tirto.id - Ahmad, 44 tahun, bergegas ke arah pintu kemudi bus. Sesudah merokok sembari menunggu penumpang, menjelang petang di mulut Terminal Cikarang, Bekasi, ia bersiap tancap gas, mengarungi rutinitas harian sebagai sopir bus Mayasari Bakti jurusan Kalideres-Cikarang. Ia harus melewati “jalur neraka” Tol Jakarta-Cikampek saban hari tanpa ada pilihan, terlebih saat jam-jam puncak kemacetan pada sore hari.
“Kalau macet parah, bisa berhenti satu jam lebih di Bekasi,” keluh Ahmad.
“Di Bekasi selalu padat. Apalagi kalau pas jam-jam berangkat dan pulang kantor. Karena banyak yang bawa mobil pribadi,” tambahnya.
Ahmad sudah kenyang dengan kepadatan jalur Tol Jakarta-Cikampek. Begitu pula Bagas, seorang pegawai swasta yang tinggal di Lemah Abang, Cikarang Utara, yang harus melewati jalur tersebut. Bila beruntung, waktu tempuh ke tempat kerjanya di Blok M, Jakarta Selatan, hanya satu jam dengan bus umum.
“Tapi kalau lagi macet parah di Bekasi, bisa 2-3 jam,” ujar Bagas.
Jalur Tol Jakarta-Cikampek memang tak hanya padat. Di atas kertas, salah satu jalur tol tertua di Indonesia ini memang sudah memprihatinkan. Pada 2015 saja, tol ini dilewati kurang lebih 214 juta kendaraan dari dan menuju Jakarta. Artinya, rata-rata ada 590.000 kendaraan per hari. Volume ini melebihi kapasitas. Efeknya adalah macet parah yang sudah jadi pemandangan sehari-hari. Tol ini sudah lama menyandang predikat sebagai ruas terpadat dari jaringan jalan Tol Trans Jawa.
“Karena V/C Ratio (perbandingan kapasitas jalan dan volume kendaraan) di jalan Tol Jakarta-Cikampek sekarang ini mencapai 1,3. Itu sudah overload, karena rasio maksimal adalah 0,75,” kata Iwan Dewantoro, pimpinan proyek PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek, kepada Tirto.
Kepadatan kendaraan memang tak terjadi pada seluruh jalan tol sepanjang 73 km ini. Ruas yang paling menjadi momok para pengendara antara lain simpang Cikunir. Di area ini ada pertemuan arus kendaraan dari Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR), Tanjung Priok, dan Tol Dalam Kota. Apa yang lazim disebut "penyempitan leher botol" pun tak terhindarkan. Pintu Gerbang Tol Cikarang Utama sudah jadi langganan penyumbat arus kendaraan dari dan menuju Jakarta.
Merespons kemacetan akut ini, pada November 2016, PT Jasa Marga (Persero) Tbk sebagai operator tol menginisiasi pembangunan tol layang sepanjang 36,84 km yang mampu menampung 41.000 kendaraan per hari. Jalurnya membentang dari simpang Cikunir sampai simpang Karawang Barat. Tol layang ini bisa memecah volume kendaraan yang melintasi trayek jarak pendek antara Bekasi, Karawang, dan sekitarnya, dan kendaraan menuju Cikampek maupun Bandung.
PT Jasa Marga membentuk perusahaan PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek sebagai konsorsium antara PT Ranggi Sugiron Perkasa untuk proyek senilai Rp16,23 triliun tersebut. Skema pembiayaannya lewat Contractor Pre Financing (CPF)—artinya, kontraktor mendanai lebih dulu, lalu operator (Jasa Marga) wajib membayar ke kontraktor setelah tol beroperasi. Kontraktor pelaksana untuk Kerja Sama Operasi (KSO) proyek ini adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) dan PT Acset Indonusa Tbk.
Gayung bersambut. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) setuju dengan proyek yang ditargetkan tuntas pada April 2019 tersebut.
Proyek ini terlihat meyakinkan. Dua lajur di sisi kanan dan kiri jalan layang bisa menambah 4 lajur baru dari 6 lajur selama ini. Bila beroperasi nanti, perkiraan tarif tol layang sebesar Rp1.250/km. Dengan asumsi 36 km, tarifnya Rp45 ribu. Tarif tol saat ini sebesar Rp15 ribu. Hitungan-hitungan praktis dan bisnis terlihat klop. Maka, jadilah proyek tol layang yang kini dalam tahap perluasan lajur di bahu jalan tol.
“Setidaknya 40 persen lalu lintas di (jalan tol) bawah diprediksi akan berkurang karena volumenya terpecah dengan adanya jalan tol layang,” kata Iwan.
Namun, jalur layang pun pada akhirnya akan memiliki keterbatasan, apalagi arus kendaraan dari dan menuju Bandung semakin intens dan bertambah. Dari sanalah gagasan meringankan Tol Jakarta-Cikampek kembali bergulir. Sebuah proyek di sisi selatan jalur tol sedang disiapkan oleh pemerintahan Joko Widodo.
Membangun Ruas Tol di Sisi Selatan
Proyek itu disebut Tol Jakarta-Cikampek II, duplikasi dari tol serupa dengan mengeksploitasi sisi selatan. Tujuannya pun sama: memecah arus kendaraan di sisi timur Jakarta, plus embel-embel "membangun pusat pertumbuhan baru di selatan Tol Jakarta-Cikampek."
Dalam dokumen pengumuman prakualifikasi pengusahaan jalan tol oleh BPJT Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, lelang proyek jalur tol baru ini dibuka sejak 20 Juni lalu hingga 28 Juli mendatang. Tol ini akan menghubungkan wilayah Jatiasih (Kota Bekasi) dengan Tol Cipularang hingga Sadang (Purwakarta). Tol sepanjang 64 km ini membelah perkampungan hingga perkebunan di selatan jalur tol lama. Tujuannya, memecah kendaraan dari JORR menuju Bandung, Purwakarta, dan sekitarnya tanpa harus melewati simpang Cikunir serta mengurai kepadatan kendaraan yang melintasi tol di Bekasi.
“Yang (ruas tol) selatan baru kita lelang, sementara yang elevated (layang) sudah konstruksi (pelebaran jalan),” kata Kepala BPJT Herry Trisaputra Zuna kepada Tirto.
Namun, proyek ini susah dieksekusi. Selain masih mencari investor yang berminat, persoalan pembebasan lahan siap menanti. Jalur Tol Jatiasih-Sadang harus melewati perumahan padat penduduk di Bekasi, kecuali di Karawang yang relatif hamparan lahan kosong.
Upaya lain mengurai ratusan ribu kendaraan di Tol Jakarta-Cikampek adalah membangun Tol Cawang-Bekasi-Kampung Melayu, biasa disingkat Becakayu, sepanjang 21,042 km. Sebagian ruas tol ini bersiap dioperasikan; sepanjang 4,5 km dari RS Harum (Jakarta Timur) hingga Pasar Sumber Artha (Kota Bekasi). Posisi Tol Becakayu sejajar Tol Jakarta-Cikampek di sisi utara.
Baca: Tol Becakayu, Setitik Harapan untuk Para Pelaju Bekasi
Segala rencana proyek tol di jalur Jakarta-Cikampek tentu tujuan akhirnya bisa mengurai kemacetan. Persoalannya, apakah jalur-jalur tol baru ini efektif mengurai kemacetan yang sudah parah?
Penulis: Suhendra
Editor: Fahri Salam