnya.

Temuan apa yang berhasil ditemukan dari data LIDAR ini?

Sesar Lembang terlihat jelas dengan bukti ada lereng memanjang, gawir sesar, bukit shutter ridge, pergeseran sungai, dan sungai terpancung, yang memanjang 29 km. Secara topografi, sesar Lembang terdiri beberapa seksi sesar: seksi Cimeta, seksi Cipogor, seksi Cihideung, seksi Gunung Batu, dan seksi Cikapundung.

Yang kami lakukan dengan data LIDAR adalah menganalisis pergeseran sungai pada setiap seksi. Analisis ini dimulai dengan menemukan morfologi awal sebelum terjadi pergeseran sesar atau morfologi awal sebelum terjadi gempa bumi (pre-earthquake). Peta ini kemudian dibandingkan morfologi terbaru. Dari situlah dihitung pengukuran jarak rinci pergeseran tiap penanda morfologi.

Hasil pengukuran memperlihatkan, ada pergeseran sungai cukup signifikan. Besar pergeseran sekitar 1-3 meter. Besaran ini masuk ke kisaran besaran minimum akumulasi stres geologi, yaitu 1,6-3 meter. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa sesar Lembang telah berada pada masa akhir siklus gempa bumi.

Dua kejadian gempa bumi mikro dangkal di dua ujung sesar Lembang beberapa tahun lalu mengindikasikan, mulai terjadi pelepasan stres yang tersimpan.

Apakah yang Anda maksud kejadian gempa bumi mikro dangkal itu gempa di Kampung Muril Rahayu, Kelurahan Cisarua, pada 2011?

Iya, betul sekali. Dua bulan sebelum gempa di Kampung Muril, dilaporkan terjadi gempa dengan magnitude kecil sekitar 3 skala Ricther di ujung timur, sekitar kilometer 25. Sedangkan Kampung Muril itu ada di ujung barat kilometer 5. Indikasi kuat, sesar Lembang ini aktif dan dua ujungnya telah bergerak.

Sesar itu ibarat bidang besar yg mengunci dan harus lepas. Dan dua ujung ini sudah bergerak. Jangan-jangan, kopling besar ini sudah mulai runtuh. Itu yang kini sedang kita kejar sebetulnya kapan gempa besar sesar Lembang itu terakhir terjadi.

Jadi kapan periode ulang gempa dari sesar Lembang akan terjadi?

Kami bisa membuktikan sesar Lembang ini aktif, tetapi kami tidak memiliki rekaman atau catatan kejadian gempa bumi di sepanjang sesar Lembang. Karena itulah kami tidak bisa memprediksikan periode ulang gempa akibat Sesar Lembang. Untuk itulah, kami melakukan metode paritan seismologi seperti dijelaskan di awal. Ada dua titik uji paritan: kawasan Panyairan di bagian tengah, dan Batu Lonceng di bagian ujung barat.

Kenapa di dua titik ini saja?

Kemampuan uji paritan itu paling panjang 10 meter. Sedangkan di lapangan, lebar kontur yang mesti diuji bisa mencapai 150 meter. Kenapa Batu Lonceng? karena itu lokasi sesar yang paling sempit. Ada di atas lembah yang lebarnya 20 meter. Jika melenceng 1 meter saja, kami masih bisa dapat datanya.

Hasil dari Batu Lonceng, kami menemukan pernah terjadi gempa abad 15 sekitar 1450-1460. Tapi saya jelaskan juga tingkat confidence rendah karena bukti pergeseran tidak terlalu bagus. Kami juga harus paham posisi Bukit Lonceng ini ada pada segmen ujung di kilometer 26. Akibatnya, ketika terjadi deformasi, pergerakannya tidak akan terasa.

Jika ingin melihat bukti pergeseran paling besar harus mengambil segmen tengah. Atas dasar itulah kami pindah ke kilometer 12 di Panyairan, Karyawangi. Masalahnya, Panyairan ini lebar. Beruntung kami dibantu kawan-kawan vulkanologi yang memakai data geolistrik.

Dari uji paritan dan geolistik diketahui secara pasti dan terlihat kasat mata, bahwa jelas ada patahan. Ini bukti terkuat sesar Lembang pernah bergerak. Setalah dicek, gempa ini terjadi pada 60 sebelum Masehi.

Konklusi dari uji paritan ini, dua kejadian gempa pada abad 15 M dan 60 SM. Itu artinya, hingga saat ini, minimal sudah 557 tahun sesar Lembang tidak mengeluarkan gempa bumi. Jeda waktu ini artinya sebanding dengan 1,6–3 meter akumulasi pergerseran (stress accumulation) saat gempa bumi yang akan datang mengguncang Bandung. Angka ini sudah cukup besar terhimpun dan harus dilepaskan.

Apakah dua data itu cukup untuk mengetahui siklus pengulangan Gempa di sesar Lembang?

Tidak bisa. Karena alangkah baiknya kita punya data tiga kali gempa, baru bisa dilihat siklusnya. Saat ini kita baru dapat dua. Data yang kami miliki saat ini baru berkesimpulan bahwa sesar Lembang aktif, betul aktif, dan sudah lama menghimpun energi paling tidak 557 tahun. Kita tidak tahu kapan terjadi gempa lagi dalam waktu dekat. Terpenting baiknya bersiaga hadapi gempa itu.

Untuk mendapat data yang diinginkan, kenapa tidak dilakukan uji paritan di banyak titik?

Uji paritan ini membutuhkan pekerjaan luar biasa, setahun paling 1-2 kali, dan dilakukan dengan dana seadanya. Terus terang source selama ini mengandalkan dari anggaran riset LIPI yang terbatas, yang tidak hanya mengurusi gempa. Data pemetaan LIDAR kami ini pun dananya dari pemerintah Australia.

Kalau ingin lebih serius: bantu kami pendanaan, juga agar bisa dapat data detil trenching (uji paritan) serius. Selama ini, kami melakukan secara manual, pakai orang. Kalau serius, mestinya pakai eskavator dan sewa lahan dalam waktu panjang selama 5 tahun.

Kenapa harus sewa lahan? Permasalahan di sini adalah lahan yang kami pakai adalah perkebunan aktif, itu pun pinjam ke pemilik kebun, dan parit resapan air dipakai oleh masyarakat.

Ketika buntu mengetahui gempa di masa lampau akibat minim riset sejarah atau data lapangan, para geologis biasanya mengorek informasi dari folklore setempat. Anda sempat menyebut keterkaitan sesar Lembang dan folklore kisah Sangkuriang?

Jadi ini salah satu yang unik. Kita tahu fakta-fakta bahwa sesar Lembang arahnya memanjang dari barat-timur. Ada beberapa fakta menarik soal ini yang kami gali dari cerita Sangkuriang.

Pertama, dalam kisah Sangkuriang, untuk membikin danau atas permintaan Dayang Sumbi, dikisahkan Sangkuriang menebang pohon raksasa yang roboh ke arah barat dengan suara keras.

Cerita ini boleh jadi merupakan jalur sesar aktif dan kejadian gempa bumi yang mirip dengan kejadian pohon tumbang. Pernyataan raksasa dan suara keras menunjukkan bahwa kejadian getarannya lebih besar dari pohon tumbang pada umumnya. Kemudian arah roboh ke barat, menunjukkan seakan-akan pohon raksasa khayalan tersebut berada melintang ke arah barat-timur.

Posisi rebah pohon raksasa khayalan ini juga diceritakan rinci, atasnya daun-ranting berada di Gunung Burangrang, dan bagian tunggul/batang utama bawah berada di Bukit Tunggul.

Kalau kita mapping secara rinci, titik nol sesar Lembang saat ini memang di dekat kaki gunung Burangrang di arah barat, kemudian di ujungnya persis di Bukit Tunggul di arah timur.

Kedua, terbentuknya danau dalam satu malam di cerita Sangkuriang. Boleh jadi terkait mekanisme kinematika sesar Lembang. Terbentuknya danau-danau akibat pergerakan sesar menyebabkan pergeseran vertikal.

Kita tahu secara mekanik side effect sesar Lembang ini pada komponen vertikal. Jika terjadi gempa dan bergerak horizontal 2-7 meter, maka pergeseran vertikal berkisar 50-an cm. Itu artinya, sisi selatan akan relatif naik ketimbang di utara.

Pergeseran vertikal ini yang menyebabkan sungai terbendung sehingga membentuk lima danau yang menyebar di sepanjang sisi atas/utara sesar Lembang.

Mayoritas folklore di Indonesia ini lahir dari budaya bertutur, termasuk kisah Sangkuriang. Catatan secara tertulis Sangkuriang yang paling lama bisa kita rujuk adalah catatan perjalanan dari Bujangga Manik. Cuma itu aja.

Bujangga Manik adalah pengembara yang mengelilingi tanah Jawa dan Bali, lalu menuliskan kisah perjalanannya dalam satu naskah kuno berbahasa Sunda. Diperkirakan, perjalanan dan naskahnya ditulis akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.

Momen waktu ini sama dengan temuan hasil trenching paritan paleoseismologi kami di Batu Lonceng, yang menyebut indikasi kuat pada 1450-1460 terjadi gempa bumi di sesar Lembang. Jadi mungkin saja, saat Bujangga Manik menuliskan kisah Sangkuriang, terjadi gempa di sesar Lembang. Indikasinya ke arah situ.

Folklore ini jadi tantangan bagi kawan-kawan sejarawan. Mungkin bisa dilacak kapan pernah betulan terjadi gempa di Lembang? Temuan ini akan sangat membantu kami.

Seberapa penting penelitian terkait sesar Lembang ini?

Sangat penting kalau dilihat dari risiko kerusakan karena bukan cuma di Lembang tapi Bandung. Di Bandung, ada investasi triliunan rupiah. Jika sesar Lembang bergerak, dampak beban gempa mencapai 6,5-7 skala Richter.

Dengan jarak Kota Bandung yang hanya sekitar 10 km dari pusat gempa, di samping itu pula tanah di Kota Bandung lembek sekali akibat bekas Danau Bandung Purba, saya pikir secara risiko itu akan bahaya sekali. Kerusakan mungkin akan lebih parah terjadi di Kota Bandung ketimbang Lembang.

Apa hasil akhir dari penelitian Sesar Lembang ini?

Ya tentu jelas output yang pertama adalah regulasi. Hasil peta dan line fault yang kami susun oleh regulator harus diadopsi betul. Implikasinya jelas ke tata ruang. Harus perhatikan bagaimana membangun suatu wilayah yang menyimpan ancaman di situ. Bagaimana hidup harmonis dengan sumber bencana ini?

Dan dari tata ruang ini, nanti turunannya pada building code: Seperti apa bangunan yang diizinkan dibangun di titik-titik ini agar saat terjadi gempa akan bertahan.

Sudah jadi tugas regulator agar masyarakat memahami pentingnya building code. Secara konsep, bukan bangunan mahal tapi ide bagaimana bangunan bisa bertahan saat gempa.

Paling gampang itu bisa lihat berapa banyak rumah yang hanya dipasangi bata tanpa dipasang beton. Ini, kan, bahaya sekali. Memang perubahan ini tidak mungkin dalam waktu singkat dan mesti dilakukan bertahap, tapi terpenting masyarakat paham ada ancaman sesar dan mereka peduli saat terjadi gempa.

Kedua, output dari penelitian kami bisa dijadikan parameter fisik geologi gempa bumi dalam sebuah sesar. Parameter ini akan dipakai kawan-kawan dari Seismologi untuk meneliti seberapa besar guncangan, dan efeknya akan menyebar sampai mana. Kami sudah berikan data lengkapnya kepada rekan-rekan Seismolog di Pusat Gempa Nasional.

Baca juga artikel terkait SESAR LEMBANG atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Suhendra