Menuju konten utama

Jalan Panjang Gugatan Swastanisasi Air di DKI Jakarta

MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta.

Jalan Panjang Gugatan Swastanisasi Air di DKI Jakarta
Instalasi air milik PT Palyja di Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Gugatan untuk menghentikan swastanisasi air di DKI Jakarta akhirnya berbuah manis. Hal ini terwujud setelah Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 31 K/Pdt/2017 perkara perdata dalam tingkat kasasi memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI Jakarta menyetop swastanisasi air.

“Menyatakan Para Tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta,” demikian bunyi putusan kasasi MA seperti dilansir laman resminya.

MA tidak hanya menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh 12 orang pemohon. Akan tetapi, MA juga membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 588/PDT/2015/PT DKI., tanggal 12 Januari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PN JKT.PST., tanggal 24 Maret 2015.

Dalam putusannya, MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.

Majelis hakim kasasi yang terdiri dari Nurul Elmiyah, Sunarto dan Panji Widagdo menyatakan bahwa Para Tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI dan masyarakat Jakarta. Karena itu, MA memerintahkan agar Para Tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI.

Selain itu, MA juga meminta agar mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

“Melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Hak Asasi Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi UU Nomor 11 Tahun 2015 junto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2012 hak atas air komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” demikian putusan MA.

Gugatan privatisasi air di DKI Jakarta ini awalnya dilayangkan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) yang diajukan pada 22 November 2012 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

KMMSAJ yang terdiri atas LBH Jakarta, ICW, KIARA, KRUHA, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, Walhi Jakarta, dan beberapa LSM lain mengajukan gugatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, dan PT Perusahaan Air Minum Jaya serta PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta sebagai pihak turut tergugat.

Kemudian, pada 24 Maret 2015, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan KMMSAJ ihwal pengelolaan air di DKI Jakarta. Hakim Ketua, Iim Nurokhim menganggap pihak tergugat melanggar aturan. Iim menyatakan, pihak tergugat lalai dalam pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi warga negara, khususnya warga DKI.

“Kami memerintahkan pihak tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI,” kata Iim saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 24 Maret 2015.

Sayangnya, Pemprov DKI saat itu mengajukan banding. Gugatan warga negara terhadap swastanisasi air di Jakarta pun kandas di tingkat banding setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusan Nomor 588/PDT/2015/PT DKI., tanggal 12 Januari 2016 membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PN JKT.PST., tanggal 24 Maret 2015.

Namun, KMMSAJ tidak tinggal diam. Mereka kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terkait dengan sengketa pengelolaan air di DKI. Berkas kasasi itu telah terdaftar di MA dengan nomor 31K/PDT/2017. Dalam memori kasasi itu, KMMSAJ kembali mengikutsertakan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) sebagai turut tergugat. Dan Makamah Agung pun telah mengabulkan kasasi tersebut.

Baca juga:Melawan Komersialisasi Air

Perjuangan Melawan Privatisasi Air

Perlawanan masyarakat terhadap privatisasi air di Indonesia sangat pajang hingga 12 tahun. Pada 2004, masyarakat melakukan gugatan terhadap UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, putusan MK konstitusional bersyarat. Artinya ketika ada pelanggaran dan bukti baru, maka bisa digugat kembali.

Pada 2013, Muhammadiyah kembali mengajukan gugatan ke MK soal penguasaan air untuk kepentingan komoditas ekonomi. Padahal dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan kepada negara untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kebutuhan sebesar-besarnya untuk kebutuhan rakyat.

Setelah dua tahun melalui proses panjang, pada Februari 2015, MK mengabulkan seluruh permohonan Muhammadiyah dan membatalkan UU Sumber Daya Air tahun 2004 secara menyeluruh serta membatasi partisipasi swasta di sektor air dengan ketat.

Selain itu, putusan tersebut menyatakan bahwa air adalah res commune atau barang publik, sehingga pemerintah wajib menempatkan air bukan sebagai objek yang dikenai harga secara ekonomi. Air merupakan bagian dari hak asasi sehingga keadaan ekonomi seseorang tidak boleh menghalangi mereka untuk mendapatkan air.

Baca juga:Menggugat Privatisasi Air di Indonesia

Polemik pengelolaan air juga sempat dibahas oleh Joko Widodo ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam pertemuan dengan KMMSAJ, Jokowi menjelaskan bahwa masalah pengelolaan air Jakarta begitu rumit sehingga pemda DKI mencari jalan tengah yakni membeli kembali Palyja dan Aetra melalui BUMD seperti PT Jakarta Propertindo (Jakpro) atau PAM Jaya.

Tapi, Jokowi meminta KMMSAJ mencabut gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta, DPRD DKI, PAM Jaya, dan turut tergugat Palyja dan Aetra. Tanpa pencabutan gugatan, pemerintah mengaku tidak dapat membeli perusahaan air tersebut karena masih bersengketa.

Saat itu, KMMSAJ meminta pemerintah untuk menunggu hasil putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Apabila KMMSAJ menang, maka pemda DKI Jakarta tak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk mengambil alih perusahaan.

Tak lama polemik itu berkembang, pada 24 Maret 2015 PN Jakarta Pusat mengabulkan seluruhnya permohonan KMMSAJ. Putusan hakim, para tergugat telah lalai memberikan hak atas air yang merupakan hak asasi manusia. Kedua, para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan membuat perjanjian kerja sama yang merugikan negara dan warga Jakarta. Selanjutnya, perjanjian kerja sama antara PAM dengan Palyja dan Aetra batal dan tidak berlaku.

Hakim juga memerintahkan tergugat menghentikan swastanisasi air. Pemerintah harus melaksanakan pemenuhan hak atas air sesuai prinsip hak atas air dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta komentar umum tentang hak atas air. Terakhir, majelis hakim mencabut surat Gubernur DKI dan surat Menteri Keuangan yang mendukung swastanisasi.

Dengan kemenangan di MK dan PN Jakarta Pusat, harusnya pemerintah menjalankan putusan untuk mengelola air di Indonesia, terutama di Jakarta. Alih-alih mau mengelola untuk memenuhi hak-hak air masyarakat, pemerintah membuat kebijakan yang tetap membuka peluang terjadinya privatisasi air. Misalnya PP No. 121 tahun 2015 Penguasaan Sumber Daya Air, PP No. 122 tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum, Permen PUPR No 50/PRT/M/2015 tentang Izin Penggunaan Sumber Daya dan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI.

Baca juga artikel terkait PRIVATISASI AIR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti