tirto.id - “Meikarta. Book Now! Rp2 Juta.”
Tulisan memuat seruan membeli apartemen pada reklame besar itu terlihat mencolok bagi siapa saja yang baru keluar pintu Cibatu, Tol Jakarta-Cikampek. Sesudahnya Anda disambut beragam reklame di kawasan properti Lippo Cikarang tersebut.
Ada reklame berlogo “M”, “Lippo”, dan ilustrasi proyek di kanan-kiri jalan, membentuk lorong panjang menutupi lokasi proyek. Balon-balon udara bertuliskan “Meikarta” menghiasi sebentang langit di atas kawasan Kabupaten Bekasi tersebut.
Hutan crane, dari sudut mana pun, seakan ingin memberi pesan kepada para calon pembeli bahwa proyek "Kota Baru Meikarta" tengah dikerjakan. Namun, puluhan crane itu tak lebih sebagai pajangan. Tak ada kegiatan konstruksi. Yang ada baru sebatas penggalian tanah untuk dasar pondasi, dengan mengerahkan alat-alat berat.
“Bahwa ada crane segala macam, tentu crane dipasang untuk bekerja dong,” kata CEO Meikarta, Ketut Budi Widjaja, Kamis lalu (17/8).
Namun, proses pengecoran belum pula dikerjakan. Lippo tak mau gegabah atau coba-coba melakukannya karena bisa berujung pelanggaran. Hingga sekarang, proyek Meikarta masih menghadapi pelbagai perkara izin, termasuk izin peruntukan lahan dan mendirikan bangunan.
Menurut EY Taupik, Kepala Prasarana Wilayah dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bekasi, duduk masalah proyek Meikarta bisa diurut sejak 1996.
Saat itu Lippo Group—perusahaan publik milik konglomerat Riady, salah satu keluarga superkaya di Indonesia—telah memiliki rancangan utama (masterplan) di kawasan tersebut lewat izin lokasi dari pemerintah Provinsi Jawa Barat. Izin ini sebagai bagian dari pengembangan Lippo Cikarang. Waktu itu belum ada istilah Meikarta, ujar Taupik.
“Nah, setelah itu dia mengajukan sekarang, tapi karena sudah terlalu lama, ini ada yang sesuai, ada yang tidak sesuai dengan RTRW kita. Nah, yang tidak sesuai ini masih belum kita keluarkan izinnya,” tambahnya kepada Tirto saat ditemui di kantornya, beberapa waktu lalu.
Taupik mengatakan, tak semua dari total lahan 360 hektare milik Lippo untuk proyek Meikarta memenuhi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi. Kawasan itu ada yang memang untuk pengembangan kawasan hunian, tetapi ada sebagian lain untuk zona pengembangan kawasan industri.
Dari jumlah itu, Lippo mengajukan izin seluas 140 hektare. Tapi yang lolos untuk izin peruntukan lahan hanya 84 ha.
Dalam brosur iklan—dan ragam promosi lain—Lippo memakai angka 500 ha untuk kawasan apa yang mereka sebut “Kota Baru Meikarta.”
Taupik menyebut angka itu keliru. Luas lahan yang diajukan Lippo Group sejak awal hanya 360 hektare—setara 4,5 kali luas taman monumen nasional (Monas).
“Jadi kalau katanya Meikarta itu (luasnya) 500 hektare, terdiri dari ini dan itu—ini kayak yang saya bilang tadi: jualan aja,” kata Taupik.
Di sisi lain, dengan hanya bermodal izin peruntukan penggunaan tanah seluas 84 ha, Lippo dengan jualan merek “Meikarta” tak bisa langsung menggarap bangunan fisik, baik untuk sentra permukiman maupun bisnis, karena harus mengantongi izin lain, di antaranya, izin lingkungan, lalu lintas, air, limbah, hingga izin konstruksi.
Semua izin ini masih dalam proses evaluasi di tangan Pemkab Bekasi, dan menunggu rekomendasi dari Pemprov Jabar karena proyek ini dianggap “strategis.”
“Sertifikat tanah (keseluruhan) sudah dikuasai, tapi (Lippo) tidak ada de jure (kekuatan hukum) untuk membangun,” kata Taupik.
Selain luas lahan yang digelembungkan, nama megaproyek “Kota Baru Meikarta” pun jadi perkara.
Lippo Group, menurut Taupik, hanya memakai bendera Lippo, bukan secara terang-terangan menyebut “Kota Baru Meikarta”—sebagaimana dalam iklan mereka—saat mengajukan izin peruntukan lahan dan konstruksi.
Pemkab Bekasi sempat kaget saat tahu ada pembangunan proyek bernama Meikarta di daerahnya. Sampai-sampai mereka ditegur oleh Pemprov Jawa Barat.
“Kenapa investasi segitu gedenya Jawa Barat enggak dilaporin? Siapa itu Meikarta?” ujar Taupik menirukan teguran tersebut.
CEO Meikarta Ketut Budi Widjaja mengamini bahwa baru 84 ha yang baru dikantongi untuk izin peruntukan lahan. Namun, ia menepis anggapan bila klaim luas Meikarta sampai 500 hektare—seperti tertera dalam iklan atau brosur—adalah pembohongan publik.
Ketut beralasan, pembangunan Meikarta memang dilakukan bertahap—per blok atau tidak sekaligus—sehingga nanti total luasnya 500 ha.
“Yang kita jual (ke konsumen), kan, yang 84 hektare. Perizinan secara bertahap kita lakukan,” kata Ketut.
Jualan Jalan Terus
Sejak dipasarkan pada 13 Mei 2017 sampai memicu polemik izin dari Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, pemasaran Meikarta tetap lanjut. Padahal sudah ada imbauan untuk menghentikan penjualan.
“Saya mohon hentikan sementara (pemasaran). Jangan takut miskin!” kata Deddy.
Bila mendengar, Deddy barangkali kaget bahwa pemasaran Meikarta hingga peluncuran utama pada 17 Agustus lalu masih terus membuka nomor urut pemesanan untuk unit apartemen. Lippo mengklaim sudah ada 99.300 antrean pemesan. Bila dikonversi dalam bentuk menara, dengan rata-rata satu menara ada 500 unit, konsumen Meikarta sudah memesan 200 menara.
Respons gila-gilaan konsumen ini boleh jadi karena kelihaian Lippo di bawah komando James Riady—putra Mochtar Riady—yang jorjoran menjual megaproyek tersebut.
Kawasan Meikarta—yang diproyeksikan menelan investasi Rp278 triliun—dijual dengan klaim “kota mandiri”, yang akan dipenuhi ragam akses sehingga bisa memudahkan dan menguntungkan investasi para penghuninya kelak.
Jual kecap itu seperti bakal ada monorel, kereta ringan alias light rapid transit (LRT), kereta cepat Jakarta-Bandung, jalan tol layang Jakarta-Cikampek, Bandara Internasional Kertajati di Kabupaten Majalengka, dan Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang.
Lokasi yang strategis bagi Meikarta ini memunculkan pertanyaan: Apakah Lippo melakukan lobi kepada pemerintah untuk menguntungkan proyek Meikarta?
Menanggapi ini, bantahan langsung disampaikan oleh CEO Lippo Group, James Riady, di sela peluncuran utama Meikarta di Cikarang. James menegaskan bahwa Lippo Group hanya fokus pada pembangunan proyek Meikarta dan tak terlibat langsung pada investasi keenam infrastruktur pemerintah.
Bagi James, gagasan awal proyek Meikarta ialah salah satu upaya “menyelesaikan defisit perumahan” di Indonesia.
“Itu yang utama, itu hati kita,” ujar James.
Berdasarkan perhitungannya, saat ini ada 8 juta orang yang memiliki pekerjaan tapi tidak bisa memiliki rumah karena harganya tak terjangkau.
“Semoga bisa ada 100 pengembang seperti Meikarta, yang dibangun untuk menyelesaikan defisit perumahan,” ujarnya.
James boleh saja beralibi bahwa langkah Lippo dalam megaproyek Meikarta adalah mendukung warga tuna papan, di mana harga unit apartemen termurah Meikarta dibanderoli Rp126 juta.
Namun, persoalan izin yang belum tuntas menjadi tanda tanya besar bagi nasib konsumen yang sudah memesan atau membeli unit apartemen di Meikarta.
Baca juga: Di mana Hak Konsumen dalam Polemik Perizinan Meikarta?
Nasib Konsumen di Meikarta
Proyek Meikarta dikemas sedemikian rupa, dari promosi yang gencar dan pemasaran yang masif, target pembangunan yang cepat, hingga James Riyadi sendiri yang turun tangan.
Namun, kekecewaan dan kekhawatiran konsumen tak bisa disembunyikan.
Berdasarkan pantauan reporter Tirto di Maxxbox—lokasi penjualan properti Lippo Cikarang—pada 17 Agustus lalu, ada antrean panjang di Layanan Konsumen Meikarta. Mayoritas dari mereka meminta pengembalian biaya pemesanan atau refund unit apartemen sebesar Rp2 juta.
Pelbagai alasan pun diungkapkan. Salah satunya oleh Andri. Pria yang saat ditemui tengah mengantre bersama istrinya itu berkata tidak jadi pesan unit apartemen di Meikarta karena tak sesuai janji orang pemasaran. Keterangan tertulis, Lippo menjanjikan apartemen Meikarta baru mulai dihuni pada Desember 2018.
“Karena ini pembangunannya cukup lama, sementara kami terburu-buru. Waktu itu sales-nya janji dua bulan sudah jadi (unitnya). Ternyata masih begini. Ini mah bisa 2-3 tahun,” ujar Andri.
Ada juga konsumen seperti Bengar—ia hanya ingin dipanggil dengan nama tersebut—yang sengaja datang ke acara peluncuran Meikarta karena ingin tahu lebih banyak soal pembangunan proyek tersebut. Ia mulai bimbang apakah meneruskan pembelian atau minta Rp2 juta dikembalikan, apalagi banyak pemberitaan soal izin Meikarta yang belum beres.
“Saya mulai ragu dengan proyek ini. Kakak saya bilang, 'Kamu anggap saja uang Rp2 juta hilang,'” ujar Bengar, seorang karyawan swasta.
Menanggapi persoalan refund, CEO Meikarta Ketut Budi Widjaja menilai masalah itu hal biasa. Menurut Ketut, paling banyak alasan pengembalian uang muka karena unit yang diinginkan calon pembeli sudah tak tersedia.
“Unit itu, kan, first come first serve di sistem,” kilah Ketut.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Fahri Salam