tirto.id - “Di koridor ini sudah menjadi pusat industri seluruh Indonesia, daerah sana itu adalah Shenzhen-nya Indonesia.”
“RRT membangun Shenzhen, menjadikan Shenzhen salah satu kota terpenting di seluruh dunia.”
James Riady begitu semangat, tangannya ke sana ke mari menjelaskan megaproyek baru Lippo Group dalam satu pertemuan di Hotel Aryaduta, Jakarta, 4 Mei 2017. Riady memang marketer tulen, segala prospek yang akan mendukung proyeknya ia jabarkan.
“Meikarta” sebuah nama baru yang disematkan oleh CEO Lippo Group ini untuk megaproyek Kota Baru di Cikarang dengan total luas 500 hektare. Estimasi investasinya tak tanggung-tanggung: hingga Rp278 triliun. Rencana pengembangan Meikarta di Kabupaten Bekasi memang kawasan strategis karena dikelilingi beberapa kawasan industri.
Lippo berencana membangun 100 gedung pencakar langit—masing-masing memiliki 35-46 lantai. Mereka mengklaim konstruksinya sudah dimulai sejak Januari 2016. Targetnya 50 bangunan sudah siap diisi pada Desember 2018.
Tahap pertama juga akan dibangun 250.000 rumah.
Selain hunian, terdapat area komersial, hotel, kampus, hingga perkantoran dan segala kelengkapan kota lain. Lippo menargetkan kota ini jadi yang paling penting di Indonesia. Semua target ini begitu meyakinkan hingga membuat pasar bereaksi.
Kabar Meikarta telah sukses mengangkat saham perusahaan-perusahaan Lippo Group yang melantai di bursa—Lippo Karawaci Tbk dan Lippo Cikarang Tbk. Dalam catatan Yahoo Finance, harga saham Lippo Cikarang Tbk misalnya naik dari Rp4.250 jadi Rp4.490 pada penutupan perdagangan di hari pengumuman proyek tersebut. Penguatan saham terus berlanjut hingga mencapai Rp4.870 pada penutupan perdagangan pada 8 Mei.
Selain saham yang terdompleng, Meikarta juga mencoba menunggangi rencana infrastruktur besar-besaran di koridor Jakarta, Bekasi, dan Bandung, yang akan dibangun pemerintah macam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, tol layang Jakarta-Cikampek, Pelabuhan Panimban, dan Bandara Baru Kertajati.
Baca:
Saat Lippo meluncurkan Meikarta, tentu tak ada yang dikagetkan karena bukan kali pertama Lippo meluncurkan proyek maha besar bertriliun-triliun rupiah. Pertanyaannya: bagaimana realisasinya?
Sebelum Meikarta, Lippo juga mengumumkan proyek skala besar lain seperti Monaco Bay. Sayangnya, sejak grounbreaking Agustus 2015, sampai saat ini baru akan tahap konstruksi pondasi. Itu pun untuk sebatas proyek superblok senilai Rp6 triliun di bibir pantai Teluk Manado, Sulawesi Utara.
Masih tahun yang sama, pada Januari, Lippo meluncurkan kota pintar Millenium Village seluas 70 hektare di Karawaci Tangerang. Ia adalah pengembangan Lippo CBD (central business district) dengan nilai sekitar Rp200 triliun. Ini belum proyek triliunan rupiah di pelbagai kota yang belum selesai.
Dalam pernyataannya, mengutip Kompas, James Riady bilang bahwa proyek-proyek besar itu memang dilakukan secarabertahap. "[Tapi] secara prinsip, core-nya sudah selesai."
Direktur Lippo Group Danang Kemayan Jati menegaskan proyek-proyek Lippo yang telah diluncurkan sebelum Meikarta masih tetap berjalan. Termasuk Orange County, kawasan terintegrasi seluas 322 hektare di Cikarang senilai Rp250 triliun, yang mencakup hunian vertikal dan CBD, yang disiapkan sebagai bagian dari Meikarta.
“Semuanya tetap jalan,” kata Danang kepada Tirto.
James Riady dan Lippo boleh saja begitu yakin dengan Meikarta. Namun, berdasarkan pengalaman, gagasan membangun kota-kota baru di Indonesia oleh swasta maupun pemerintah cenderung jalan di tempat.
Dari BSD hingga Maja
Saat ini, proyek pengembangan kota baru yang berjalan adalah Bumi Serpong Damai (BSD) City di Tangerang Selatan, Banten. Proyek ini dimulai sejak akhir 1980-an dan hingga kini terus bergulir, bahkan pengembang terlibat langsung pada proyek infrastruktur tol untuk mendukung kawasan kota mandiri tersebut.
Sejak 2003, BSD ditangani oleh Sinar Mas Group. Setidaknya BSD sudah terbentuk seluas 1.300 hektare dan masih ada lahan seluas 4.700 hektare yang akan dikembangkan hingga 2035.
Membayangkan Meikarta yang hanya 500 hektare tentu sudah tergambar seberapa kecilnya kawasan yang akan dibangun Lippo ini bila disandingkan dengan BSD. Atau, masih kalah luas dari Sentul City yang akan dikembangkan hingga 3.000 hektare.
Membangun kawasan terintegrasi yang luas di Jabodetabek memang susah karena persoalan keterbatasan lahan. Namun, masalah-masalah mendasar seperti air, listrik, hunian, hingga kemacetan kota besar seperti Jakarta jadi embrio dari sebuah gagasan kota baru di sekitarnya. Ini mendorong pengembang besar seperti Ciputra, Lippo, dan Sinar Mas membangun sebuah kota baru.
Rencana kota baru selain BSD yang cukup jadi buah bibir adalah Maja, di Lebak, Banten. Proyek Kota Baru Maja sudah dicanangkan sejak 1996-1997. Proyek tersebut terhenti karena krisis ekonomi pada 1998. BUMN Perumnas salah satu pemegang lahan 400 hektare di Maja. Saat Maja belum jadi apa-apa, pemerintah malah mencanangkan pembangunan 10 kota baru.
Namun, Maja masih dianggap berprospek. Pengembang rintisan seperti Ciputra sudah mulai mengembangkan kawasan hunian menengah-bawah bernama Citra Maja Raya di lahan 2.000 hektare.
“Harus ada CBD atau pusat bisnis, ada komunitas komersial, ada perumahan relatif di semua segmen dan terhubung dengan transportasi massal,” kata Ali Tranghanda, direktur eksekutif Indonesia Property Watch kepada Tirto.
Mohamad Suleman Hidayat, pengusaha properti pemilik MSH Group plus mantan Menteri Perindustrian, pernah berujar, “bisnis properti adalah bisnis yang menjual prospek.”
Prospek yang sedang dijual itu kini ada di Meikarta yang dikemas dengan nama “Kota Baru” oleh Lippo dengan embel-embel "Shenzhen"-nya Indonesia.