Menuju konten utama

Mochtar Riady "Menyulap" Lahan Tandus Jadi Duit

Salah satu konglomerat superkaya di Indonesia ini membangun gurita bisnis properti yang ternyata lebih kinclong dari awal mula bisnis perbankan.

Mochtar Riady
Presiden Joko Widodo dan Iriana menyaksikan Gubernur NTT Frans Lebu Raya, didampingi Mochtar dan James Riady (Lippo Group), meneken prasasti saat meresmikan pembukaan RS Siloam Kupang, NTT, Sabtu (20/12). ANTARA FOTO/HO/Jeani/Spt/14

tirto.id - “Saya ingat ajaran Laozi: 'Betapa besarnya pohon, pasti dimulai dari kecil,' 'berapa jauhnya perjalanan, dimulai dari langkah pertama.'”

Falsafah inilah yang dipegang Mochtar Riady dalam menjalankan bisnisnya. Ia mampu membangun kerajaan bisnis Lippo secara bertahap yang dijumputnya dari asal kata Li—kekuatan atau modal—dan Po—sumber; atau dengan kata lain, Lippo adalah sumber kekuatan modal.

Awal mula bisnis utama Lippo bukanlah properti. Ia memulai dari bisnis keuangan. Berpijak dari cita-cita awal Mochtar yang kesengsem menjadi bankir sejak masa sekolah dasar lantaran saban hari melewati kemegahan kantor bank milik Belanda dengan pegawai perlente.

Mimpi itu kesampaian juga. Kiprahnya dimulai dari bankir sebagai presiden direktur Bank Kemakmuran pada 1959-1960, Bank Buana 1963, Panin Bank 1971, hingga penentu arah BCA sejak 1975-1991 di bawah Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, salah satu konglomerat terdekat keluarga Soeharto.

Saat bersamaan, Mochtar getol membeli saham-saham bank dan punya bisnis sendiri dengan bendera Lippo Bank, bagian usaha dari Lippo Group.

"Mengejar Kuda dengan Menunggang Kuda"

Sejak meninggalkan BCA pada 1991, Mochtar Riady berkonsentrasi ke bisnis lahan yasan (real estate). Bisnisnya terus melaju ke bidang pendidikan, rumah sakit, supermarket, supermal, telekomunikasi, dan lainnya—sebuah konglomerat.

Tonggak awal bisnis propertinya pada 1990 saat Lippo Bank mengambil alih tiga bidang lahan seluas 70 km², yang menjadi barang sitaan kredit macet nasabah Lippo Bank. Mencakup dua bidang lahan di 45 km timur Jakarta dan sebidang lahan di 25 km barat Jakarta. Semua lahan ini gersang dan tandus. (Belakangan Lippo Bank lepas dari tangan Mochtar Riady pascakrisis 1998.)

“Tiga bidang tanah seluas 70 km2 mau diapakan? Masih menjadi tanda tanya besar bagi saya,” ujar Mochtar Riady dalam Otobiografi Mochtar Riady: Manusia Ide (2016: hlm. 194).

Mochtar mencoba memutar otak. Ia berangkat ke Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Taipei, dan Shenzen (Cina) untuk melakukan studi banding.

“Saya mendapat inspirasi, sangat tertarik dengan metode pengembangan lahan di Shenzen, kondisinya sangat mirip dengan Karawaci, jauh dari kota, gersang, dan tandus,” kata Mochtar.

Peluang properti Lippo di kawasan Karawaci, Tangerang, merupakan buah dari kebijakan pemerintahan Orde Baru yang saat itu mengembangkan kawasan industri berjarak 50 km di sisi barat Jakarta.

Saat itu belum ada kawasan permukiman layak huni untuk menampung pemimpin maupun staf perusahaan. Beroperasinya Tol Tangerang-Merak pada Juli 1992 melapangkan proyek kawasan Karawaci sebagai cikal bakal bisnis properti Lippo.

“Saya memosisikan Lippo Karawaci sebagai kawasan pertokoan dan perumahan yang aman dan nyaman bagi pemimpin dan staf perusahaan,” katanya.

Namun, untuk merealisasikannya, Mochtar harus mencari dana segar. Salah satu caranya mengubah manajemen Lippo Group, yang semula perusahaan keluarga sebagai perusahaan terbuka di lantai bursa.

Ia juga menggandeng perusahaan asing dengan mengajak Lie Ka Seng dan Hua Run Group, konglomerat Hong Kong, sebagai pemegang saham minoritas. Ia menyebut strategi ini “mengejar kuda dengan menunggang kuda.”

Tangan dingin Mochtar di Karawaci berhasil menyulap kawasan gersang tersebut menjadi surga fasilitas mewah seperti sekolah internasional, lapangan golf, rumah sakit modern, perkantoran, hingga apartemen. Mochtar mengklaim, semula lahan di Karawaci hanya seharga 10 dolar/m², usai empat tahun dikembangkan, menjadi 300 dolar/m², bahkan kini sudah mencapai 1.500 dolar/m².

Namun, Mochtar tak berpuas diri. Bidang lahan kedua miliknya yang gersang dan tandus di Cikarang dikembangkan pula terutama untuk kawasan industri.

Ia menggandeng Sumitomo Group, Hyundai Group, investor Taiwan, hingga mengembangkan lahan industri sendiri di Karawang. Lippo juga mengembangkan lahan hunian dengan fasilitas serba ada, yang dikenal Lippo Cikarang. Sebagai pemasar kawakan, Mochtar lagi-lagi mengklaim harga lahan di Lippo Cikarang kini mencapai 500 dolar/m², melesat jauh dari harga semula.

Lebih jauh ke sisi timur, sisa bidang lahan ketiganya di Karawang seluas 500 ha disulap sebagai pemakaman mewah San Diego Hills pada 2007.

Idenya sederhana. Saat ia mengunjungi makam leluhurnya di Malang, Jawa Timur, kondisi pemakaman di sana menyeramkan dan blangsak. Sebentuk gagasan muncul saat ia melihat di Jakarta pun tak ada lahan pemakaman yang menurutnya ideal seperti di luar negeri.

“Saya pun terbang ke Amerika Serikat untuk melakukan studi banding ke tempat pemakaman Taman Rose di California,” ujarnya. “Saya memosisikan lahan di Karawang itu sebagai tempat pemakaman elite, khusus bagi orang berduit.”

Pengalaman menyulap lahan tandus sebagai bisnis properti itu pun, dengan kekuatan finansial dan politiknya, membuat keluarga Riady semakin fokus ke bisnis ini.

Namun, Mochtar bukan tipe orang yang tergesa-gesa. Beberapa lahannya di Karawaci seluas 400 ha disisakan untuk tabungan masa depan. Lahan Cikarang pun masih ia simpan hingga 700 ha sebagai celengan. Ia melakukan pembelian lahan tandus di Cikarang sejak 1990-an.

Belakangan kawasan Cikarang itu kini jadi perbincangan hangat sejak awal Mei lalu sang putra mahkota Lippo, James Riady, mengumumkan sebuah megaproyek senilai Rp278 triliun di lahan 500 ha yang disebut “Kota Baru Meikarta."

Baca juga:

Infografik HL Indepth Meikarta

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohon

Strategi Mochtar Riady dalam mengembangkan properti, belakangan dilanjutkan oleh James Riady. Pola dan strategi bisnis James sama persis yang dilakukan oleh sang patron.

Saat “menjual” Meikarta ke publik, ia kembali mengungkit soal Kota Shenzen di Cina.

“Di koridor ini, sudah menjadi pusat industri seluruh Indonesia, daerah sana itu adalah Shenzhen-nya Indonesia,” kata James, CEO Lippo Group.

“RRT membangun Shenzhen, menjadikan Shenzhen salah satu kota terpenting di seluruh dunia,” ujarnya saat menjelaskan proyek Meikarta di Hotel Aryaduta, Jakarta, 4 Mei lalu.

Selain konsep mirip, James menerapkan jurus yang sama untuk menarik modal bagi proyek Meikarta, yang ditaksir menelan investasi Rp278 triliun. Ia menggandeng investor asing lewat skema mitra global, di antaranya dengan kelompok Mitsubishi, Toyota, dan Sanko Soflan.

Proyek Meikarta sendiri dikendalikan oleh PT Mahkota Sentosa Utama di bawah PT Lippo Cikarang Tbk, anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk.

“Investor dalam dan luar negeri yang menghubungi kami luar biasa banyak," klaim James. "Sekarang ini ada 20-30 investor asing yang ingin bersama-sama membangun (Meikarta). Yang paling banyak Jepang, juga Korea."

Meikarta kini tak sekadar nama dari sang ibu James Riady, Li-Mei, atau lebih dari sematan nama bulan Mei saat peluncuran proyek tersebut. Ia juga tak cuma nama bulan yang sama bertepatan kelahiran Mochtar Riady, 88 tahun silam—dalam tradisi orang Tionghoa sebagai angka keberuntungan.

Lippo Group mulai meluncurkan penjualan apartemen Meikarta pada 13 Mei 2017 di MaxxBox, Orange County, kawasan Cikarang, sehari setelah ulang tahun Mochtar Riady. Kini Meikarta menjadi langkah ambisius perjalanan bisnis keluarga konglomerat Riady dari langkah perdana sang patron beberapa dekade lalu, yang terbukti sukses menyulap tiga bidang lahan tandus nan gersang menjadi lumbung uang.

Baca juga artikel terkait MEIKARTA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Fahri Salam