Menuju konten utama

Di Mana Hak Konsumen dalam Polemik Perizinan Meikarta?

Proyek Meikarta di Cikarang, Bekasi, menuai kontroversi bagi Lippo Group terkait masalah perizinan yang belum ada.

Di Mana Hak Konsumen dalam Polemik Perizinan Meikarta?
Suasana antrean konsumen saat mendaftar pemesanan perdana Apartemen Kota Baru Meikarta saat peluncuran perdana Kota Baru Meikarta, di kawasan Lippo Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (13/5). ANTARA FOTO/Risky Andrianto

tirto.id - Persoalan perizinan mega proyek properti Lippo Group, Kota Baru Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, menjadi bola liar. Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar menyentil Lippo secara gamblang.

Setidaknya ada dua hal yang dianggap Deddy Mizwar dilanggar oleh Lippo. Pertama, Lippo belum mengantongi izin yang harus dipenuhi untuk membangun sebuah kawasan. Kedua, Lippo secara terang-terangan memasarkan ribuan hunian apartemen di tengah segala perizinan belum mereka kantongi.

"‎Konsep metropolitas harus rekomendasi sesuai dengan Perda. Saya sudah cek ke Kabupaten Bekasi, mereka belum memberikan rekomendasi dan pada kami pun rekomendasi belum diajukan. Dalam Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi pun belum beres pembahasannya. Ini (izin) dari mana? Maka hentikan dulu sebelum ini jadi pidana karena penipuan, menjual barang ilegal," kata Deddy dikutip dari Pikiran Rakyat.

Pasal 10 e dan f dalam Perda Nomor 12/2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat, secara jelas mengatur bahwa wilayah Bekasi, yang di dalamnya ada proyek Meikarta, termasuk salah satu pengembangan kawasan metropolitan di Jawa Barat dengan sebutan Bodebekkarpur.

Segala perizinan untuk pengelolaan di wilayah ini menjadi kewenangan kabupaten atau kota. Namun, dalam aturan itu juga disebutkan, untuk bidang yang dianggap strategis dan skalanya lintas daerah, izinnya harus mendapat rekomendasi provinsi atau gubernur.

Tanggapan Pihak Lippo

Menanggapi ini, Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati berkata "heran" dengan pernyataan Deddy Mizwar.

Ia beralasan, pada pertengahan Mei 2017, dua pentolan Lippo, yaitu Presiden Lippo Group Theo L. Sambuaga dan CEO Meikarta Ketut Budi Wijaya sudah menghadap Deddy Mizwar di Bandung. Saat itu, Danang mengklaim pihak provinsi, dalam hal ini Deddy Mizwar, mendukung penuh proyek Meikarta.

“Kita ini sudah datang kepada Wakil Gubernur Deddy Mizwar. Pak Theo dan Pak Ketut yang datang, dan Pak Wagub mendukung sekali, saya heran kok muncul statement seperti itu,” kata Danang kepada Tirto, Selasa (1/8/2017).

Danang berkata saat ini proyek Meikarta masih dalam proses perizinan di Kabupaten Bekasi. Namun, Danang mengatakan persoalan kuncinya adalah "sinkronisasi" antara Kabupaten Bekasi kepada Provinsi Jawa Barat dalam proses penerbitan perizinan di wilayah tingkat II. Pihaknya tak bisa langsung melakukannya ke tingkat provinsi atau wilayah tingkat I.

“Kami juga enggak ngerti, semua proses kita jalani, (proyek CBD) Orange County sebelumnya enggak ada masalah. Kita sekarang sedang mengajukan izin prinsip, pembangunan, IMB, dan Amdal. Masih diproses, makanya kami belum bangun,” tegas Danang.

Ia juga menegaskan soal tudingan menjual produk ilegal dalam proyek Meikarta menurutnya tidak tepat. Dalam dunia properti memang dikenal istilah pre-project selling, alias produk properti dijual sebelum pembangunan. Proyek hunian di Meikarta sudah dipasarkan meski belum ada acara seremoni groundbreaking karena persoalan izin tadi.

“Menjual barang tanpa perlu izin-izin ke siapa-siapa, itu biasa. Dalam perusahaan properti itu biasa, normal bagi perusahaan properti,” tegas Danang.

Di luar teguran Provinsi Jawa Barat dan respons Lippo, mengemuka pertanyaan soal nasib konsumen yang sudah telanjur memesan hunian. Lippo mencatat sedikitnya sudah menerima 20.000 pemesanan apartemen atau setara 40 tower apartemen sejak proyek ini dipasarkan. Bagaimana bila izin tak keluar?

“Jangan berandai-andai,” kata Danang.

Perseteruan “Dua Gajah” dan Nasib Konsumen

Polemik perizinan Meikarta memang menyangkut persoalan serius karena menyangkut tata ruang, lingkungan, dan—tak kalah penting tapi sering diabaikan—mengenai hak konsumen.

Dalam kasus Meikarta, pre-project selling atau pemasaran produk properti sebelum dibangun (alis sistem inden) sudah diakui Lippo Group, dan seolah menjadi hal lazim. Biasanya, alasan pengembang melakukannya sebagai test the water atau tes pasar.

Pada 2016, Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo sudah menguraikan pokok soal di atas dalam laporan berjudul "Quo Vadis Perlindungan Konsumen Properti". Ia mengatakan aspek sepele tapi menentukan nasib konsumen adalah soal iklan dan promosi. Aturan main tentang iklan/promosi produk properti masih sangat minim di Indonesia. Padahal informasi dasar tentang legalitas/perizinan yang sudah dikuasai pengembang merupakan hal sangat penting bagi konsumen.

Menurut Sudaryatmo, ada beberapa perizinan yang semestinya diketahui konsumen saat pengembang memasarkan produk properti, di antaranya nomor sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. Tujuannya untuk memastikan bahwa pengembang secara fisik dan legal sudah menguasai lokasi tanah yang akan dibangun.

Selain itu, ada juga Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Pemerintah Kota/Kabupaten setempat. Dokumen ini untuk memastikan lokasi yang akan dibangun sudah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selanjutnya ada dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah setempat.

Pre-project selling ini bisa menjadi masalah bagi konsumen bila pengembang yang bersangkutan tak bertanggung jawab, seperti persoalan pembayaran uang muka yang sudah terlanjur dibayarkan sedangkan proyek tak ada kejelasan. Sayangnya, ketentuan soal pre-project selling belum ada hukum yang mengaturnya.

“Untuk pre-project selling memang enggak ada aturan hukumnya,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda kepada Tirto.

Undang-Undang No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen hanya mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku.

Nah, biasanya dalam pre-project selling, ada celah masalah, yaitu posisi lemah konsumen. Biasanya ada perjanjian secara tertulis melalui perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang dibuat sepihak dan secara baku oleh pengembang yang seringkali konsumen tak dilibatkan dan hanya terima beres untuk ditandatangani.

Dalam konteks proyek Meikarta, Lippo seharusnya tak perlu merasa heran mengapa soal perizinan yang mereka belum kantongi dipersoalkan. Pemprov Jabar pun tak perlu berkoar-koar dan lebih baik fokus melaksanakan proses perizinan dengan cara yang hati-hati dan sesuai standar. Yang lebih pantas untuk heran dan berkoar adalah para konsumen yang sudah berbondong-bondong memesan hunian di Meikarta yang nyatanya belum berizin.

Baca juga artikel terkait PROPERTI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Zen RS