Menuju konten utama

Melawan Komersialisasi Air

Dari data PBB, sekitar 1,2 miliar orang atau hampir seperlima orang di dunia hidup di daerah kelangkaan air.

Melawan Komersialisasi Air
Aktivitis dari Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) bersama warga Jakarta melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung. Mereka menuntut hak atas air warga Jakarta yang telah privatisasi oleh swasta. [Tirto/Andrey Gromico]

tirto.id - Pada 2012, Nestle Waters Amerika Utara berniat mengekstrak jutaan galon air tawar di sebuah kota kecil di Pennsylvania. Dalam permohonan izinnya, perusahaan transnasional itu mengusulkan akan mengebor dua sumur besar yang memompa sekitar 200.000 galon air per hari. Langkah itu diperkirakan bisa menghabiskan sekitar 73 juta galon air per tahun.

Rencana itu membuat masyarakat sekitar cemas. Mereka pun berupaya menghentikan rencana itu. Mereka tidak ingin sumber air di wilayah itu dieksploitasi karena dapat mengancam kekeringan.

"Kami memiliki air yang indah di sini dan kami akan melindunginya. Nestle berusaha untuk menghancurkan kita," kata warga Pennsylvania, Donna Diehl kepada Truthout April 2016.

Perjuangan Diehl dan kawan-kawan menuai hasil. Juni 2016, juru bicara Nestle Waters Amerika Utara, Eric Andreus akhirnya mengumumkan secara resmi pembatalan rencana perusahaannya beroperasi di kawasan itu.

Pennsylvania bukan satu-satunya kota yang menolak kehadiran perusahaan itu. Sejumlah masyarakat di McCloud, California juga menolak dominasi Nestle atas air. Penolakan tersebut muncul setelah perjanjian antara Nestle dah pimpinan kota ditandatangani. Perjanjian itu berisikan Nestle hanya membayar 1/64 sen untuk satu galon air, sementara perusahaan itu menjualnya lebih dari 1 dolar AS per galon. Tindakan ini ditentang oleh warga, mereka bertempur selama enam tahun dan akhirnya menang pada tahun 2009.

Penolakan lain juga dilakukan oleh warga Wacissa, Florida. Mereka akhirnya berhasil menangkis perusahaan itu dengan cara melakukan pengorganisasian akar rumput secara berkelanjutan. Selain itu, warga Cascade Locks, Oregon, juga telah berhasil menghentikan Nestle membuka pabrik botol airnya di Hood River County.

Industri Air Kemasan

Nestle Waters adalah perusahaan air kemasan terbesar. Perusahaan itu memiliki 52 merek yang berbeda dan mengendalikan 40 sumber ekstaksi air di Amerika Utara saja. Dikutip dari mbaskool.com, pada 2008 Nestle diperkirakan menjual 5 juta liter air di seluruh dunia.

Beberapa merek perusahaannya yang paling populer adalah PureLife (memiliki pangsa pasar terbesar di seluruh dunia), Deer Park, Poland Spring, Acqua Panna, San Pellegrino, Perrier, springs, Water Park, Waterline.

Sementara perusahaan air kemasan besar lainnya adalah Aquafina. Produk air kemasan milik PepsiCo ini pertama kali didistribusikan di Wichita, Kansas pada tahun 1994, seiring dengan berkembangnya perusahaan, produk ini akhirnya dijual di seluruh Amerika Serikat, Spanyol, Kanada, Lebanon, Turki, Iran, Mesir, Vietnam, Pakistan dan India.

Ada pula Dasani Waters, produk air kemasan yang diluncurkan Coca-Cola pada tahun 1999 di Amerika Serikat. Setelah itu perusahaan ini juga meluncurkan produknya di Kanada, Amerika Latin dan Inggris Raya.

Air kemasan adalah bisnis besar. Menurut Internasional Bottled Water Association, pada 2013, kurang lebih 10 miliar orang di Amerika mengkonsumsi air galon kemasan. Konsumsi tersebut menghasilkan 12,3 miliar dolar AS bagi perusahaan minuman. Sementara tahun 2014, orang Amerika rata-rata menghabiskan uang sekitar 18,82 miliar dolar AS untuk membeli air kemasan. Sementara secara global, pada 2013 konsumsi air botol diperkirakan mendekati 70,4 miliar galon.

Menurut data terbaru yang dilempar Beverage Marketing's "The Global Bottled Water Market", dalam satu tahun konsumsi air galon meningkat sebanyak 6 persen dan diproyeksikan akan terus tumbuh. Asosiasi Air Botol Internasional juga memprediksikan, pertumbuhan terbesar penggunaan itu akan berada di negara-negara miskin.

Selain itu, dampak dari produksi air kemasan secara besar-besaran juga berpengaruh terhadap lingkungan karena jutaan barel minyak yang digunakan setiap tahunnya untuk menghasilkan wadah plastik hanya akan menimbulkan sampah. Untuk di Amerika saja, lebih dari 60 juta botol plastik berakhir di tempat sampah, selain itu, untuk memproduksi setiap liter air minum kemasan, juga dibutuhkan tiga liter air untuk memproduksinya. Artinya hal ini akan menjadi ancaman krisis air.

John Stewart selaku wakil direktur Corporate Accountability International, melihat fenomena kelangkaan air, perubahan iklim dan penurunan investasi dalam infrastruktur air publik ini sebagai peluang bagi perusahaan Nestle untuk memprivatisasi air.

"Perusahaan seperti Nestle tidak melihat situasi ini sebagai krisis kesehatan masyarakat. Mereka melihatnya sebagai peluang bisnis," kata Stewart.

Privatisasi Air di Indonesia

Maraknya privatisasi air juga terjadi di Indonesia. Hal itu terjadi karena tingkat permintaan yang terus meningkat. Permintaan yang tinggi ini diikuti oleh peningkatan produksi air minum dalam kemasan. Menurut data yang disampaikan MARS Indonesia, produksi air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 9,47 miliar liter, kemudian meningkat menjadi 10,19 miliar liter pada tahun 2009 dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya, hingga menjadi 14,90 miliar liter pada tahun 2014.

Selama periode tersebut produksi AMDK telah meningkat menjadi rata-rata sebesar 7,9% per tahun. Meningkatnya produksi AMDK itu disebabkan oleh permintaan di pasar domestik dan tingginya permintaan dari pasar ekspor.

Hingga saat ini, produsen AMDK terbesar di Indonesia masih dipegang oleh Danone-Aqua Group. Pada 2014, perusahaan yang memproduksi merek AQUA dan VIT itu telah menyumbang kurang lebih 58,1% dari total produksi AMDK. Angka ini belum termasuk suplai ke air minum kemasan isi ulang yang kini marak di tanah air.

Upaya-upaya melakukan privatisasi air terus meningkat sejalan dengan tingginya permintaan. Namun, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus, ada kalanya mendapatkan tentangan dari masyarakat sekitar. Pada September 2013, warga Kemiling Kota, Bandarlampung telah menolak keberadaan CV Handali Higien yang ingin memprivatisasi air di sekitar tempat tinggal mereka. Penolakan tersebut mendapat dukungan dari Walhi dan LBH Bandarlampung.

Meskipun terjadi penolakan, perusahaan itu tetap bersikukuh melakukan eksploitasi di wilayah itu. "Nyatanya aktivitas perusahaan pengeboran air yang ditolak warga setempat itu tetap berjalan seperti biasanya," ujar Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Bejoe Dewangga kepada Antara.

Terkait dengan agenda itu, Wahli Lampung mengatakan wilayah Kemiling merupakan kawasan catchment area atau areal pencadangan air. Jika sumber air di wilayah itu dieksploitasi, maka dalam 10 tahun mendatang Kota Bandar Lampung akan mengalami krisis air.

Selain Bandar Lampung, penolakan lain juga terjadi di Jakarta. Maret 2016 lalu, puluhan aktivis dan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melakukan aksi guna menolak privatisasi air di Jakarta.

Aksi tersebut dilakukan guna memperingati Hari Air Sedunia. Mereka mengatakan pengelolaan air seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan tidak boleh dilimpahkan kepada swasta.

Terkait dengan permasalahan privatisasi air di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pernah mendesak pemerintah dan DPR untuk kembali meninjau ulang Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air atau lebih dikenal sebagai undang-undang privatisasi air. Hal tersebut dinilai tidak adil bagi masyarakat.

"Demi keadilan kita minta undang-undang privatisasi air ditinjau ulang," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj kepada Antara pada Juni 2010 lalu.

Menurut Said Aqil, dalam UUD 1945 jelas mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sementara menurut Agama, Islam juga melarang keras jika sumber daya alam, termasuk air dikuasai oleh kelompok tertentu yang dapat menyengsarakan rakyat.

Menurutnya, sangat ironis jika masyarakat kesulitan mengakses air bersih, sementara kelompok tertentu berupaya mengambil keuntungan dari privatisasi sumber air yang seharusnya menjadi milik masyarakat.

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito menilai, isu mengenai konservasi sumber daya air masih dinomorduakan dan belum menjadi agenda serius yang harus diperhatikan.

"Bahkan di setiap momentum kampanye Pilkada, pembicaraan soal air belum dianggap seksi oleh setiap calon kepala daerah," katanya kepada Antara.

Padahal, saat ini masyarakat tengah menghadapi ancaman serius karena maraknya upaya privatisasi air oleh perusahaan air minum swasta. Eksploitasi sumber daya air dapat menyebabkan kerentanan persoalan lingkungan, kesehatan, serta lingkungan. Yang tak kalah pentingnya, hal itu juga kerap menjadi pemicu konflik horizontal antar masyarakat.

Baca juga artikel terkait PRIVATISASI AIR atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Mild report
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti