tirto.id - Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe baru saja melawat ke Indonesia, bertepatan dengan 43 tahun peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Saat peristiwa kelam itu terjadi, mobil dan motor buatan Jepang dibakar oleh massa di Jakarta. Peristiwa itu dikaitkan sebagai upaya melipat tangan dari investasi Jepang yang masuk di Indonesia pada awal-awal Orde Baru.
Empat puluh tiga tahun setelah peristiwa Malari, hubungan Jepang dan Indonesia malah semakin erat. Untuk urusan investasi, Jepang selalu di jajaran papan atas dari negara-negara lain yang juga getol investasi di Indonesia. Pada triwulan III-2016 misalnya, Jepang jadi negara kedua terbesar setelah Singapura yang menanamkan modalnya di Indonesia, nilainya $1,6 miliar dengan total 425 proyek, dengan tren yang naik.
Pada hari Minggu sore lalu, kala rusa-rusa di Istana Bogor berlarian hingga membuat PM Abe terpana, saat itu pula torehan lama rencana investasi Jepang dibahas oleh PM Abe dan Presiden Jokowi, antara lain rencana pembangunan Pelabuhan Patimban, di Subang, Jawa Barat bernilai Rp43 triliun. Ongkos yang sangat besar bila harus pakai dana APBN.
Proyek ini targetnya dimulai pada 2017 dan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas total hingga 7,5 juta TEUs, dan mampu menampung 250.000 mobil di terminal khusus atau car terminal. Ini belum termasuk rencana infrastruktur pendukung seperti akses tol ke pelabuhan hingga pembangkit listrik.
“Kita juga sepakat untuk meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi termasuk rencana pembangunan Pelabuhan Patimban,...” kata Presiden Jokowi pada Pernyataan Pers Bersama dengan Perdana Menteri Shinzo Abe, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 15 Januari 2017.
Kunjungan PM Abe ke Indonesia tentu bukan hanya soal sodoran investasi sebuah pelabuhan besar di pantai utara Jawa Barat yang ditunggu-tunggu oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi lebih dari itu. Jepang juga mencapai kesepakatan soal pengembangan Blok Masela, dan megaproyek infrastruktur lainnya.
Proyek pelabuhan di pantai utara Jawa Barat bisa dibilang spesial bagi Jepang, selain sebagai cara untuk memutar uang mereka di Indonesia dalam skema investasi, proyek ini juga bisa menopang kepentingan investasi Jepang yang sudah ada di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
Keberadaan pelabuhan sangat penting bagi industri-industri Jepang seperti otomotif yang tersebar di Bekasi, Karawang, hingga Purwakarta. Pelabuhan ini juga bisa memecah beban Pelabuhan Tanjung Priok yang harus melayani sendirian arus keluar-masuk barang dari pusat-pusat industri di sisi barat dan timur Jakarta.
Sejak pemerintahan Presiden SBY sempat digagas sebuah pelabuhan baru di Karawang, bernama Cilamaya yang merujuk dari studi Japan International Cooperation Agency (JICA), hingga akhirnya dibatalkan dan dialihkan ke Patimban, Subang pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Demi Topang Investasi Jepang
Semenjak Wapres Jusuf Kalla blusukan ke kawasan Cilamaya, Karawang pada 2 April 2015 lalu, untuk memastikan kondisi lapangan, semenjak itu pula nasib Cilamaya dibatalkan sebagai calon lokasi pelabuhan skala besar. Bila dipaksakan, lokasi Cilamaya sebagai pelabuhan bakal mengganggu fasilitas dan aset Pertamina di kawasan itu, sehingga dianggap tak layak, opsi lokasi baru pun dipilih.
Beberapa lokasi sempat menjadi opsi, antara lain di Tarumanegara Bekasi, Pusakajaya Karawang, Patimban Subang, Pelabuhan Losarang Indramayu, Balongan Indramayu, dan Pelabuhan Cirebon. Dari semua itu yang memenuhi aspek hukum, transportasi, keselamatan pelayaran, risiko konflik dengan pipa Pertamina, dan aspek teknis, hanya Desa Patimban di Kecamatan Pusakanagara yang memenuhi semua kriteria.
Kala menteri perhubungan dipegang oleh Ignasius Jonan, sebuah keputusan menteri bernomor 190 tahun 2016 terbit pada Maret 2016, yang menetapkan soal pengesahan dokumen pra studi kelayakan pembangunan pelabuhan baru di pantai utara Jawa Barat dan studi kelayakan pembangunan Pelabuhan Patimban. Indonesia tentu ingin menyodorkan kembali proyek ini kepada Jepang.
Pada Mei 2016, Presiden Jokowi sempat membahas proyek Patimban, dengan Shinzo Abe, di sela-sela pelaksanaan KTT G-7 Outreach di Shima, Jepang. Hingga pada pertemuan di Istana Bogor pembangunan megaproyek di pantai utara (pantura) ini jadi pembahasan lagi.
Keinginan membangun pelabuhan baru di sisi timur Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara memang cukup beralasan, meski diwarnai kontroversi karena dikhawatirkan "jeruk makan jeruk" dengan Pelabuhan Priok. Namun, persoalan efisiensi sistem logistik menjadi pekerjaan rumah yang belum beres di Tanjung Priok yang harus dijangkau kurang lebih 75 km dari pusat-pusat industri di Karawang, di tengah akses jalan yang kerap dilanda kemacetan.
Karawang perlahan menjadi jantung industri perusahaan Jepang khususnya otomotif, penelusuran tim riset Tirto, sedikitnya ada 15 industri asal Jepang skala besar di Karawang, antaralain Astra Daihatsu Motor, Honda Prospect Motor, Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Yamaha Motor Parts Manufacturing Indonesia, Yamaha Motor Manufacturing Indonesia, Isuzu Astra Motor Indonesia, dan masih banyak lainnya belum termasuk di Bekasi dan Purwakarta. Industri ini tentu butuh dukungan infrastruktur pelabuhan untuk mengantisipasi kebutuhan ekspor-impor dan produksi mobil di Indonesia yang ditargetkan 2 juta unit pada 2020.
Konsep dobel pelabuhan sudah diterapkan oleh Thailand, Kota Bangkok dikelilingi dua pelabuhan besar yaitu Bangkok Port dan Laem Chabang Port di sisi timurnya. Laem Chabang yang dibangun sejak 30 tahun lalu menjadi urat nadi kegiatan ekspor-impor bagi industri otomotif di sekitarnya. Pabrik-pabrik mobil berdiri dekat pelabuhan yang hanya berjarak 2 km. Konsep yang terintegrasi ini membuat Thailand berdaya saing di industri otomotif ASEAN.
Ide ini rupanya dicoba diterapkan di Indonesia dengan gagasan awal Pelabuhan Cilamaya berjarak hanya 35 km dari Karawang. Namun bergesernya lokasi pelabuhan baru ke Patimban, maka jaraknya bisa dua kali lipatnya atau setara dengan jarak Karawang-Tanjung Priok. Pergeseran ini tak menutup kemungkinan menentukan arah komitmen Jepang selanjutnya pada proyek pelabuhan di pantura.
Enam bulan sebelum kedatangan Abe ke Indonesia, Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi sudah mewanti-wanti soal kiprah Jepang di rencana proyek Patimban. Menurut Rusdi hampir tidak ada operator terminal di Jepang yang beroperasi secara nasional, apalagi go international.
Ini karena Jepang adalah salah satu negara yang menerapkan sistem landlord port dalam mengelola pelabuhannya. Artinya infrastruktur pelabuhan dikuasai oleh pemerintah kota, urusan pelabuhan bukan di tangan pusat. Jepang memang memiliki operator pelabuhan seperti Pelabuhan Yokohama, Pelabuhan Kawasaki, Pelabuhan Tokyo yang bisa saja membuka peluang untuk terlibat di proyek ini.
“Hanya saja perlu diingat, mereka bukan pelaku usaha dengan niat besar berekspansi ke luar negeri. Apalagi dari sisi kinerja bisnis pelabuhan di Jepang saat ini sedang dilanda pelambatan,” kata Rusdi dikutip dari laman Antara.
Dugaan Rusdi mulai terbukti. Hingga PM Abe menapakkan kaki di Indonesia, pihak Jepang belum menyodorkan operator yang menjadi mitra Pelindo II, yang sudah siap ditunjuk dalam konsorsium lokal untuk mengelola rencana Pelabuhan Patimban. Pemerintah juga sempat mendorong agar swasta lokal terlibat dalam proyek ini, beberapa nama seperti Astra sempat mewarnai kabar megaproyek Pelabuhan Patimban.
“Sorry, saya akan cek dulu..ya,” kata Head of Public Relations Division PT Astra International Tbk Julian Warman kepada Tirto saat dikonfimasi soal kabar keterlibatan Astra di proyek Pelabuhan Patimban.
Proyek Pelabuhan Patimban relatif selangkah lebih maju dibandingkan proyek kereta semi cepat yang juga disodorkan Indonesia ke Jepang. Hingga kunjungan Abe kemarin, proyek kereta yang menghubungkan Jakarta-Surabaya masih tahap pembahasan awal.
“Terkait proyek pembangunan Pelabuhan Patimban kami kembali menegaskan arah kebijakan untuk pengolahan pelabuhan dilaksanakan oleh perusahaan patungan Jepang dan Indonesia,” kata Abe yang tak merinci pernyataannya di Istana Bogor.
PM Abe nampaknya masih mencari-cari swasta Jepang yang mau menyambar proyek pelabuhan puluhan triliun ini. Ini tentu akan berdampak pada realisasi Pelabuhan Patimban bakal lebih lamban dari target. Posisi Indonesia kini sedang membuka tangan lebar-lebar untuk sang “saudara tua” yang masih hati-hati tak mau kecewa dua kali oleh Indonesia.