Menuju konten utama
Ernan Rustiadi:

Longsor di Puncak dan Banjir Jakarta, "Ada Kesan Negara Meremehkan"

Membereskan banjir Jakarta harus dengan cara luar biasa, mengoneksikan Jabodetabek, Puncak, dan Cianjur, karena ini sudah masalah megapolitan.

Longsor di Puncak dan Banjir Jakarta,
Ernan Rustiadi, koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak, Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah IPB. tirto/sabit

tirto.id - Peristiwa longsor di jalur Puncak pada 5 Februari lalu secara terang membawa problem tata kelola kawasan hutan lindung yang bermasalah. Selama puluhan tahun, dalam catatan Forest Watch Indonesia dan Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak, daerah ini terus mengalami kerusakan masif.

Sepanjang 2010 hingga 2016, misalnya, sebanyak 5,7 ribu hektare hutan alam hilang di kawasan Puncak. Penetapannya sebagai kawasan penyangga Jakarta menuai tanda tanya.

Ernan Rustiadi, Koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak, serta ahli perencanaan dan pengembangan wilayah dari Institut Pertanian Bogor, mengatakan bahwa tumpang tindih pengelolaan jadi biang masalah. Apalagi, kata Ernan, daerah penyangga lain seperti Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, dan Cianjur juga dalam proses serupa.

“Manajemen kota yang sudah sedemikian besar ini diatur dengan cara-cara biasa," kritik Ernan. "Tidak ada keterpaduan tata kelola."

Berbincang selama 35 menit via telepon pada 15 Februari lalu, Ernan menjelaskan problem tersebut, termasuk menyoroti kepemilikan lahan hutan lindung ke tangan swasta, yang mengubah lokasi tersebut menjadi tujuan wisata tetapi menyimpan bencana. Berikut petikan wawancaranya (dengan penyuntingan minor supaya ringkas dan ramah dibaca).

Kerusakan kawasan Puncak bukanlah problem baru, Apa yang harus disoroti sebagai masalah utamanya?

Problem mendasarnya pengendalian tata ruang yang tidak berjalan. Ada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tapi arahan rencana tata ruang itu sifatnya umum. Sehingga tidak rinci, tidak detail. Dalam pengendalian pun tidak mudah, juga saya lihat tidak kuat secara political will (iktikad politik dari para pemangku kepentingan).

Ada tumpang tindih penataan di kawasan Puncak, baik dalam rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Bogor, di Provinsi Jawa Barat, dan Perpres No. 54/2008 (penataan ruang kawasan Jabodetabek, Puncak, dan Cianjur). Pendapat Anda?

Perpres itu diacu Perda RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Walaupun begitu, Perda tersebut mulai berlaku pada 2008. Belakangan Perda RTRW Jawa Barat 2009-2029 tidak sama landasannya kepada Perpres karena mengikuti Keputusan Menteri Kehutanan terkait batasan hutan [...] sehingga [menghilangkan] kawasan hutan lindung.

Akhirnya keluar lagi Perda RTRW Kabupaten Bogor 2016-2031, yang tidak lagi tertulis sebagai kawasan hutan lindung. Luasan hutan banyak dikurangi dan diganti menjadi perkebunan.

Perubahan-perubahan ini secara umum memang cenderung melebarkan dan lebih mengakomodasi perkembangan kawasan permukiman. Di Kabupaten Bogor, kawasan Puncak cenderung jadi kawasan unggulan pariwisata.

Bagaimana mengenai pola-pola perubahan tersebut: dari semula kawasan hutan lindung lalu berubah jadi hutan produksi, lantas beralih menjadi permukiman?

Kebijakan kehutanan sendiri yang memang cenderung mempertahankan hutan produksi dibandingkan hutan lindung. Di sisi lain, di luar kawasan hutan, banyak area yang bukan peruntukannya sudah ditetapkan sebagai kawasan perkebunan. Menurut kami, sebagian dari lahan ini harusnya bisa sebagai fungsi hutan lindung, kalau perlu dihutankan kembali. Saat ini kawasan hutan di Puncak tidak lagi mampu menopang daya dukung lingkungan.

Bila tidak dicegah, membahayakan Jakarta.

Soal lokasi wisata di Puncak, lahan tersebut dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetapi juga menggandeng Balai Konservasi Sumber Daya Alam?

Kewenangan atas kawasan Puncak terbelah-belah. Status kawasan hutan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki otoritas. Meskipun otonomi daerah, jika area itu masuk kawasan hutan, bisa kami katakan tidak ada kewenangan pemda mencampuri pengelolaan kawasan hutan.

Kedua, di luar kawasan hutan, hak guna usaha untuk lahan-lahan perkebunan itu bagian dari kewenangan Badan Pertanahan Nasional. Nah, seolah-olah Kabupaten Bogor punya keterbatasan untuk mengatur dan mengelola, sehingga hanya memiliki kewenangan di luar kawasan hutan dan area hak guna usaha. Hal inilah yang menyebabkan pengelolaan berjalan sendiri-sendiri. Jadi penataan ruang pun disesuaikan dengan keterbatasan kewenangan tersebut.

Ini menjadi sumber permasalahan, bukan hanya di kawasan Puncak, tapi di seluruh Indonesia. Kewenangan tata ruang ini menjadi parsial, seakan-akan jadi kewenangan sektoral antara pusat dan daerah. Keterpaduannya lemah.

Berapa luasan pemakaian lahan hutan yang akhirnya melebar jadi permukiman di kawasan Puncak?

Saya tidak hafal angkanya, tetapi lahan HGU perkebunan teh cukup luas, terutama di desa-desa paling atas misalnya di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan (kawasan Cisarua).

Hak guna lahan ini area yang dimanfaatkan untuk kegiatan non-perkebunan. Ini terus meningkat. Ada penguasaan-penguasaan lahan oleh masyarakat, kemudian beralih ke orang-orang yang punya uang, dan akhirnya berdiri vila-vila, dimiliki oleh orang-orang dari perkotaan.

Tiga tahun lalu vila-vila ini sempat dibongkar. Tetapi dengan cepat berdiri kembali. Ini tak akan terselesaikan karena pemerintah tidak pernah mengusut kepemilikan tanah-tanah negara ini. Bangunannya saja dirobohkan, tetapi status penguasaan tanahnya yang ilegal tidak dibereskan. Dan sebetulnya juga ada persoalan agraria.

Banyak tanah negara di Puncak yang beralih kepemilikan?

Sebagian sudah ada sertifikat, tapi sebagian besar malah tak punya sertifikat.

Temuan reporter kami di lapangan, banyak vila dimiliki oleh orang asing, pembeliannya atas nama orang lokal di Puncak...

Ada juga yang seperti itu. Penertiban jual-beli tanah negara ini, saya perhatikan, tidak ada penegakan sama sekali. Yang ada baru penertiban bangunan terkait tata ruang melalui razia pembongkaran bangunan yang dianggap liar. Kepemilikan tidak pernah dibongkar, sehingga dijual ke orang lain, didirikan bangunan kembali.

Apakah ada catatan soal berapa luasan tanah negara yang kini berpindah tangan?

Saya tidak punya data itu, tetapi kepala desa punya angka-angkanya. Terutama Kepala Desa Tugu Utara dan itu sedang saya teliti: bagaimana pergeseran penguasaan tanah negara oleh hak guna lahan dari waktu ke waktu terus mengalami pengurangan. Tapi saya belum mempunyai informasi yang lengkap mengenai hal ini.

Selain kawasan Puncak yang kini semakin rusak, kawasan penyangga Jakarta pun mengalami hal sama. Dampaknya, Jakarta terus-menerus diterjang banjir, meski dengan catatan pula bahwa penanganan banjir di Jakarta pun belum maksimal?

Saya punya kajian yang cukup makro terkait perubahan di kawasan Jabodetabek, Puncak dan Cianjur. Apa yang terjadi di kawasan Puncak ini bagian dari hal yang tidak terpisahkan dari ekspansi kawasan perkotaan yang bergerak dari arah Jakarta ke pinggiran. Jadi merembetlah permukiman-permukiman baru dari arah Jakarta ke sekeliling daerah pinggiran Jakarta.

Dari arah barat hingga timur itu area-area persawahan subur tergerus, beralih fungsi permukiman, industri, dan kawasan komersial. Banyak sawah yang hilang.

Di kawasan Tangerang Selatan, perkebunan karet dikonversi jadi Bumi Serpong Damai (BSD). Ke arah selatan yang lain, Jakarta Selatan sebagai daerah resapan air sudah hilang hingga kawasan Depok. Perluasan ini dipercepat dengan ada jalan tol.

Jalan tol yang semula tak berdampak langsung terhadap penggunaan lahan, ikut berdampak karena pintu tol terus bertambah.

Lalu menyusuri jalur utama ke selatan, terutama jalur ke Cianjur menuju kawasan lindung, perembetan kawasan perkotaan meluas, tak terkendali dengan baik.

Kawasan perkotaan dengan permukiman dan kawasan komersial adalah bagian dari perkembangan Jakarta, dari semula kota menjadi metropolitan, lalu megapolitan. Ini tren besarnya.

Pandangan Anda mengenai pendapat bahwa memang belum ada langkah secara serius antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengatasi banjir di Jakarta, sekalipun sudah ada Perpres tersebut?

Saya bisa mengatakan kawasan Jabodetabek tidak bisa diurus dengan cara-cara biasa, tapi arus bersifat extraordinary. Karena Jabodetabek itu sebagai sistem perkotaan, sistem megapolitan.

Menurut kajian Research Institute for Human and Nature (RHIN) dari Jepang, Jabodetabek sudah menjadi "megacity" terbesar kedua setelah Tokyo. Tapi manajemen kota yang sudah sedemikian besar ini diatur dengan cara-cara biasa, tidak ada suatu keterpaduan tata kelola antara Jabodetabek, Puncak, dan Cianjur.

Di negara-negara lain, kota-kota yang sudah meraksasa seperti ini memiliki kesatuan manajemen, ada satu koordinasilah. Di sini, ada kesan negara meremehkan, menganggap bukan urusan yang harus diperlakukan secara luar biasa.

Sehingga, jika ditangani dengan usaha yang luar biasa, ada langkah-langkah kerja sama antar-daerah, DKI Jakarta dan Kabupaten Bogor. Faktanya hal ini lemah sekali. Berjalan sendiri-sendiri.

Akhirnya, kita tak pernah bisa menyelesaikan banjir dan longsor secara terpadu. Masalahnya begini-begini terus. Ditambah negara mungkin tidak hadir untuk mengelola sistem perkotaan terpadu yang membesar tersebut.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA 2018 atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam